Sulaiman Djaya (https://liputan9.id/soeharto-bukan-pahlawan/)
“Soeharto menggunakan G30S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Soekarno, sambil melambungkan dirinya ke kursi kepresidenan. Pengambilalihan kekuasaan Negara oleh Soeharto secara bertahap yang dapat disebut sebagai kudeta merangkak, dilakukannya di bawah selubung usaha untuk mencegah kudeta…” –John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal (Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra 2008 h. 5).
Judul tulisan ini diambil dari tagar yang digunakan banyak akun dan postingan di media sosial. Kita memang harus menyimak pandangan dan argumen mereka yang menolak penganugerahan pahlawan nasional kepada Soeharto oleh pemerintah. Sebagai contoh, akun Jejak Rasio dalam postingannya di media sosial membeberkan bahwa track record Soeharto tidak menunjukkan spirit pengorbanan (pengabdian) dan berkorban untuk bangsa dan rakyat Indonesia, yang ada adalah mengorbankan rakyat (menurut sejumlah buku sejarah mencapai jutaan nyawa) untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaan. Lalu dari mana kategori pahlawan untuk Soeharto, toh saat serangan umum di Yogya juga ia malah asik makan soto di saat pasukannya bertempur?
Hal itu berbeda misalnya dengan Gus Dur dan Bung Karno yang rela tergusur dan terguling dari kekuasaan, asal tidak terjadi perang saudara. Tapi Soeharto justru meniti karir awal kekuasaannya dan mempertahankan kekuasaannya saat berkuasa dengan menghilangkan nyawa warga sipil, hidup rakyat. Belum lagi kalau kita bicara kekuasaannya ternyata hanya instrumen Amerika untuk mengeruk kekayaan Indonesia, yang berdasarkan laporan Bank Dunia (World Bank) dan IMF, 90 persen kekayaan Indonesia di masa Soeharto berkuasa, dibawa ke Amerika.
Kalau diabsen, memang cukup panjang juga daftar kekerasan atau pelanggaran HAM berat orde baru, dari mulai kasus Tanjung Priok hingga Talangsari, Lampung. Dari mulai Tragedi Santa Cruz hingga Daerah Operasi Militer Aceh. Wajar jika banyak penulis sejarah menjulukinya sebagai jagal manusia, pemimpin politik yang menjadi jagal rakyatnya sendiri. Ini belum bicara tentang pemborosan uang Negara, korupsi, dan mark up yang dilakukan anak-anaknya. Membangun binis pribadi dan keluarga dengan menggunakan uang Negara. Soeharto menurut mereka hanya membajak Indonesia demi kekuasaan semata dan demi memperkaya keluarga (anak-anaknya), selain menjadi instrumen Amerika untuk merampok (menjarah) kekayaan Indonesia.
Tak cuma itu, pernyataan Menteri Kebudayaan Indonesia Fadli Zon yang menyatakan tidak adanya bukti bahwa Soeharto terlibat genosida (pembantai massal nyawa manusia) langsung menjadi bahan olok-olok dan tertawaan, yang karena banyak bukti benda, dokumen, dan tulisan yang membuktikan keterlibatan Soeharto atas genosida rakyat Indonesia di bulan-bulan akhir tahun 1965, dari September hingga Desember, di Jawa Tengah, Bali dan Jawa Timur dan di sejumlah tempat lainnya di Indonesia. Di media online, sebagai contoh, kita tinggal membaca tulisan Faisal Irfani di https://www.bbc.com/indonesia/articles/c620x3kyl9qo sekedar untuk menyela kenaifan Menteri Kebudayaan:
“Soeharto dengan sadar memerintahkan pembersihan—berujung pembantaian—kepada anggota, simpatisan, hingga yang dituding Partai Komunis Indonesia (PKI). Salah satu dokumen yang dikirim Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta ke Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tertanggal 30 November 1965 menyatakan ‘TNI hendak melanjutkan kampanye represi PKI atas perintah Jenderal Soeharto.’ Temuan lainnya menyebut segala yang dilakukan Soeharto pada Oktober 1965 menunjukkan bahwa dia sedang melaksanakan rencana serangan antikomunis—bukan sekadar merespons kematian enam perwira di TNI Angkatan Darat. Sementara riset intensif peneliti Australia mengemukakan Soeharto, tidak lama usai para jenderal dibunuh, mengirimkan telegram di lingkup internal militer yang berpesan "PKI perlu ditumpas."
Soeharto menghalalkan darah rakyat dengan begitu entengnya hanya demi mempertahankan kekuasaan dan berkuasa. Ia bukan pahlawan karena tidak menunjukkan bukti memuliakan rakyat Indonesia, justru menganggap nyawa rakyat Indonesia tidak punya harga ketika dengan gampangnya membunuhi rakyat Indonesia yang bersuara dan menyuarakan aspirasi mereka. Anaknya-anaknya menggunakan uang Negara untuk bisnis dan kemanjaan mereka, bisnis yang justru kerapkali gagal atau tidak memberikan keuntungan, semisal mobil Timor-nya Tommy Soeharto, apalagi memberi pemasukan bagi Negara. Kekayaan SDA dari bagi hasil dengan Amerika atau perusahaan asing lainnya acapkali juga malah masuk ke kantong keluarga cendana, bukan ke kas Negara.
Soeharto, demikian menurut mereka yang menolak penganugerahan gelar pahlawan nasional kepadanya, tidak memberi kepada bangsa ini, tapi justru mengambil dan mengkorupsinya, selain membiarkan kekayaan Indonesia dirampok Amerika dalam skala yang gila-gilaan. 32 tahun dia berkuasa, niscaya Indonesia telah menjadi Negara maju jika dia sungguh-sungguh melahirkan Sumber Daya Manusia Indonesia yang banyak, sebab kemajuan itu linear. Yang justru ia lakukan adalah menakuti-nakuti rakyat yang sadar dengan perilaku dan tindakan korupnya, sadar dengan kejahatan politiknya. Menangkap dan membunuh rakyat. Soeharto menjadikan atau membajak Indonesia hanya ladang (korupsi) keluarga belaka.
Orde Baru Soeharto pula yang menyebarkan wabah mematikan bangsa ini: menjadikan korupsi sebagai kewajaran, mengajarkan politik sebagai modus menghalalkan penjagalan, dan menanamkan kepercayaan bahwa kejujuran adalah ancaman. Dengan demikian, menurut mereka yang sangat tidak setuju penganugerahan gelar pahlawan nasional untuknya, tidak ada yang bisa diteladani secara moral dan politik dari sosok Soeharto, justru yang menggunung adalah jejak (track record) pelanggaran HAM berat atau kejahatannya.
Kita perlu bertamasya sebentar ke masa silam, melalui artikel yang ditulis David Ransom berjudul Berkeley Mafia and Indonesian Massacre, yang kemudian dipublikasi ulang dalam bentuk buku tipis oleh Koalisi Anti Utang di tahun 2006 setelah sebelumnya di tahun 1970 pernah juga dipublikasi secara bersambung oleh Mingguan Dwiwarna Jakarta, yaitu Nomor 103 sampai 109:
“Kejadian di Indonesia tahun 1965 merupakan kejadian terbaik bagi kepentingan Amerika sejak perang dunia kedua, demikian kata seorang pejabat Bank Dunia”. Sebagaimana dapat diikuti dalam cerita-cerita tentang Indonesia di masa lalu, Indonesia adalah kawasan yang paling menggoda bagi para petualang dan pencari kekayaan. Mereka menganggap Indonesia sebagai “hadiah terbesar” bagi penjajah di dunia. Presiden Amerika Richard Nixon pada tahun 1967 mengatakan bahwa Indonesia adalah “hadiah terbesar” di wilayah Asia Tenggara.
Pada awal tahun 1960-an, Amerika merasa kehilangan kekayaan yang tak ternilai karena pada waktu itu Indonesia berada di bawah kekuasaan seorang nasionalis progressif, yaitu Soekarno, yang dicap Amerika sebagai berorientasi Peking dan didukung oleh Partai Komunis Indonesia dengan 3.000.000 lebih massa anggotanya yang siap-siap menunggu kesempatan berkuasa.
Pada bulan Oktober 1965 terjadilah kudeta yang dilakukan seorang kolonel. Pada saat itu beberapa jenderal Indonesia segera bertindak menggagalkan kudeta tersebut, dan secara bersamaan membuka pintu bagi perusahaan-perusahaan Amerika untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia yang luar biasa besarnya dengan melumpuhkan kekuasaan kepala negara pada saat itu, yaitu Presiden Soekarno.
Para penguasa militer pada saat itu juga membiarkan terjadinya pembunuhan massal yang terbesar dalam sejarah modern negeri ini, di mana kurang lebih antara 500.000 hingga 1.000.000 orang yang dianggap komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia yang tidak bersenjata, juga petani-petani yang dianggap simpatisan PKI, dibunuh secara keji oleh militer Indonesia. Setelah pembantaian tersebut, lenyaplah semangat nasionalisme yang berkobar-kobar sebelumnya, yang telah dikobarkan selama sepuluh tahun sebelumnya.
Dengan jatuhnya Soekarno yang memiliki nasionalisme tinggi itu, pemerintah baru (Orde Baru Soeharto) berkesempatan membuka lebar-lebar kekayaan alam Indonesia yang luas dan besar itu bagi perusahaan-perusahaan Amerika. Untuk memuluskan masuknya perusahaan-perusahaan Amerika tersebut, dibentuk “tim istimewa” dalam pemerintahan Indonesia yang terdiri dari menteri-menteri yang menguasai bidang perekonomian, yang oleh orang-orang Indonesia sendiri dikenal sebagai para “Mafia Berkeley”.
Indikasi kepentingan Amerika untuk membantu Soeharto menjadi penguasa Indonesia menggantikan Soekarno yang kontra-Amerika terlampau terang untuk dianggap hanya rumor belaka. Di lembar-lembar bukunya yang berjudul Dalih Pembunuhan Massal itu, John Roosa menulis:
“Lepasnya Indonesia dari pengaruh AS akan menjadi kehilangan besar, yang jauh lebih mahal daripada lepasnya Indocina. Dalam politik luar negeri AS setelah Perang Dunia Kedua, Indonesia dianggap sebagai domino terbesar di Asia Tenggara, bukan hanya karena bobot demografis sebagai negeri berpenduduk terbesar ke lima di dunia dan keluasan geografis sebagai kepulauan yang terbentang 3000 mil lebih dari timur ke barat, tapi juga karena sumber daya alamnya yang melimpah ruah. Indonesia adalah sumber minyak, timah, dan karet yang penting. Dengan investasi lebih banyak, Indonesia akan menjadi produsen bahan mentah yang lebih besar lagi, termasuk emas, perak, dan nikel. Seperti dikatakan sejarawan Gabriel Kolko, bahwa AS pada awal 1950-an ‘telah menyerahkan Indonesia di bawah pengaruh ekonomi Jepang’: minyak, mineral, logam, dan tanaman pangan dari Indonesia akan menghidupi industrialisasi Jepang…” (h. 16).
Kita harus mencegah bangsa ini dari pembusukan, dan tidak boleh membiarkan Prabowo Subianto menjadi reinkarnasi Soeharto, dan lalu pemerintahan dan rezimnya adalah Orde Baru yang lahir kembali. Itulah tanggungjawab sejarah yang harus kita jaga dari hasrat para elit yang menjadi para pengkhianat reformasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar