Qasim
di Karbala
“Akulah Qasim putra Hasan, cucu nabi terpilih
dan terpercaya”
Pemuda belia itu berada pada barisan tiga ribu tentara,
berhari-hari kehausan, terkepung sendirian.
Lalu Ahmad bin Hasan bin Ali menyeruak
ke dalam barisan:
"Paman, adakah seteguk air bagiku?"
“Anakku, bersabarlah sejenak,
sebentar lagi engkau akan bertemu
dengan kakekmu
pelepas dahagamu”
Pemuda itu kembali memacu diri, seraya berkata :
“Akulah cucu Al-Mukhtar, putra Haidar”
Namun ia segera jatuh
Ribuan panah menghantam tubuh.
(2017)
“Akulah Qasim putra Hasan, cucu nabi terpilih
dan terpercaya”
Pemuda belia itu berada pada barisan tiga ribu tentara,
berhari-hari kehausan, terkepung sendirian.
Lalu Ahmad bin Hasan bin Ali menyeruak
ke dalam barisan:
"Paman, adakah seteguk air bagiku?"
“Anakku, bersabarlah sejenak,
sebentar lagi engkau akan bertemu
dengan kakekmu
pelepas dahagamu”
Pemuda itu kembali memacu diri, seraya berkata :
“Akulah cucu Al-Mukhtar, putra Haidar”
Namun ia segera jatuh
Ribuan panah menghantam tubuh.
(2017)
Kanak
Kanak Matahari
Di masa kecil, di sela-sela udara yang bermain
Di batang-batang lalang dan rumput-rumput liar,
Kegembiraan begitu riang berlarian tanpa henti
Dengan kaki-kaki gaib mereka.
Ibuku, ibuku, memanen kesunyian seorang lelaki
Dengan kesabaran dua tangannya yang raib.
Aku seorang bocah, yang belum memahami
Bahasa puisi, hanya tahu memburu para belalang
Di keriuhan butir-butir hujan. Kulafal
Ceracau burung-burung kedinginan
Di ranting-ranting pohon dan lembab rembang
Kalbuku. Ibuku, ibuku, mendongeng hikayat
Rambut merah kemarahan seorang bapak
Yang suka terlambat pulang bila magrib
diwartakan. Di masa kecil, bila senja meruncing,
Kupahami lalang pematang sebagai kematian.
(2017)
Di masa kecil, di sela-sela udara yang bermain
Di batang-batang lalang dan rumput-rumput liar,
Kegembiraan begitu riang berlarian tanpa henti
Dengan kaki-kaki gaib mereka.
Ibuku, ibuku, memanen kesunyian seorang lelaki
Dengan kesabaran dua tangannya yang raib.
Aku seorang bocah, yang belum memahami
Bahasa puisi, hanya tahu memburu para belalang
Di keriuhan butir-butir hujan. Kulafal
Ceracau burung-burung kedinginan
Di ranting-ranting pohon dan lembab rembang
Kalbuku. Ibuku, ibuku, mendongeng hikayat
Rambut merah kemarahan seorang bapak
Yang suka terlambat pulang bila magrib
diwartakan. Di masa kecil, bila senja meruncing,
Kupahami lalang pematang sebagai kematian.
(2017)
Akhir Januari
Butir-butir gerimis adalah
kanak-kanak sepi:
Usia yang hilang bersama
sorehari.
Betapa dekat aku kepada
mautku
Bila umurku nanti adalah
sunyi
Yang bertamu
Di beranda dua matamu.
Dingin adalah matahati
Pikiran yang letih. Jauh
sekali
Mataku menerka rapih
Gerak lembut gugusan
rambutmu.
Daun-daun bergetar seperti
kekal abadi
Teka-teki takdir
Yang selalu luput kutulis
Dan tak pernah dapat
kupahami.
Burung-burung terbang
dalam basah
Cakrawala padam
Ketakmengertianku
menyelami bahasa.
Dan misalkan hidup tak
lebih
Mesin hitung yang rusak
Adakah aku akan jadi
mengetahui
Nama-nama Tuhan
Yang tak termaktub di
kitab-kitab suci?
Adakah sujudku
kepada kematianku sendiri
Adalah penebusan
ketakpahamanku
Pada kuasa Tuhan?
Butir-butir gerimis adalah
rimbun mautku
Menandur umur di kekal
waktu
Yang tak dapat kau hitung
Seperti rinduku pada
kegembiraanmu.
(2018)
Sulaiman Djaya. Sumber: Majalah Sastra Horison Edisi
Juli-Agustus-September 2018 halaman 33-37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar