Nasionalisme
dan Ketahanan Budaya Indonesia
Ketahanan Budaya Indonesia sesungguhnya sedang
menghadapi tantangan yang berat, terutama dari globalisasi. Budaya-budaya
daerah/lokal yang merupakan kesatuan dalam ikatan budaya nasional kian melemah
sehingga dengan mudah diklaim oleh bangsa lain menjadi miliknya. Ironisnya,
keadaan ini berlangsung tanpa pembelaan yang cukup dari Negara. Contohnya adalah
kasus ketika sejumlah ikon budaya Indonesia dijadikan tayangan iklan promosi wisata
dan budaya oleh Negara tetangga beberapa tahun silam.
Melemahnya daya tahan budaya ditenggarai karena kegagalan kita sebagai bangsa
menyikapi globalisasi secara cerdas sehingga mudah menerima dan menerapkan
budaya asing yang beberapa aspeknya justru bertentangan dengan budaya bangsa
kita sendiri.
Nasionalisme yang kian memudar dan ketahanan budaya yang terus melemah
berpotensi menggoyahkan bangunan ‘rumah Indonesia” yang bersifat multietnik dan
multikultural. Konsep nasionalisme Indonesia bukan semata-mata konsep politik,
melainkan juga konsep budaya. Idealnya nasionalisme Indonesia menggambarkan
ikatan budaya yang menyatukan dan juga mengikat rakyat Indonesia yang majemuk
menjadi satu bangsa dalam ikatan suatu Negara-bangsa (nation-state).
Anggapan para ahli politik tentang nasionalisme adalah sebuah ideologi yang
sudah jelas bisa dibilang keliru, karena pada dasarnya nasionalisme adalah
konsep yang “terbuka” untuk berbagai interpretasi atau bagi ragam tafsir.
Nasionalisme mencakup banyak aspek yang bila ditelisik cukup kompleks.
Pertama,
nasionalisme merefleksikan sejarah masa lalu, khususnya menyangkut kisah
perjalanan hidup atau proses terbentuknya suatu bangsa yang juga disebut
nasion. Kedua, keterikatan warganegara terhadap Negara-bangsa di mana
ia tinggal atau hidup.
Aspek lain nasionalisme adalah hubungan antara
beberapa entitas penduduknya, yakni Negara, bangsa, dan masyarakat yang
membentuk Negara-negara tersebut. Sebelumnya penting untuk dicatat bahwa
membicarakan hubungan tersebut tidak bisa dilepaskan dari konteks dimana
hubungan-hubungan itu mempunyai arti. Pada hakikatnya konteks yang dimaksud di
sini terkait dengan tiga struktur utama, yaitu lokal-nasional, nasional-global,
dan lokal-global yang pada praktiknya terkait satu sama lain.
Nasionalisme
dan Ketahanan Budaya Indonesia Sebagai Sebuah Problem Kontemporer
Melemahnya nasionalisme Indonesia, tidak bisa
dilepaskan dari persoalan konseptual dari nasionalisme itu sendiri. Namun, sebagaimana
dikemukakan oleh Azyumardi Azra, akhir-akhir ini kita bisa melihat adanya
perkembangan lain dari nasionalisme Indonesia, yaitu: pertama, melalui penerapan otonomisasi dan desentralisasi sejak
2004 yang cenderung menonjolkan “semangat kedaerahan” tidak jarang berimplikasi
terjadinya konflik dan kekerasan antar etnik pada lokalitas tertentu. Kedua, adanya kecenderungan meningkatnya
arus dan gerakan islam transnasional yang menolak bukan hanya nasionalisme
Indonesia, melainkan juga Negara-bangsa Indonesia, dan sebagai gantinya
menawarkan ‘khilafah’ atau entitas politik tunggal bagi seluruh umat islam di
jagad raya ini.
Menurut Juwono Sudarsono, “tiada ilmu yang lebih mendasar dan lebih menentukan
hari depan suatu bangsa dari pada ilmu kependudukan atau demografi. Jumlah,
struktur, kualitas serta persebaran penduduk suatu bangsa erat berhubungan
dengan masalah serta kebijakan politik, ekonomi, sosial-budaya,
sains-teknologi, lingkungan hidup, serta pertahanan-keamanan setiap bangsa”.
Demografi atau ilmu kependudukan memang memberikan informasi-informasi yang
bersifat dasar dari dinamika kependudukan yang mencakup tiga hal pokok yaitu
kematian, kelahiran, dan migrasi.
Nasionalisme dan ketahanan budaya merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, dan
keduanya merupakan bagian penting dari sebuah Negara-bangsa yang memiliki
kedaulatan atas wilayah dan warganegaranya. Nasionalisme dan ketahanan budaya
adalah kualitas-kualitas mental atau psikologis yang melekat pada warga Negara
sebuah Negara, dan bukan pada negaranya sendiri. Oleh karena itu , kuat atau
lemahnya rasa nasionalisme dari warga Negara sebuah negeri, sekaligus
mencerminkan kuat atau lemahnya ketahanan budaya yang dimiliki oleh warga
Negara negeri yang bersangkutan.
Migrasi dan Masalah Kewarganegaraan
Migrasi atau mobilitas penduduk secara
geografis adalah sebuah kenyataan sosial yang telah ada sejak hadirnya manusia
di planet bumi ini. Migrasi merupakan bagian dari dan yang ikut membentuk
sejarah dan peradaban umat manusia. Mobilitas penduduk itu sudah terjadi
sebelum lahirnya sistem Negara-bangsa, justru lahirnya Negara bangsa itu
menimbulkan persoalan bagi migrasi, karena bersamaan dengan itu muncul
batas-batas wilayah Negara (state boundaries) yang merupakan penghalang bagi
mobilitas penduduk yang sebelumnya bebas.
Persoalan kewarganegaraan (citizenship) sangat
jarang didiskusikan di Indonesia. Kecuali persoalan yang menyangkut
dwi-kewarganegaraan pada orang-orang keturunan Cina, kewarganegaraan boeh
dikatakan sebagai sebuah non-isu di negeri ini karena terbukti imigrasi tidak
pernah menjadi masalah yang besar di indonesia.
Nasionalisme dan ketahanan budaya yang dimiliki oleh sebuah bangsa tidak
mungkin dilepaskan dari tinggi atau rendahnya rasa kewarganegaraan dan martabat
yang dimiliki oleh warga bangsa tersebut, yang hanya bisa dipenuhi jika Negara
mampu menyejahterakan warga negaranya, terutama secara ekonomi, dan menegakkan keadilan
dan hukum bagi seluruh warga Negara tanpa memandang perbedaan identitas
kultural mereka.
Transformasi
Nasionalisme Indonesia
Ke-indonesia-an atau kebangsaan yang tidak
diisi ulang atau tidak diaktualisasikan dalam kebijakan-kebijakan publik, tentu
akan berujung pada ke-indonesia-an yang stagnasi, baik di tingkat internal
maupun dalam interaksinya dengan dunia global. Nasionalisme Indonesia memang
mengalami transformasi yang sangat signifikan, yaitu nasionalisme kultural
(bukan hanya berbasis etnis tetapi juga tercakup di dalamnya agama) yang
berubah menjadi nasionalisme politik.
NKRI, Sentralisasi, dan Integrasi Semu
Orde Baru
Kebijakan politik sentralisasi yang sangat
berlebihan oleh Orde Baru, menurut Kenneth Davey (1989), dilatar belakangi
paling tidak oleh tiga alasan. Pertama, adanya kekhawatiran
terhadap persatuan nasional dan munculnya kekuatan-kekuatan yang memecah
persatuan. Kedua, sentralisasi diperlukan dalam rangka memelihara
keseimbangan politik dan keamanan dalam pembagian sumber daya, khususnya antara
Jawa yang dihuni sebagian besar rakyat Indonesia dan luar Jawa yang memiliki
sebagian besar sumber daya ekonomi. Dan Ketiga, pengalaman politik yang
dialami oleh Indonesia sebelum 1965, sehingga pemerintah ingin tetap memgang
kendali yang kuat atas kebijakan pembangunan ekonomi.
Di bawah sistem otoriter Orde Baru, Soeharto bukan hanya melanjutkan upaya
menyatukan dan menyeragamkan ideologi partai-partai dan bahkan ideologi
organisasi-organisasi kemasyarakatan kedalam asas tunggal Pancasila, melainkan
juga cenderung mendistorsikan ide persatuan semata-mata sebagai “kesatuan
teritorial” atas wilayah Negara yang membentang dari Sabang sampai Merauke kedalam
frasa “Negara Kesatuan Republik Indonesia” (NKRI).
Melihat
Kembali Nasionalisme Indonesia dalam Konteks Masyarakat Plural Melalui
Perspektif Sejarah
Persoalan otda (otonomi daerah) di Indonesia memang tak kunjung selesai.
Penerapan otda di masa pemerintahan Hindia pada 1906-1938, formatnya pun tidak
pernah selesai. Fatalnya, kita saat ini jatuh di lubang yang sama karena kita
tidak belajar dari sejarah pemerintahan Hindia Belanda dan justru terperosok
kedalam permasalahan otda yang sama.
Ke-melayu-an
dalam Nasionalisme Indonesia
Bagi Indonesia, Melayu adalah pemahaman
budaya. Sedangkan di Malaysia, Melayu adalah pemahaman politik. Bagi Indonesia,
Melayu adalah salah satu dari rangkaian mozaik yang ada di Indonesia. Konsep
Nusantara bagi Indonesia dan Malaysia juga berbeda. Bagi Indonesia, Nusantara
adalah konsep politik dari Sabang sampai Merauke, sedangkan bagi Malaysia,
Nusantara adalah konsep kebudayaan dari Patani sampai Pasifik yang kemudian
dilebarkan ke dalam konsep “The Malay World” dari Taiwan hingga Madagaskar.
Jadi, jika Malaysia ingin mengembangkan kebudayaan Melayu, itu adalah karena ia
juga merasa sebagai pewaris dari alam melayu. Hal inilah yang dihadapi oleh
industri budaya (industri kreatif) masa kini.
Dari Peran Lembaga Adat ke Peran
Institusi Pendidikan dalam NKRI
Banyak institusi tradisional yang tidak mampu
lagi menopang tatanan kehidupan baru Indonesia Barulah pasca kemerdekaan peran
itu dijalankan oleh institusi pendidikan modern. Ketika itulah lembaga-lembaga
pendidikan/sekolah-sekolah seharusnya memegang peranan penting, karena
lembaga-lembaga pendidikan/ sekolah-sekolah-lah yang menciptakan manusia
Indonesia Baru sebagai pendukung kebudayaan masyarakatnya. Kebudayaan yang
dimaksud di sini adalah kebudayaan dalam arti yang luas.
Lembaga-lembaga pendidikan/ sekolah-sekolah berperan penting memberi bekal
penalaran kepada masyarakat agar dapat menilai mana-mana dari tradisi yang
berhenti karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, mana-mana yang
berlanjut dan mana-mana yang berubah bentuk. Tanpa pendidikan, seleksi tidak
mungin terjadi, arena nilai-nilai budaya suatu bangsa hanya dapat dijaga dan
diwariskan melalui pendidikan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa pendidikan
adalah suatu alat yang dapat menjaga kelestarian budaya. Melalui pendidikan
suatu bangsa akan mampu mengaktualkan nilai budaya bangsanya, karena kebudayaan
adalah satu dinamia hidup suatu bangsa. Kebudayaan harus selalu aktual dalam
kehidupan masyarakat pendukungnya.
Beberapa Acuan Untuk Membaca “Ikatan
Budaya” dan “Nasionalisme Indonesia” Melalui Perspektif Regional atau
Kedaerahan
Menurut Castles, Nasionalisme Indonesia menyadari adanya perbedaan kebudayaan
di antara kelompok-kelompok etnik atau suku-suku bangsa, tetapi juga tidak
pernah menekankan kesamaan kebudayaan sebagai sebuah bangsa. Oleh karena itu,
kesadaran nasional Indonesia merupakan perkembangan baru, sama seperti
kesadaran suku bangsa yang muncul akhir-akhir ini seperti pada kasus Tapanuli
Utara.
Nasionalisme Indonesia secara sederhana ada kaitannya dengan penemuan kata
“Indonesia”. Tanpa kata “Indonesia”, maka tidak ada Nasional Indonesia.
Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia
Sesungguhnya Islam, baik secara normatif maupun historis tidak memiliki masalah
yang signifikan dengan nasionalisme. Hal ini dikarenakan Islam tidak pernah
mempertentangkan ke-Islam-an (keimanan) maupun etnik.
Karakter penyebaran Islam yang berlangsung damai di Indonesia sejak akhir abad
ke-12 melibatkan lebih banyak proses akomodasi Islam terhadap kepercayaan dan
budaya lokal yang begitu beragam di Indonesia, sehingga Islam berpadu dan
bahkan menjadi ‘part and parcel’ tradisi budaya lokal dari satu daerah atau
etnisitas ke daerah dan etnisitas lain.
The
End of Ideology?
Menurut Daniel Bell, ketika ideologi-ideologi
intelektual lama abad ke-19 khususnya Marxisme telah exhausted (kehabisan
tenaga, lumpuh) dalam masyarakat Barat, terutama Eropa Barat dan Amerika,
ideologi-ideologi “baru” semacam industrialisasi, Pan-Arabisme, warna kulit
(etnisitas), dan nasionalisme justru menemukan momentumnya, khususnya di
Negara-negara yang baru bangkit di Asia Afrika sesuai Perang Dunia II.
Tiga
Fase Nasionalisme
Fase
Pertama, pertumbuhan awal dan kristalisasi gagasan
nasionalisme. Fase ini ditandai penyerapan gagasan nasionalisme yang
selanjutnya diikuti pembentukan organisasi-organisasi yang disebut Benda dan
McVey atau Hobsbawm sebagai “proto-nasionalisme”.
Fase
Kedua, seperti bisa diduga nasionalisme sangat
sarat dengan muatan politis ketimbang sosial dan kultural. Tema pokok
nasionalisme di sini adalah apa yang disebut pemimpin nasionalis. Semacam
Soekarno, sebagai ‘nation and character building’, yakni memupuk keutuhan dan
integritas Negara dan bangsa yang akan segera terwujud, sebagaimana dijanjikan
Jepang.
Fase
Ketiga, nasionalisme tidak hanya di Indonesia,
tetapi juga dalam konteks regional Asia Tenggara, bahkan dalam hubungannya
dengan dunia internasional lebih luas.
Nasionalisme,
Etnisitas dan Agama
Pengalaman historis Indonesia dengan
nasionalisme, khususnya dalam hubungan dengan etnisitas dan agama, sangat
kompleks. Kompleksitas itu tidak hanya disebabkan perbedaan-perbedaan
pengalaman historis dalam proses pertumbuhan nasionalisme, tetapi juga oleh
realitas Indonesia yang sangat pluralistik, baik secara etnik maupun agama.
Peta etnografis Indonesia sangat kompleks, antara lain sebagai hasil dari
tipografi kawasan ini. Indonesia di huni oleh kelompok-kelompok etnik dalam
jumlaah yang besar yang selain mempunyai banyak kesamaan fisik-biologis, juga
memiliki perbedaan-perbedaan linguistik dan kultural yang cukup subtansial.
Meskipun demikian, dalam pertumbuhan nasionalisme di Indonesia umumnya,
etnisitas dapat dikatakan tidak pernah sempat mengalami kristalisasi menjadi
dasar nasionalisme. Terdapat beberapa factor yang menghalangi sentiment
etnisitas tersebut. Yang terpenting diantara faktor-faktor itu adalah agama dan
kesadarantentang pengalaman kesejarahan yang sama.
Revitalisasi Nasionalisme
Di tengah arus globalisasi yang terus meningkat, memang nasionalisme perlu revitalisasi,
kembali digelorakan setiap anak bangsa; sehingga Indonesia tidak hanya mampu
bertahan, tetapi sekaligus lebih berjaya di dalam maupun di luar dalam
percaturan internasional.
Nasionalisme
dalam Perspektif Kebudayaan
Selain
dalam bingkai sejarah dan politik, Nasionalisme Indonesia sesungguhnya berwatak
kultural, dan itu tercermin dalam ringkasan Bhinneka Tunggal Ika. Kebudayaanlah
yang plastis sekaligus efektif dalam menjaga ruh nasionalisme bangsa ini hingga
sekarang. Dalam Perspektif Kebudayaan itulah Nasionalisme dan Kebangsaan
Indonesia merefleksikan kesatuan keragaman dalam Nama Indonesia, yang di dalam
rumah Indonesia itu hidup ragam bahasa dan budaya daerah, sehingga kekayaan
multikultural bangsa ini bisa kembali dibaca dalam konteks mutakhir saat ini.
Bila
dalam bingkai politik sebagaimana dipahami dan dinyatakan Mohammad Hatta
sebagai tujuan politik karena melambangkan dan mencita-citakan satu tanah air
pada masa depan, maka dalam bingkai kebudayaan, nasionalisme Indonesia justru
eksis ke panggung dunia karena khazanah kebudayaan dan intelektualnya. Ruh dan
bingkai kebudayaan lah yang justru memungkinkan Indonesia bertahan dan
mengenali dirinya sebagai sebuah bangsa dalam kontestasi global saat ini.
Memungkinkan bangsa ini memiliki identitas yang tak luntur sekaligus sanggup
membentengi dirinya dari ideologi-ideologi ekstrim yang berusaha menghancurkan
negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar