Pukul 12 tepat
Sepanjang rengkuhan jalan
Bertahan pada sentesa bulan
Bisik mantra-mantra bulan
Mengabur lantai kenangan
Dan segala relasi jelas kini
Segala memisah, memperjelas diri
Setiap lelampu jalan yang kulintas
Berdentum bagai tambur kematian
Tengah malam menyentak lepas kenangan
Bagai lelaki marah mencabut kering geranium.
30 menit dari pukul 1
lelampu jalan yang memercik berkata:
Beri hormat itu perempuan
Yang menggamangkanmu ke sinar pintu itu
Pintu yang membuka padanya seperti seringai.
Kau lihat ujung gaunnya.
Koyak berlumur pasir
dan kau lihat sudut matanya
mengerling bagai lencana yang dipakai miring.
Kenangan melambung, tinggi dan kering
Kerumunan dari yang terpintal terjalin
Jalinan cecabang di senarai pantai.
Terasa hambar dan berkilau
Seperti yang dunia serahkan.
Rahasia tulang kerangka
Putih dan keras
Selingkar pegas di halaman pabrik
Karat yang melekat, tak lagi kuat
Keras melengkung, siap di dentang-dentang.
Aku melihat ada kehampaan di lorong mata bocah itu
Aku sudah melihat mata di jalan itu
Menatap tajam menembus benderang jendela
Dan seekor ketam, satu sore, di genang kolam.
Seekor ketam tua, kepah di punggungnya
Mencengkram ujung tongkat yang kugenggam.
Pukul 3.30 menit,
Lelampu memercik
Lelampu memberengut dalam gelap.
Lelampu yang bergumam:
Beri hormat bulan itu,
Bulan mengerdip, matanya redup,
Bulan tersenyum, ke pensil sudut-sudut
Bulan mengelus rambut-rambut rumput.
Bulan yang telah kehilangan kenangan
Parut cacar mengacau wajah bulan,
Tangan bulan menata mawar kertas,
Yang menebar debu dan cologne apak,
Bulan sendiri dengan seluruh aroma malam,
Yang saling bersilang di sisi seberang pikir bulan.
Kenanganpun tiba-tiba datang
Dari geranium yang kering di teduh matahari
Dan menabur di celah karang,
Aroma chesnut menebar di jalan-jalan
Dan aroma perempuan di kedap ruang
Dan sengak rokok di koridor
Dan uap koktail di bar.
Lelampu berkata:
Pukul 4
Inilah nomor pintu itu,
Kenangan!
Engkau punya kuncinya
Lampu kecil menebar lingkar sinar di tangga,
Menaik.
Ranjang membuka: Sikat gigi menggantung di dinding,
Lepaskan sepatu di depan pintu, tidurlah,
Bersiap untuk hidup esok lagi."
Hunus terakhir sang pisau.
*Thomas Stearns Eliot atau
T.S. Eliot membawa tingkatan baru dalam dunia puisi. Salah satu puisi
terbaiknya, Four Quartets mengantarkannya sebagai peraih hadiah Nobel bidang
sastra pada tahun 1948. Di tahun yang sama ia juga mendapat gelar kehormatan
Order of Merit yang dianugrahkan langsung oleh Raja George VI dari Kerajaan
Inggris Raya.
Selain menulis puisi, Eliot juga piawai menulis naskah drama. Salah satu
naskah dramanya, The Cocktail Party, mendapat penghargaan Tony Award pada tahun
1950.
Puisi-puisi Eliot terbilang sebagai puisi yang sulit namun memiliki
makna yang dalam. Bahkan puisi-puisinya menjadi bahan perdebatan hingga kini.
Kehidupan pribadi Eliot sendiri bisa dibilang serumit puisi-puisinya. Ia
terlahir dari pasangan imigran Inggris di Amerika Serikat. Ia tumbuh besar di
Amerika Serikat tapi rupanya dalam hatinya tetap melekat rasa cinta pada tanah
leluhurnya.
Ia menempuh pendidikan di beberapa universitas ternama dunia. Harvard,
Sorbonne, dan Merton College, Oxford yang merupakan universitas-universitas
tempat ia menyelesaikan pendidikannya di bidang filosofi.
Rasa cintanya pada Inggris membuatnya memilih untuk menetap di tanah
leluhurnya ini dimulai saat ia kuliah di Merton College, Oxford tapi ia tak
menyukai kehidupannya di Oxford.
Ia jatuh cinta pada wanita Inggris yang membuatnya makin mantap memilih
Inggris sebagai negara barunya tapi sedihnya pernikahannya tidak bahagia.
Istrinya selingkuh, ia lalu meninggalkan istrinya dan kembali ke Amerika tapi
ia akhirnya kembali ke Inggris. Ia dan istrinya tak pernah bercerai meski
mereka hidup terpisah. Setelah istrinya meninggal, ia menikah lagi dengan bekas
sekretarisnya yang berumur 30 tahun sementara usianya sendiri saat itu sudah 68
tahun. Tapi pernikahannya kali ini lebih baik dari yang pertama meski ia tak
memiliki anak dari dua pernikahannya tersebut.
Sementara perjalanan karirnya pun terbilang unik. Ia memang seorang
penulis puisi berbakat. Piawai pula dalam menulis naskah drama. Ia juga pernah
menjadi direktur sebuah perusahaan penerbitan. Dalam catatan karirnya ia pernah
menjadi kepala sekolah dan bahkan pernah pula menjadi pegawai bank.
Kejeniusan Eliot dalam merangkai kata bukan sekadar bentuk kecintaannya
pada bahasa, tapi ia mampu menantang nalar dan alam pikirnya membentuk sebuah
karya yang penuh kompleksitas bahasa.
Pada April 1915 Eliot berkenalan dengan seorang guru privat wanita
bernama Viviene Haigh-Wood. Tak lama dari perkenalan ini, mereka melangsungkan
pernikahan mereka di Kantor Catatan Sipil Hampstead pada 26 Juni 1915.
Pasangan pengantin baru ini tinggal di flat seorang filsuf bernama
Bertrand Russell. Muncul rumor bahwa Russell tertarik pada Vivienne dan mereka
terlibat affair tapi kebenaran dari berita ini tak pernah diketahui.
Pernikahan Eliot dan Vivienne ternyata tak bahagia, yang salah satunya
adalah karena masalah kesehatan Vivienne. Dalam suratnya kepada Ezra Pound,
Vivienne memberitahu beberapa gejala penyakitnya antara lain: temperaturnya
tinggi, kelelahan, insomnia, dan migrain. Hubungan mereka makin renggang terlebih
Vivienne kerap dikirim jauh oleh Eliot dan dokternya dengan harapan
kesehatannya akan membaik, dan selama itu Eliot makin menjauh dari istrinya.
Hubungan mereka ini menjadi dasar dari drama tahun 1984 berjudul Tom and Viv
dan pada tahun 1994 drama ini diangkat menjadi sebuah film.
Pada 1916 Eliot menyelesaikan disertasi
doktoralnya, Knowledge and Experience in the Philosophy of F.H. Bradley di
Harvard, tapi sayangnya disertasinya gagal mendapat hasil yang mengesankan.
Eliot pergi ke Amerika Serikat seorang diri tanpa membawa Vivienne, dan setelah
kunjungan singkatnya ke Amerika sekaligus menjenguk keluarganya, Eliot kembali
ke London dan mengajar di Birkbeck College, Universitas London.
Pernikahannya yang tak bahagia ini lalu
mendasari puisi Eliot yang kemudian sangat terkenal berjudul The Waste Land.
Hal ini diungkapkan Eliot saat berumur enam puluhan. Ia mengatakan, ia
meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia mencintai Vivienne karena ia berharap
dengan begitu ia jadi memiliki alasan kuat untuk tetap bertahan di Inggris. Dan
ternyata Vivienne atas pengaruh Ezra Pound juga meyakinkan dirinya sendiri
bahwa demi puisi ia akan membuat Eliot tetap tinggal di Inggris. Tapi nyatanya
pernikahan itu tak memberikan kebahagiaan bagi keduanya. "Bagi Vivienne,
pernikahan ini tidak memberikan kebahagiaan. Bagiku, pernikahan ini membawa
kebuntuan pikiran yang akhirnya melatarbelakngi munculnya The Waste Land",
demikian asumsi Eliot atas pernikahannya.
Meski pernikahannya tak memberikan
kebahagiaan seperti yang diharapkannya tapi rupanya hal itu tak mengikis
kecintaannya pada Inggris. Pada 29 Juni 1927 Eliot menjadi penganut Anglikan,
agama resmi di Inggris dan pada November 1927 ia mendapatkan kewarganegaraan
Inggris. Namun secara spesifik ia mengidentifikasikan agamanya sebagai Anglo-Catholic.
Sekitar tiga puluh tahun lamanya Eliot mengomentari pandangan agama yang
dianutnya adalah perpaduan antara Katolik secara pola pikir dengan warisan
nilai-nilai Calvinist dan temperamen seorang Puritan.
Peter Ackroyd, salah seorang penulis biografi
Eliot berpendapat ada dua alasan yang melatari keputusan Eliot berpindah agama.
Pertama: Gereja Inggris menawarkan harapan bagi Eliot dan menurut Ackroyd,
Eliot memang membutuhkan tempat yang bisa menentramkannya. Alasan kedua adalah
karena Anglikan bisa membantu Eliot lebih memahami komunitas dan kebudayaan
Inggris.
Sementara itu pernikahan Eliot makin
memburuk. Ketika Harvard menawarinya beasiswa profesor Charles Eliot Norton untuk
tahun ajaran 1932-1933, Eliot langsung menerimanya dan meninggalkan Vivienne di
Inggris. Setelah kembali ke Inggris, Eliot mengatur perpisahannya dengan
Vivienne secara resmi. Meski begitu mereka tidak pernah bercerai. Eliot
berusaha menghindari setiap pertemuan dengan Vivienne. Sementara pada 1938
Vivienne dirawat di rumah sakit jiwa Northumberland House, Stoke Newington dan
ia tetap berada di sana hingga akhir hayatnya. Eliot sendiri, walau masih
merupakan suaminya secara sah tapi tak pernah mengunjunginya. Sepanjang masa
itu hanya dua kali Eliot menemui Vivienne yaitu pada 1932 saat ia akan pergi ke
Amerika Serikat dan tahun 1947 pada saat kematian Vivienne.
Saat itu kabarnya sepanjang 1930-1957 Eliot menjalin hubungan dengan
Mary Trevelyan dari Universitas London dan Mary sangat ingin menikah dengan
Eliot tapi tak pernah terjadi. Pernikahan kedua Eliot terjadi pada 10 Januari
1957. Saat itu Eliot yang sudah berumur 68 tahun menikahi Esme Valerie Fletcher
yang baru berusia 30 tahun. Meski rentang usia keduanya ini sangat jauh tapi
rupanya pernikahan keduanya ini lebih memberinya kebahagian dibanding
pernikahan pertamanya karena tak seperti saat menikahi Vivienne, kali ini Eliot
sangat mengenal Fletcher yang rupanya tak lain adalah sekretarisnya di Faber
and Faber sejak Agustus 1949.
Upacara pernikahan mereka berlangsung di gereja pukul 6.15 pagi, waktu
yang sangat tak umum dan terlalu pagi untuk upacara pemberkatan pernikahan, dan
rupanya mereka memang sengaja ingin merahasiakan pernikahan mereka dengan tak
ada yang menghadiri pernikahan mereka inii kecuali orangtua pengantin wanita
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar