Menurut
pendapat para ahli sejarah dan hadits, Imam Mahdi as dilahirkan pada malam
Jumat, 15 Sya'ban 255 atau 256 H. Ayahanda beliau adalah Imam Hasan al-'Askari
dan ibunda beliau—menurut beberapa riwayat—bernama Narjis, Shaqil, Raihanah,
atau Susan. Akan tetapi, beragamnya nama yang dimiliki oleh ibunda beliau ini
tidak mengindikasikan keberagaman diri sebagai seorang wanita. Karena, tidak
menutup kemungkinan beliau memiliki nama-nama yang beragam sebagaimana layaknya
orang-orang besar lainnya. [1]
Tempat kelahiran beliau adalah Samirra`,
sebuah kota besar di Irak dan pada masa kekhilafahan Bani Abbasiah pernah
menjadi ibu kota kerajaan. Silsilah nasab beliau secara terperinci adalah
Muhammad al-Mahdi bin Hasan al-‘Askari bin Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawad
bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja’far as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir
bin Ali as-Sajjad bin Husain as-Syahid bin Ali bin Abi Thalib as. Kelahiran
beliau adalah sebuah realita yang tidak dapat dipungkiri. Banyak sekali bukti
historis dan tekstual yang menegaskan hal itu.
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata: “Tidak akan meninggal dunia salah
seorang dari kami kecuali ia akan meninggalkan seseorang yang akan meneruskan
missinya, berjalan di atas sunnahnya dan melanjutkan dakwahnya.” [2]
Hakimah,
bibi Imam Hasan al-‘Askari as pernah menggendong beliau dan melihat di bahu
sebelah kanannya tertulis “Kebenaran telah datang dan kebatilan telah sirna”.
(QS. Al-Isrâ`: 81). Kurang lebih enam puluh lima ulama Ahlussunnah dalam
buku-buku mereka juga menegaskan hal itu. Syeikh Najmuddin al-‘Askari dalam
bukunya al-Mahdi al-Mau’ûd al-Muntazhar menyebutkan empat puluh nama mereka dan
Syeikh Luthfullah ash-Shafi dalam bukunya Muntakhab al-Atsar menyebtukan dua
puluh enam nama. [3]
Di antara mereka adalah:
a.
Ali bin Husain al-Mas’udi. Ia menulis:
“Pada tahun 260, Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja’far
bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib as meninggal dunia pada
masa kekhilafahan al-Mu’tamid al-Abbasi. Ketika meninggal dunia, ia baru
berusia dua puluh sembilan tahun. Ia adalah ayah Mahdi al-Muntazhar.” [4]
b.
Syamsuddin bin Khalakan. Ia menulis: “Abul Qasim
Muhammad bin Hasan al-‘Askari bin Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawad adalah Imam
Syi’ah yang kedua belas. Julukannya yang terkenal adalah al-Hujjah. Syi’ah
menjulukinya dengan al-Muntazhar, al-Qâ`im dan al-Mahdi. Ia dilahirkan pada
hari Jumat, 15 Sya’ban 255. Ketika ayahnya meninggal dunia, usianya baru lima
tahun. Nama ibunya adalah Khamth, dan menurut pendapat sebagian ulama, Narjis.” [5]
c.
Syeikh Abdullah asy-Syabrawi. Ia menulis:
“Imam kesebelas adalah Hasan al-‘Askari. Ia lahir di Madinah pada tanggal 8
Rabi’ul Awal 232, dan pada tanggal 8 Rabi’ul Awal 260 meninggal dunia pada usia
dua puluh delapan tahun. Cukuplah menjadi sebuah kebanggaan baginya bahwa ia
adalah ayah Imam Mahdi al-Muntazhar. Mahdi dilahirkan di Samirra` pada malam Nishfu
Sya’ban 255, lima tahun sebelum kewafatan ayahnya. Dari sejak dilahirkan,
ayahnya selalu menyembunyikannya dari pandangan umum karena beberapa problem
(yang menuntut) dan kekhawatiran terhadap ulah para khalifah Abbasiah.
Karena Bani Abbas selalu mencari-cari keluarga Rasulullah dan menjatuhkan
hukuman terhadap mereka, membunuh atau menggantung mereka. Hal itu dikarenakan
mereka berkeyakinan bahwa dinasti kerajaan mereka akan musnah di tangan
keluarga Muhammad. Yaitu, di tangan Imam Mahdi as. Dan mereka mengetahui
realita ini dari hadis-hadis yang mereka dengar dari Rasulullah SAWW.” [6]
d.
Syeikh Abd. Wahhab asy-Sya’rani. Ia menegaskan:
“Mahdi adalah salah seorang dari putra-putra Imam Hasan al-‘Askari as. Ia
dilahirkan pada malam Nishfu Sya’ban 255. Ia hidup (hingga sekarang) sehingga
ia berjumpa dengan Nabi Isa as (kelak).” [7]
e.
Syeikh Sulaiman al-Qunduzi al-Hanafi. Ia
menulis: “Satu berita yang pasti dan paten di kalangan orang-orang yang dapat
dipercaya adalah, bahwa kelahiran al-Qâ`im terjadi pada malam Nishfu Sya’ban
255 di kota Samirra`.” [8]
Manipulasi
Hadis
Ketika
kita merujuk kepada buku-buku referensi hadis dan sejarah, yang kita dapati
adalah, bahwa Imam Mahdi as adalah putra Imam Hasan al-‘Askari, sebagaimana hal
itu dapat kita simak pada sekilas pembahasan di atas. Akan tetapi, kita akan
menemukan satu hadis dalam buku-buku referensi Ahlussunnah yang berlainan
dengan hadis-hadis tersebut. Di dalam hadis ini terdapat penambahan sebuah
frase yang—mungkin—memang disengaja untuk memanipulasi dan menciptakan keraguan
dalam menilai hadis-hadis tersebut. Anehnya, sebagian orang memegang teguh satu
hadis ini dan meninggalkan hadis-hadis lain yang lebih dapat dipercaya, mungkin
karena hadis itu sejalan dengan ide dan kiprah politik-sosialnya. Hadis itu
adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ دَاوُدَ، عَنْ زَائِدَةَ،
عَنْ عَاصِمٍ، عَنْ زُرٍّ، عَنْ عَبْدِ اللهِ، عَنِ النَّبِيِّ (ص) أَنَّهُ قَالَ:
"لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ يَوْمٌ وَاحِدٌ، لَطَوَّلَ اللهُ
ذَلِكَ الْيَوْمَ حَتَّى يَبْعَثَ اللهُ رَجُلاً مِنِّيْ (أَوْ: مِنْ أَهْلِ
بَيْتِيْ) يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِيْ وَ اسْمُ أَبِيْهِ اسْمَ أَبِيْ ، يَمْلَأُ
الْأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَ جَوْرًا."
Diriwayatkan
dari Abu Daud, dari Zaidah, dari ‘Ashim, dari Zurr, dari Abdullah, dari Nabi
saw bahwa beliau bersabda, “Seandainya tidak tersisa dari (usia) dunia ini
kecuali hanya sehari, niscaya Allah akan memanjangkan hari itu hingga Ia
membangkitkan seseorang dariku (dari Ahlulbaitku) yang namanya sama dengan
namaku dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku. Ia akan memenuhi bumi ini
dengan keadilan sebagaimana ia telah dipenuhi oleh kezaliman dan kelaliman.”
Hadis di atas tidak dapat kita jadikan pijakan, baik dari sisi sanad maupun
dari sisi kandungan.
Dari
sisi sanad, hadis ini diriwayatkan dari Zaidah. Jika kita merujuk kepada
buku-buku ilmu Rijal, akan kita dapatkan bahwa semua nama Zaidah memiliki
catatan negatif dalam sejarah hidupnya; Zaidah bin Sulaim adalah seorang yang
tidak diketahui juntrungannya (majhûl), Zaidah bin Abi ar-Ruqad adalah seorang
yang lemah (dha’îf), menurut Ziyad an-Numairi dan hadisnya harus ditinggalkan,
menurut Bukhari, dan Zaidah bin Nasyid tidak dikenal kecuali melalui riwayat
putranya darinya, menurut Ibnu al-Qatthan. Sementara Zaidah (dengan tidak
disebutkan nama ayahnya), hadisnya harus ditinggalkan, menurut Abu Hatim dan
hadisnya tidak bisa diikuti, menurut Bukhari, atau ia ahli dalam menyisipkan
kata-kata baru ke dalam hadis, menurut sebagian ulama Rijal. [9]
Dari
sisi kandungan, tidak hanya Zaidah yang meriwayatkannya dari jalur Zurr. Bahkan,
ada beberapa jalur lain selain Zaidah, dan hadis-hadis itu tidak memiliki
tambahan “dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku”. Dari sini dapat diketahui
bahwa tambahan frase tersebut adalah ulah tangan Zaidah. Di samping itu,
hadis-hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw mengenai Imam Mahdi as tidak
memiliki tambahan frase tersebut. Ditambah lagi ijmâ’ Muslimin yang menegaskan
bahwa Imam Mahdi adalah putra Imam Hasan al-‘Askari as.
Al-Hâfizh
al-Kunji as-Syafi’i menulis, “Semua hadis yang datang dari saw tidak memiliki
tambahan frase ‘dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku’. ... Tirmidzi telah
menyebutkan hadis tersebut dan tidak menyebutkan frase ‘dan nama ayahnya sama
dengan nama ayahku’, dan di dalam kebanyakan hadis-hadis para perawi hadis yang
dapat dipercaya hanya terdapat frase ‘namanya sama dengan namaku’. Pendapat
penentu dalam hal ini adalah, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal dengan ketelitiannya
telah meriwayatkan hadis tersebut di dalam Musnadnya di beberapa kesempatan,
dan ia hanya menyebutkan frase ‘namanya sama dengan namaku’.”
[10] Yang perlu kita simak di sini adalah
mengapa penambahan frase itu harus terjadi? Adakah tujuan tertentu di balik
itu? Minimal ada dua kemungkinan di
balik penambahan frase tersebut:
Pertama, ada usaha
untuk melegitimasi salah satu penguasa dinasti Abbasiah yang bernama Muhammad
bin Abdullah. Ia memiliki julukan al-Mahdi, dan dengan hadis picisan tersebut
mereka ingin mengaburkan opini umum tentang al-Mahdi yang sebenarnya. Kedua ,
ada usaha untuk melegitimasi Muhammad bin Abdullah bin Hasan yang memiliki
julukan an-Nafs az-Zakiyah (jiwa yang suci). Karena ia memberontak kepada
penguasa Bani Abbasiah waktu itu, para pembuat hadis itu ingin
memperkenalkannya—sesuai dengan kepentingan politis-sosialnya—kepada khalayak
bahwa ia adalah al-Mahdi yang sedang ditunggu-tunggu. [11]
Kisah
Kelahiran
Kisah
kelahiran orang-orang besar selalu menyimpan rahasia dan misteri tersendiri.
Betapa banyak peristiwa yang terjadi pada saat seorang agung lahir yang sungguh
di luar kemampuan akal kepala kita untuk memahami dan “mempercayaninya”. Tapi,
hal itu bukanlah seuatu hal yang aneh jika dikaitkan dengan kehendak Ilahi. Karena
selama suatu peristiwa masih bersifat mungkin, bukan mustahil, hal itu masih
berada di bawah ruang lingkup kehendak Ilahi meskipun termasuk kategori sesuatu
yang aneh menurut akal kita. Kisah kelahiran Imam Mahdi as adalah salah atu
dari sekian kisah aneh (baca: ajaib) yang pernah terjadi di sepanjang sejarah
manusia. Mari kita simak bersama.
Sayidah
Hakimah binti Imam Muhammad al-Jawad as bercerita: Abu Muhammad Hasan bin Ali
(al-‘Askari) datang ke rumahku seraya berkata: “Wahai bibiku, berbuka puasalah
di rumah kami malam ini. Malam ini adalah malam Nishfu Sya’ban. Allah Ta’ala
akan menampakkan hujjah-Nya di atas bumi pada malam ini.” “Siapakah ibunya?”,
tanyaku “Narjis”, jawabnya singkat. “Sepertinya ia tidak memiliki tanda-tanda
kehamilan?”, tanyaku lagi. “Hal itu akan terjadi seperti yang telah kukatakan”,
katanya menimpali. Setelah sampai di rumahnya, kuucapkan salam dan duduk. Tidak
lama Narjis datang menemuiku untuk melepaskan sandalku seraya berkata: “Wahai
junjunganku, izinkanlah kulepaskan sandal Anda.” “Tidak! Engkaulah junjunganku.
Demi Allah, aku tidak akan mengizinkan engkau melepaskan sandalku dan
berkhidmat kepadaku. Seharusnya akulah yang harus berkhidmat kepadamu”,
tegasku. Abu Muhammad mendengar ucapanku itu. Ia berkata: “Semoga Allah
membalasmu dengan kebaikan wahai bibiku.” Kukatakan kepada Narjis: “Pada malam
ini Allah akan menganugrahkan kepadamu seorang putra yang akan menjadikan
junjungan di dunia dan akhirat.” Ia duduk sambil menahan malu.
Setelah
selesai mengerjakan shalat Isya`, aku berbuka puasa dan setelah itu, pergi ke
tempat tidur. Ketika pertengahan malam tiba, aku bangun untuk mengerjakan
shalat. Setelah aku selesai mengerjakan shalat, Narjis masih tertidur pulas dan
tidak ada kejadian khusus terhadap dirinya. Akhirnya aku duduk-duduk sambil
membaca wirid. Setelah itu, aku terbaring hingga tertidur pulas. Tidak lama
kemudian, aku terbangun dalam keadaan tertegun, sedangkan ia masih tertidur
pulas. Tidak lama berselang, ia terbangun dari tidurnya dalam keadaan
ketakutan. Ia keluar untuk berwudhu. Ia kembali ke kamar dan mengerjakan
shalat. Ketika ia sedang mengerjakan rakaat witir, aku merasa bahwa fajar sudah
mulai menyingsing. Aku keluar untuk melihat fajar. Ya, fajar pertama telah
menyingsing. (Melihat tidak ada tanda-tanda ia akan melahirkan), keraguan
terhadap janji Abu Muhammad mulai merasuki kalbuku. Tiba-tiba Abu Muhammad
menegorku dari kamarnya: “Janganlah terburu-buru wahai bibiku. Karena janji itu
telah dekat.” Aku merasa malu kepadanya atas keraguan yang telah menghantuiku.
Di saat aku sedang kembali ke kamar, Narjis telah selesai mengerjakan shalat.
Ia keluar dari kamar dalam keadaan ketakutan, dan aku menjumpainya di ambang
pintu. “Apakah engkau merasakan sesuatu?”, tanyaku. “Ya, bibiku. Aku merasakan
berat sekali”, jawabnya. “Ingatlah Allah selalu. Konsentrasikan pikiranmu. Hal
itu seperti yang telah kukatakan padamu. Engkau tidak perlu takut”, kataku
menguatkannya.
Lalu,
aku mengambil sebuah bantal dan kuletakkannya di tengah-tengah kamar.
Kududukkannya di atasnya dan aku duduk di hadapannya layaknya seorang wanita
yang sedang menangani seseorang yang ingin melahirkan. Ia memegang telapak
tanganku dan menekannya sekuat tenaga. Ia menjerit karena kesakitan dan membaca
dua kalimat syahadah. Abu Muhammad berkata dari balik kamar: “Bacalah surah
al-Qadr untuknya.” Aku mulai membacanya dan bayi yang masih berada di dalam
perut itu menirukan bacaanku. Aku ketakutan terhadap apa yang kudengar. Abu
Muhammad berkata lagi: “Janganlah merasa heran terhadap urusan Allah.
Sesungguhnya Allah membuat kami berbicara dengan hikmah pada waktu kami masih
kecil dan menjadikan kami hujjah di atas bumi-Nya ketika kami sudah besar.”
Belum selesai ucapannya, tirai cahaya menutupiku untuk dapat melihatnya. Aku
berlari menuju Abu Muhammad sambil menjerit. “Kembalilah wahai bibiku. Engkau
akan mendapatkannya masih di tempatnya”, katanya padaku.
Aku
kembali. Tidak lama kemudian, tirai cahaya itu tersingkap. Tiba-tiba aku
melihatnya dengan seunggun cahaya yang menyilaukan mataku. Kulihat wali Allah
dalam kondisi sujud. Di lengan kanannya tertulis: “Telah datang kebenaran dan
sirna kebatilan. Sesungguhnya kebatilan telah sirna”. Ia berkata dalam keadaan
sujud: “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain selain Allah Yang Maha Esa dan
tiada sekutu bagi-Nya, kakekku Muhammad adalah Rasulullah, dan ayahku Amirul
Mukminin wali Allah.” Selanjutnya ia menyebutkan nama para imam satu-persatu
hingga sampai pada dirinya. Kemudian, ia berdoa: “Ya Allah, wujudkanlah untukku
apa yang telah Kau janjikan padaku, sempurnakanlah urusanku, kokohkanlah
langkahku, dan penuhilah bumi ini karenaku dengan keadilan.” Setelah itu, ia
mengangkat kepalanya seraya membaca ayat, “Allah bersaksi dalam keadaan
menegakkan keadilan bahwa tiada tuhan selain Ia, dan begitu juga para malaikat
dan orag-orang yang diberi ilmu. Tiada tuhan selian Ia yang Maha Perkasa nan
Bijaksana. Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam”. (QS. Ali ‘Imran :
18-19) Kemudian, ia bersin. Ia berkata: “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta
alam. Semoga Allah mencurahkan shalawat atas Muhammad dan keluarganya.
Orang-orang zalim menyangka bahwa hujjah Allah telah sirna.”
Aku
menggendongnya dan mendudukknnya di pangkuanku. Sungguh anak yang bersih dan
suci. Abu Muhammad berkata: “Bawalah putraku kemari wahai bibiku.” Aku
membawanya kepadanya. Ia menggendongnya seraya memasukkan lidahnya ke dalam
mulutnya dan mengelus-elus kepala, kedua mata, telinga dan seluruh sikunya.
Lalu, ia berkata kepadanya: “Berbicaralah wahai putraku.” Ia membaca dua
kalimat syahadah dan mengucapkan shalawat untuk Rasulullah dan para imam
satu-persatu. Setelah sampai di nama ayahnya ia diam sejenak. Ia memohon
perlindungan dari setan yang terkutuk seraya membaca ayat: “Dengan nama Allah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan Kami akan memberikan anugrah kepada
orang-orang yang tertindas di muka bumi, menjadikan mereka para pemimpin dan
para pewaris. Dan Kami akan menjayakan mereka di muka bumi dan memperlihatkan
kepada Fir’aun, Haman dan bala tentara mereka apa yang mereka takutkan.”
Setelah itu, Abu Muhammad memberikannya kepadaku kembali seraya berkata: “Wahai
bibiku, kembalikanlah kepada ibundanya supaya ia berbahagia dan tidak susah.
Sesungguhnya janji Allah adalah benar. Akan tetapi, mayoritas umat manusia
tidak mengetahui.” Kukembalikan ia kepada ibunya dan fajar telang menyingsing
waktu itu. Setelah mengerjakan shalat Shubuh, aku mohon pamit kepadanya.
[12]
Kelahiran
Yang Tersembunyi
Meskipun
bukti-bukti tekstual dan historis di atas sangat gamblang dan jelas, kelahiran
beliau masih menjadi misteri bagi sebagian orang. Mereka malah mengingkari
bahwa beliau telah lahir dan menganggapnya masih belum lahir. Mungkin faktor
utama atas klaim mereka itu adalah kelahiran beliau yang terjadi secara
tersembunyi dan tidak pernah melihat beliau kecuali sahabat-sahabat dekat Imam
Hasan al-‘Askari as. Tapi, ketika kita memperhatikan situasi dan kondisi
politik yang dominan dan sangat genting di masa-masa terakhir kehidupan Imam
Hasan al-‘Askari, kita akan memaklumi kelahiran beliau yang terjadi secara
tersembunyi itu. Karena hal itu memang terjadi karena tuntutan situasi dan kondisi
yang ada waktu itu mengingat Imam Mahdi as adalah hujjah Ilahi yang terakhir,
dan seandainya penguasa waktu itu berhasil membunuh beliau, niscaya dunia ini
sudah tutup usia.
Mungkin
pendapat seorang penulis kenamaan berikut ini layak kita renungkan bersama,
paling tidak hal itu dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Ia menulis,
“Rahasia di balik kelahiran beliau yang terjadi secara tersembunyi itu adalah,
bahwa ketika dinasti Abbasiah mengetahui melalui hadis-hadis Nabi dan para imam
Ahlulbait as bahwa Imam Mahdi adalah imam kedua belas yang akan meratakan
keadilan di atas bumi ini, menghancurkan benteng-benteng kesesatan, membasmi
pemerintahan thaghut dan menguasai Barat dan Timur, mereka ingin untuk
memadamkan cahaya Allah itu dengan cara membunuhnya. Oleh karena itu, mereka
mengirim mata-mata dan para dukun bayi untuk menggeledah dan memeriksa rumah
Imam Hasan al-‘Askari as. Akan tetapi, Allah masih berkehendak untuk
menyempurnakan cahaya-Nya dan menyembunyikan kehamilan ibunda beliau, Narjis.
Disebutkan
dalam beberapa referensi bahwa al-Mu’tamid al-Abbasi memerintahkan para dukun
bayi untuk memasuki rumah-rumah Bani Hasyim, khususnya Imam Hasan al-‘Askari
tanpa harus meminta izin sebelumnya barangkali mereka dapat menemukan beliau
telah lahir. Akan tetapi, Allah masih menghendaki untuk memberlakukan apa yang
pernah terjadi pada kisah kelahiran Nabi Musa as. Pihak penguasa mengetahui
bahwa kerajaan mereka akan musnah di tangan salah seorang dari keturunan Bani
Israil. Oleh karena itu, mereka selalu mengawasi setiap wanita keturunan Bani
Israil yang sedang hamil. Ketika melihat anak yang lahir dari mereka adalah
lelaki, mereka langsung membunuhnya. Tapi, dengan kehendak Allah Musa tetapi
lahir dengan selamat dan Ia menyembunyikan kelahirannya. Dalam beberapa hadis disebutkan
bahwa kelahiran Imam Mahdi as memiliki keserupaan dengan kelahiran Nabi Musa
dan Ibrahim as.”
[13]
Dari
sekilas pembahasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Imam Mahdi as
sudah lahir. Karena jika tidak demikian, mengapa para penguasa Abbasiah
memberlakukan pengontrolan ketat terhadap keturunan Bani Hasyim, khususnya
istri Imam Hasan al-‘Askari? Mengapa mereka memerintahkan para dukun-dukun bayi
untuk memasuki rumah beliau tanpa harus meminta izin terlebih dahulu? Pada
peristiwa syahadah Imam Hasan al-‘Askari pada tanggal 8 Rabi’ul Awal 260,
Ja’far al-Kadzzâb, saudara beliau ingin menjadi imam di saat shalat janazah
hendak dilaksanakan. Karena sunnah Ilahi bahwa seorang imam tidak dapat
dishalati kecuali oleh imam setelahnya, Imam Mahdi menampakkan dirinya dan
menyingkirkan Ja’far dari tempat imam shalat jenazah. Tidak lama, berita
kemunculan beliau di hadapan khalayak tersebar dan hal itu pun sampai ke
telinga al-Mu’tamid, penguasa dinasti Abbasiah kala itu. Akhirnya, ia
memerintahkan bala tentaranya untuk menggeledah rumah Imam Hasan al-‘Askari
demi menangkap Imam Mahdi dan menyerahkannya kepada Khalifah
[14] . Meskipun kelahiran terjadi secara
tersembunyi, tapi hal itu tidak menutup kemungkinan adanya sebagian orang yang
pernah melihat beliau. Berikut ini nama-nama orang yang pernah melihat beliau
dengan mata kepala mereka sendiri:
[15]
a.
Sayidah Hakimah binti Ali al-Hadi, bibi
Imam Hasan al-‘Askari. Beliaulah yang menemani Narjis saat melahirkan Imam
Mahdi as.
b.
Abu Ghanim, pembantu setia Imam Hasan al-‘Askari
as
c.
Nasim, seorang pembantu di rumah Imam
Hasan al-‘Askari as.
d.
Kamil bin Ibrahim al-Madani, seorang agung yang
pernah menganut mazhab al-Mufawwidhah dan kemudian meninggalkannya. Ia
bercerita, “Para sahabat Imam al-‘Askari pernah mengutusku untuk menanyakan
beberapa masalah dan supaya aku mengetahui tentang anak beliau yang baru lahir.
Aku masuk ke rumah beliau. Setelah mengucapkan salam, aku duduk di pinggir
sebuah pintu yang ditutupi oleh kain. Tiba-tiba angin bertiup dan menyingkap
ujung kain itu. Kulihat seorang anak kecil (di balik pintu itu) yang sangat
tampan bagaikan rembulan. Ia kira-kira masih berusia empat tahun. Ia berkata
kepadaku, ‘Hai Kamil bin Ibrahim!’ Buluku merinding mendengar suara itu dan aku
diberi ilham untuk mengucapkan, ‘Ya junjunganku!’ Ia melanjutkan, ‘Engkau
datang kepada wali Allah untuk menanyakan kepadanya tentang pernyataan bahwa
tidak akan masuk surga kecuali orang yang berkeyakinan seperti keyakinanmu?’
‘Betul, demi Allah’, jawabku. ‘Jika begitu, amat sedikit orang yang akan
memasukinya. Demi Allah! Pasti akan masuk surga kaum yang dikenal dengan
sebutan al-Haqqiyah’, tandasnya. ‘Wahai junjunganku! Siapakah mereka itu?’,
tanyaku. ‘Mereka adalah sekelompok kaum yang karena kecintaan mereka kepada
Ali, mereka siap untuk bersumpah demi haknya, meskipun mereka tidak mengetahui
hak dan keutamannya’, tandasnya. Kemudian, ia melanjutkan, ‘Engkau datang juga
ingin menanyakan tentang keyakinan mazhab al-Mufawwidhah. Mereka telah
berbohong. Sebenarnya hati kami adalah wadah bagi kehendak Allah. Ketika Allah
berkehendak, kami pun berkehendak. Allah berfirman, ‘Dan kalian tidak mungkin
berkehendak kecuali jika Allah berkehendak’.’ Kain itu pun tertutup kembali dan
aku tidak dapat untuk menyingkapnya kembali. Ayahnya melihatku sembari
tersenyum. Ia berkata kepadaku, ‘Kenapa engkau masih duduk di sini sedangkan
hujjah setelahku telah menjawab pertanyaanmu?’”
e.
Abul Fadhl Hasan bin Husain al-‘Askari.
f.
Ahmad bin Ishaq al-Asy’ari al-Qomi,
wakil Imam Hasan al-‘Askari di Qom.
g.
Ya’qub bin Manqusy.
h.
Isa bin Mahdi al-Jawahiri.
i.
Ibrahim bin Muhammad
at-Tabrizi.
j.
Utusan kota Qom.
k.
Ibrahim bin Idris.
Nama
dan Julukan
Orang-orang
besar biasanya memiliki nama dan julukan lebih dari satu. Rasulullah SAWW
memiliki nama dan julukan Muhammad, Ahmad, Thaha, Yasin, al-Basyir, an-Nadzir,
dan lain sebagainya. Imam Ali dan seluruh imam dari keturunan beliau juga
demikian. Hal itu bukanlah suatu hal yang kebetulan. Akan tetapi, menyingkap
satu sisi dari sekian sisi kepribadian dan spiritual yang mereka miliki. Imam
Mahdi pun tak luput dari kaidah di atas. Beliau pun memiliki nama dan julukan
lebih dari satu, seperti al-Mahdi, al-Hujjah, al-Qâ`im, al-Muntazhar, al-Khalaf
as-Shâlih, Shâhib al-Amr, dan As-Sayid. Pada kesempatan ini, kami akan
menyebutkan sebagiannya saja beserta alasan yang ditegaskan oleh hadis-hadis
mengapa beliau memiliki nama dan julukan tersebut.
a. Al Mahdi
Dalam
beberapa hadis, beliau dijuluki dengan al-Mahdi. Diriwayatkan dari Abu Sa’id
al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda, “Nama al-Mahdi adalah namaku.” Hadis
serupa juga pernah diucapkan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.
Mengapa beliau diujuluki demikian? Hal itu dikarenakan Allah selalu
menunjukkannya kepada hal-hal ghaib yang tidak diketahui oleh siapa pun.
Berkenaan dengan hal ini Imam Muhammad al-Baqir as berkata, “Jika al-Mahdi kami
telah bangkit, ia akan membagi-bagikan (harta) dengan sama rata dan berbuat
adil terhadap rakyat jelata. Barangsiapa menaatinya, maka ia telah menaati
Allah dan barangsiapa menentangnya, maka ia telah menentang Allah. Ia diberi
nama al-Mahdi, karena Ia selalu menunjukkannya kepada sesuatu yang rahasia.”
[16]
b. Al-Qâ`im
Julukan
beliau ini mengungkap sebuah makna yang sangat signifikan. Al-Qâ`im adalah
orang yang berdiri atau bangkit. Kebangkitan beliau kelak di akhir zaman
berbeda sekali dengan seluruh kebangkitan yang pernah terjadi dalam sejarah
umat manusia. Bisa diasumsikan bahwa kebangkitan beliau adalah satu-satunya
kebangkitan yang belum pernah disaksikan oleh makhluk Allah. Jika
kebangkitan-kebangkitan yang pernah terjadi sepanjang sejarah hanya bersifat
parsial dan teritorial, kebangkitan beliau ini bersifat universal dan mendunia.
Beliau akan menebarkan semerbak wangi kebenaran ke seluruh penjuru dunia
sehingga setiap orang pasti dapat menikmatinya dengan penuh keleluasaan. Dalam
sebuah hadis Imam Ja’far as-Shadiq as pernah berkata, “Ia dinamai al-Qâ`im
karena ia akan menegakkan kebenaran (dengan kebangkitannya).”
[17] Abu Hamzah ats-Tsumali pernah bertanya kepada
Imam al-Baqir as: “Wahai putra Rasulullah, bukankah kalian semua adalah
orang-orang yang menegakkan kebenaran (qâ`imîn bil-haq)?”
“Ya”,
jawab beliau.
“Mengapa
hanya Imam Mahdi yang dijuluki al-Qâ`im?”, tanyanya lagi.
Beliau
menjawab: “Ketika kakekku Husain as terbunuh, para malaikat menangis
meraung-raung di hadapan Allah ‘azza wa jalla ... Setelah itu, Allah
menunjukkan para imam dari keturunan Husain as (kepada mereka). Mereka menjadi
gembira dengan hal itu. (Pada waktu itu), salah seorang dari mereka sedang
berdiri (qâ`im) mengerjakan shalat. Lantas Ia berfirman: ‘Dengan (perantara)
orang yang sedang berdiri itu Aku akan membalas dendam kepada mereka (para
pembunuhnya)’.”
[18]
c. Al-Muntazhar
Jika
dalam keyakinan masyarakat dunia pekerjaan menunggu dan menanti adalah sebuah
kegiatan yang menjemukan, menunggu kedatangan seorang juru penyelamat dari
segala penderitaan adalah sebuah harapan yang dapat memberikan energi baru bagi
kegiatan seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam konteks ini beliau
diberi julukan al-Muntazhar, orang yang selalu dinantikan kedatangannya. Imam
al-Jawad as pernah ditanya: “Wahai putra Rasulullah, mengapa ia dijuluki
al-Qâ`im?” “Karena ia akan bangkit setelah dilupakan dan mayoritas orang yang
meyakini imâmahnya murtad”, jawab beliau. “Mengapa diberi julukan al-Muntazhar?”,
beliau ditanya kembali. “Karena ia memiliki sebuah ghaibah yang sangat panjang.
Orang-orang yang tulus akan selalu meunggu kehadirannya dan orang-orang yang
kotor akan mengingkarinya”, jawab beliau tegas.
d. Al-Hujjah
Dalam
keyakinan Islam, hujjah Allah pasti selalu ada pada setiap masa. Tidak pernah
berlalu sebuah masa yang hujjah Allah absen di situ. Karena ia adalah
satu-satunya perantara faidh (anugrah dan karunia) Ilahi untuk seluruh
makhluknya. Tanpa hujjah, faidh Ilahi akan terputus dan seluruh alam semesta
akan luluh-lantak.
[3] Untuk telaah
lebih luas mengenai hal ini,silakan merujuk ke buku al-Imam al-Mahdi min
al-Mahdi ilâ azh-Zhuhûr, karya Allamah Muhammad Kazhim al-Qazwini, hal. 97-100,
cetakan pertama, penerbitan an-Nur, Beirut.
[5] Tarikh Ibnu
Khalakan (Wafayât al-A’yân), jilid 3, hal. 316, cetakan Mesir, Maktabah
an-Nahdhah al-Mishriyah.
[6] Al-Ittihâf bi
Hubb al-Asyrâf, hal. 178, cetakan Mesir 1316 H. menukil dari al-Mahdi al-Mau’ûd
al-Muntazhar, karya Syeikh Najmuddin Ja’far al-‘Askari, jilid 1, hal. 200-201,
cetakan Beirut 1397 H.
[9] Syamsuddin Ahmad
bin Muhammad adz-Dzahabi, Mîzân al-I’tidâl, jilid 2, hal. 52; al-Imam al-Mahdi
min al-Mahd ilâ azh-Zhuhûr, hal. 24.
[10] Al-Imam al-Mahdi
min al-Mahd ilâ azh-Zhuhûr, hal. 24 menukil dari al-Bayân fî Akhbâr Shâhib
az-Zamân, hal. 93-94.
[12] Al-Imam al-Mahdi
min al-Mahd ilâ azh-Zhuhûr, hal. 114-118; Kamil Sulaiman, Yaum al-Khalâsh, hal.
67-86.
[13] Luthfullah
ash-Shafi al-Gulpaigani, Muntakhab al-Atsar fî al-Imam ats-Tsânî ‘Asyar, hal.
286, cetakan ketiga, penerbitan ash-Shadr, Tehran.
[15] Untuk menelaah
lebih lanjut tentang hal ini, silakan merujuk ke buku Yaum al-Khalâsh, hal.
67-86.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar