oleh Scott
Westerfeld (Penerjemah: Melody
Violine)
Kuda-kuda Austria mengilap tersorot sinar
rembulan, para penunggang mereka berdiri tegak di pelana, pedang mereka
diacungkan. Di belakang mereka ada dua jajaran mesin berkaki dengan tenaga
diesel sudah berdiri siap untuk menembak, Meriam diarahkan ke atas kepala
pasukan kavaleri. Sebuah pesawat zeppelin mengintai tempat kosong di tengah
medan perang, kulit logamnya berkilauan.
Pasukan infanteri Prancis dan Inggris
merangkak di belakang benteng mereka—sebuah pembuka surat, sebotol tinta, dan
sebaris pena bulu—sadar bahwa mereka tidak mungkin menang melawan Kekaisaran
Austria-Hungaria yang perkasa. Tapi sederet monster-monster Darwinis menjulang
di belakang mereka, siap melahap siapa pun yang berani mundur.
Serangan hampir dimulai ketika Pangeran
Aleksandar mengira mendengar ada orang di balik pintunya…
Dengan merasa bersalah dia kembali selangkah
ke ranjangnya—lalu mematung di tempat, mendengarkan sebaik mungkin. Pepohonan
bergoyang tertiup angin sepoi-sepoi di luar, tapi selebihnya malam ini
hening. Ibu dan Ayah kan ada di Sarajevo. Mana ada pembantu yang berani
mengganggu tidurnya.
Alek berbalik kembali ke mejanya dan mulai
memajukan kavaleri, menyeringai ketika perang mendekati klimaks. Mesin-mesin
berkaki Austria sudah selesai membombardir pasukan lawan, dan kini giliran
kuda-kuda timah untuk menghabisi Prancis yang kelewat kalah jumlah. Perlu
semalaman bagi dia untuk menyusun serangan ini, menggunakan buku panduan taktik
kerajaan yang dipinjamnya dari ruang belajar Ayah.
Tidak ada salahnya Alek bersenang-senang
sementara orangtuanya pergi menonton manuver militer. Dia sudah memohon-mohon
agar diajak, untuk melihat barisan-barisan prajurit lewat dengan mata kepalanya
sendiri, untuk merasakan gemuruh mesin-mesin tempur dari telapak sepatu botnya.
Tentu saja, Ibu yang melarangnya—studi Alek
lebih penting daripada “parade”, kata Ibu begitu. Ibu tidak mengerti bahwa
latihan militer bisa lebih banyak mengajari Alek daripada tutor-tutor tua
berbau apak dan buku-buku mereka. Suatu hari, dalam waktu dekat, Alek akan mengendalikan
salah satu mesin itu juga.
Perang kan sudah dekat. Kata semua orang
begitu.
Unit kavaleri timah terakhir baru saja
menabrak barisan prajurit Prancis ketika bunyi pelan terdengar dari koridor
lagi: gemerincing, seperti bunyi segelang kunci.
Ada orang tepat di luar.
Tanpa suara dengan kakinya yang tidak beralas,
dengan gesit Alek menyeberangi lantai marmer dingin, menyelip ke balik selimut
tepat ketika pintu berderak dibuka. Alek menyipitkan matanya, ingin tahu
pembantu mana yang sedang memeriksa dia.
Sinar rembulan memasuki ruangan, membuat para
prajurit timah di meja Alek berkilauan. Seseorang menyelinap masuk, dengan
luwes dan tanpa suara sama sekali. Sosok itu berhenti, memandangi Alek sejenak,
lalu mengendap-endap ke lemari bajunya. Alek mendengar bunyi gesekan kayu dari
sebuah laci yang ditarik.
Jantung Alek berpacu. Tidak ada pembantu yang
berani mencuri dari dia!
Tapi bagaimana kalau penyelundup ini lebih
buruk daripada pencuri? Peringatan ayahnya bergaung di telinga Alek…
Kau sudah punya musuh sejak kau lahir.
Seutas tali lonceng terjuntai di samping
kamarnya, tapi kamar orangtuanya kosong. Karena Ayah dan pengawal Ayah berada
di Sarajevo, penjaga terdekat berada di ujung aula piala, lima puluh meter dari
sini.
Alek menyelipkan satu tangan ke bawah bantal,
hingga jari-jarinya menyentuh baja dingin dari pisau berburunya. Dia tetap
berbaring saja, menahan napas, menggenggam gagang pisau erat-erat, dalam hati
mengulang pelajaran lain dari ayahnya.
Unsur kejutan lebih penting daripada kekuatan.
Sosok lain kemudian memasuki pintu, dengan
sepatu bot berderap, jepitan-jepitan logam dari sebuah jaket pengendali mesin
bergemerencing seperti segelang kunci. Sosok itu berjalan langsung menuju
ranjang Alek.
“Tuan muda! Bangun!”
Alek melepaskan pisaunya, mengembuskan napas
lega. Itu cuma Otto Klopp, guru mekanikanya.
Sosok pertama mulai mengobok-obok isi laci,
mengambili pakaian.
“Pangeran muda sudah bangun dari tadi,” kata
Wildcount Volger dengan suara rendah. “Sedikit saran, boleh, Yang Mulia? Kalau
berpura-pura tidur, sebaiknya tidak menahan napas.”
Alek duduk dan mengerutkan dahi. Guru
pedangnya punya kemampuan menyebalkan untuk tidak bisa ditipu.
“Ada apa ini?”
“Kamu harus ikut kami, tuan muda,” gumam Otto,
mengamati lantai marmer. “Perintah dari archduke.”
“Dari Ayah? Ayah sudah pulang?”
“Dia mengirimkan perintah,” kata Count Volger
dengan nada suara mengesalkan yang biasa dia gunakan dalam pelajaran berpedang.
Dia melempar celana panjang Alek dan sebuah jaket pengendali ke atas ranjang.
Alek memandangi pakaian itu, separuh marah dan
separuh bingung.
“Seperti Mozart sewaktu kecil,” kata Otto
pelan. “Yang biasa diceritakan archduke.”
Alek mengerutkan dahi, mengingat cerita
kesukaan Ayah tentang masa kecil pemusik terkenal itu. Konon guru-guru Mozart
sering membangunkannya pada tengah malam, ketika pikirannya kosong dan tak
berpenghalang, lalu menjejalkan pelajaran-pelajaran musik kepadanya. Bagi Alek,
cara itu terdengar tidak sopan.
Alek meraih celana panjang. “Kalian akan
memaksaku membuat fugue?”
“Lucu sekali,” kata Count Volger. “Tapi harap
buru-buru.”
“Kami sudah menyiapkan mesin berkaki di balik
istal, tuan muda.” Wajah cemas Otto memaksakan senyum. “Kau yang mengendalikannya.”
“Mesin berkaki?” mata Alek melebar.
Mengendalikan mesin adalah satu bagian dari studinya yang bisa membuat dia mau
keluar dari ranjang. Dia mengenakan celana dan jaketnya cepat-cepat.
“Ya, pelajaran pertamamu malam-malam!” kata
Otto, menyerahkan sepatu bot kepada Alek.
Alek mengenakan sepatu dan berdiri, lalu
mengambil raung tangan pilot kesukaannya dari laci baju, bunyi langkah-langkah
kakinya dipantulkan oleh lantai marmer.
“Sekarang jangan bersuara.” Count Volger
berdiri di samping pintu kamar. Dia membuka pintu dan mengintip ke lorong.
“Kita keluarnya mengendap-endap, Yang Mulia!”
bisik Otto. “Seru sekali, pelajaran ini! Seperti Mozart sewaktu kecil!”
Mereka bertiga menyelinap hingga aula piala,
Master Klopp masih dengan langkahnya yang berat, Volger bergerak luwes tanpa
suara. Lukisan-lukisan leluhur Alek, keluarga yang sudah menguasai Austria
selama enam ratus tahun, berjajar di lorong, mata mereka menyorot ke bawah
tanpa ekspresi. Tanduk-tanduk yang menjadi piala berburu ayahnya membuat
bayang-bayang kusut, laksana hutan bersimbah cahaya bulan. Setiap langkah kaki
terdengar lebih keras akibat heningnya kastel ini, lantas pertanyaan demi
pertanyaan bersahutan di benak Alek.
Bukankah ini berbahaya, mengendalikan mesin
berkaki pada malam hari? Dan kenapa guru berpedangnya ikut serta? Count Volger
lebih suka pedang dan kuda daripada mesin tanpa jiwa, dan kurang toleran
terhadap rakyat jelata seperti Otto. Master Klopp dipekerjakan atas dasar
kemahirannya sebagai pilot, bukan nama keluarganya.
“Volger…,” Alek mulai berbicara.
“Diam, bocah!” sembur sang wildcount.
Amarah memercik di dalam diri Alek, dan hampir
dia melontarkan makian, tak peduli kalau itu merusak permainan menyelinap
keluar yang tolol ini.
Selalu seperti ini. Memang para pembantu
memanggil Alek “archduke muda”, tapi para bangsawan seperti Volger tidak pernah
membiarkan Alek melupakan posisinya. Berkat darah jelata ibunya, Alek tidak
pantas mewarisi tanah maupun gelar kerajaan. Memang ayahnya pewaris sebuah
kekaisaran lima puluh juta jiwa, tapi Alek pewaris nihil.
Volger sendiri hanya seorang wildcount—tidak
ada tanah atas nama dia, hanya sedikit hutan—tapi bahkan Volger bisa merasa
lebih tinggi daripada putra seorang dayang.
Tapi Alek berhasil menahan diri, membiarkan
amarahnya mendingin saat mereka menerobos dapur perjamuan. Pengalaman
bertahun-tahun dihina sudah melatih Alek untuk menahan lidahnya, dan
kelancangan orang lain lebih mudah dia telan manakala dia hendak mengendalikan
mesin.
Suatu hari dia akan membalas dendam. Ayah sudah
berjanji. Kontrak pernikahan akan diubah dengan suatu cara, lalu darah Alek
menjadi biru.
Sekalipun itu berarti membangkang terhadap
sang kaisar sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar