oleh
Sulaiman Djaya (2014)
Jika
ada orang-orang yang sangat terikat dan mencintai kampung halaman atau tanah
kelahirannya, salah-satu orang itu pastilah termasuk saya. Kampung halaman bagi
saya tak sekedar ruang meja baca di mana saya menyendiri, menulis, dan membaca,
atau sebuah “rumah” tempat saya tidur dan makan. Lebih dari itu, kampung
halaman atau tanah kelahiran bagi saya adalah ingatan dan kenangan.
Kampung
halaman atau tanah kelahiran saya menyatu dengan bathin saya, karena saya
mengalami “kepedihan” dalam kesahajaan dan keterbatasan kami sebagai
orang-orang desa yang sederhana. Sebagai manusia-manusia yang akrab dengan apa
yang hanya diberikan oleh alam yang belum disentuh oleh kecanggihan tekhnologi
dan perangkat-perangkat informasi mutakhir ketika itu.
Di
belakang rumah, setidak-tidaknya saat saya masih kanak-kanak, dalam jarak
beberapa meter melewati pematang-pematang sawah, mengalir sungai Ciujung yang
di tepiannya berbaris pepohonan dan tanaman-tanaman lainnya. Sementara di depan
rumah, mengalir sungai irigasi, sungai yang dibuat demi mengalirkan limpahan
air sungai Ciujung untuk mengairi sawah-sawah di jaman kolonial Hindia Belanda,
dan kemudian diteruskan perawatan dan perbaikannya di jaman Orde Baru hingga
saat ini.
Dua
sungai tersebut merupakan “kehidupan” kami yang bekerja dan menggantungkan
kebutuhan kesehariannya dari bertani. Dari dua sungai itulah kami mengairi
sawah-sawah kami, selain tentu saja dari anugerah hujan di musim hujan. Bersama
dua sungai dan sawah-sawah di sekitarnya itulah saya akrab dan hidup bersama
mereka.
Namun
tentu saja, keadaannya tidak sama dengan sekarang. Ketika itu, bila malam tiba,
atau saat adzan berkumandang yang dikumandangkan dengan menggunakan speaker
bertenaga accu, kami akan mulai menyalakan lampu-lampu damar kami yang menggunakan
bahan bakar minyak tanah atau minyak kelapa. Sebelum kehadiran tiang-tiang
beton dan baja seperti saat ini untuk menyalurkan kabel-kabel listrik di setiap
kampung, jalan di depan rumah begitu sepi bila magrib tiba, lebih mirip
terowongan gelap karena barisan pohon-pohon lebat yang tumbuh kokoh dan rimbun
di tepi sungai dan sepanjang jalannya.
Kebetulan
keluarga saya memiliki tanah yang cukup luas untuk menanam Rosella, atau
tanaman apa saja yang dapat dijadikan komoditas untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Bila panen tiba, ibu saya akan menggoreng biji-biji Rosella
tersebut dan anak-anaknya (termasuk saya) akan membantu menumbuknya hingga
menjadi bubuk kopi yang kami kemas dalam plastik-plastik mungil yang kami beli
dari pasar. Bila kami selesai mengemas bubuk Rosella tersebut, ibu saya lah
yang akan menjajakannya alias menjualnya, kadangkala ada saja orang-orang yang
datang sendiri ke rumah untuk membelinya.
Seingat
saya, selain menanam Rosella, keluarga kami juga menanam kacang panjang. Dari
hasil penjualan bubuk kopi Rosella dan kacang panjang itulah keluarga kami
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari kami dan membiayai sekolah kami. Saya,
misalnya, bisa membeli buku tulis atau buku-buku yang diwajibkan di sekolah.
Singkatnya, kami hidup dari hasil mengolah tanah dan menjual komoditas yang
dihidupkan oleh tanah dan alam, sebab ketika itu belum ada sejumlah pabrik
seperti sekarang.
Saya
juga masih ingat ketika ibu saya membuat sambal dari kulit buah Rosella yang
berwarna merah itu agar sambal yang dibuat ibu cukup untuk semua anggota
keluarga, sebab cabe rawit yang kami tanam tidak sebanyak seperti kami menanam
singkong, ubi jalar, kacang panjang, dan Rosella.
Di
saat saya sudah kuat memegang cangkul, kalau tak salah ketika saya telah duduk
di sekolah menengah pertama, sesekali saya lah yang mengolah tanah dan membuat
gundukan batang-batang pematang di mana kami menanam kacang dan Rosella. Tak
jarang saya juga yang menyiraminya di waktu sorehari.
Itu
adalah masa-masa di tahun 80-an ketika kami menggunakan batang-batang kayu
kering untuk menyalakan dapur dan memasak. Sebab kami hanya mampu membeli
minyak tanah cuma untuk bahan bakar lampu-lampu damar kami.
Selepas
magrib, saya akan membawa salah-satu lampu damar tersebut ke langgar atau ke
rumah seorang ustadz kami untuk belajar membaca dan mengeja Al-Qur’an. Itu saya
lakukan setelah ibu saya sendiri yang mengajari saya tentang beberapa doa
penting dan mengenalkan huruf-huruf hijaiyyah dan mengajarkan saya membaca dan
mengeja Al-Qur’an sebelum saya duduk di sekolah dasar yang kebetulan ada di
depan rumah. Selain itu, ibu saya juga mengajarkan saya beberapa
sholawat-sholawat pendek.
Aktivitas
lain yang saya lakukan adalah menunggui padi-padi dari serbuan para burung di
sorehari selepas sekolah, di saat biji-biji padi itu mulai menguning. Seingat
saya, saya suka sekali duduk (mungkin dari situlah saya terbiasa merenung dalam
kesendirian) di dekat serimbun pohon bambu yang tumbuh rindang dan asri di
dekat sawah. Saya juga menarik ujung tali yang saya pegang, beberapa meter tali
yang ujung lainnya yang terikat ke orang-orangan sawah yang dibuat oleh ibu
saya. Kami menyebut orang-orangan sawah dari jerami, bilahan-bilahan bambu, dan
kain-kain bekas itu, dengan nama jejodog.
Demikian,
dalam rekonstruksi saya saat ini, ingatan dan kenangan saya tentang kampung
halaman atau tanah kelahiran saya, membathin dan menyatu dengan saya di
saat-saat saya merenung dalam kesendirian di saat saya duduk di serimbun bambu
tersebut.
Dalam
kesendirian itulah, sesekali saya suka sekali mengarahkan pandangan mata saya
ke arah langit senja. Ke arah burung-burung yang beterbangan bersama hembus
udara sore hari, udara yang juga mengerakkan pepohonan bambu di mana saya
berada demi menjalankan perintah ibu saya sebagai seorang anak. Dan bila masa
panen tiba, saya pun akan membantu ibu saya memotong batang-batang padi dengan
alat pemotong yang mirip celurit kecil yang kami sebut arit. Dengan demikian,
kehidupan masa kanak dan masa remaja saya telah sedemikian akrab dengan langit
dan sawah-sawah.
Tak
hanya itu saja yang membuat saya tanpa sengaja begitu terikat dengan kampung
halaman dan tanah kelahiran saya. Barangkali yang dapat dikatakan sebagai
“kepedihan” pertama saya adalah ketika adik perempuan yang bermata indah dan
berwajah cantik meninggal karena demam. Seingat saya, saya menangis di belakang
rumah karena peristiwa tersebut. Mungkin kesedihan saya adalah karena ia adalah
orang yang pertama yang begitu dekat dan akrab dengan saya, yang senantiasa
bersama saya dan senantiasa menangis bila saya tinggalkan.
Dengan
sedikit paparan itu, kampung halaman dan tanah kelahiran bagi saya adalah
tempat di mana saya menyimpan sebuah cerita dan pengalaman “kepedihan” saya
bersamanya. Ia adalah sebuah konteks dan tempat di mana ingatan dan kenangan
saya berada dalam ketakhadirannya di waktu sekarang. Ia adalah sebuah bingkai
dan kanvas yang belum digambar, yang hanya bisa saya rekonstruksi saat ini
ketika saya mulai belajar untuk menarasikannya dalam sekian fiksi, dalam
sejumlah puisi-puisi yang saya tulis.
Ingatan
dan kenangan itu memang tak ubahnya hanya upaya untuk “merekonstruksi” sebuah
peristiwa dan konteks yang sebenarnya sudah tidak ada, namun jejak bathinnya
masih senantiasa ada ketika saya berusaha merekonstruksinya demi sebuah fiksi –demi
sejumlah puisi yang saya tulis. Singkat kata, kampung halaman atau tanah
kelahiran adalah sebuah “historiografi personal” sekaligus sebuah fiksi yang
membuat saya begitu terikat dengannya. Ia adalah latar dominan yang membentuk
relung bathin saya karena di sanalah saya pernah mengalami “kepedihan” saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar