“Terlahir
dari perawan Kunti akibat mantera yang diucapkan secara coba-coba ke Dewa
Surya, bayi Karna dibuang ke sungai Aswa untuk menjaga keberadaan ibunya
sebagai perempuan yang belum menikah. Karna kecil akhirnya ditemukan Adirata,
kusir kereta di kerajaan Astina dan ia tumbuh besar dalam asuhan keluarga wong
cilik”
Hari
itu, Vrishasena, anak Karna, maju ke
arah tentara Pandawa. Panah tajam Arjuna membunuhnya sementara Karna yang melihat. Sekarang,
Karna sangat ingin memerangi Arjuna. Dua prajurit
terbesar tersebut saling berhadapan.
Duel mereka
dimulai, mereka mulai dengan panah biasa, kemudian melakukan pemanasan dengan
penggunaan Astra Dewata. Mereka menggunakan Astra
dari Agni, Baruna, Indra secara bergantian dan
menetralkan Astra yang lain. Sekarang, Karna
mengirimkan astra mengerikan, hadiah
khusus dari gurunya, Parasurama, yang disebut Bhargavastra. Ini astra lebih kuat
daripada semua Astra yang digunakan selama ini oleh mereka. Tentara Pandawa telah
banyak diserang oleh astra ini. Bima marah besar, katanya
kepada Arjuna untuk mengakhiri Karna kalau tidak, ia yang
akan membunuhnya dengan gadanya. Krishna meminta Arjuna
bertempur sepenuh hati, jika tidak, tidak akan mudah untuk
membunuh Karna.
Arjuna memanggil Brahmastra,
gejolak besar terjadi di semua arah. Astra itu
membersihkan awan panah yang dibuat oleh Karna. Karna
membalas dengan mengirimkan astra lain yang mematikan. Astra ini
bersinar menerangi seluruh medan perang. Ia melesat bagai
kilat. Semua orang menonton dengan napas tertahan.
Bahkan para dewa seperti Surya dan Indra pun
menyaksikan duel kedua anak mereka.
Krishna melakukan hal
yang tidak biasa. Dia menekan kereta kudanya sehingga
tenggelam 15 senti ke dalam tanah. Akibatnya astra yang
menuju ke leher Arjuna hanya menyentuh mahkotanya saja. Mahkota
Kiriti yang terkenal itu jatuh ke tanah, tetapi Arjuna selamat.
Sekarang tidak
ada astra kuat lagi yang tersisa di dalam simpanan senjata
Karna. Tapi dia terus bertarung. Pandawa bisa
bernapas lebih lega setelah mereka melihat
bahwa Arjuna lolos dari Magastra mengerikan.
Sekarang nasib telah mulai
bekerja melawan Karna. Bumi ini menjadi lunak,
mendadak roda-roda kereta Karna masuk jauh di
dalam ke tanah. Pelindung rodanya pun
terlepas. Karna mulai marah.
Karna
melompat turun, hendak membetulkan roda itu. “Tunggu! Keretaku masuk
lumpur. Sebagai kesatria besar yang memahami dharma, hendaknya engkau berbuat
adil dan tidak memanfaatkan kecelakaan ini sebagai kesempatan untuk menggempur
aku. Setelah aku berhasil keluar dari lumpur ini, kita bertarung
lagi!” demikian teriak Karna.
Arjuna
sudah siap mengangkat Gandiwanya. Ia memilih anak panah yang pantas untuk
melumpuhkan lawannya. Sementara itu, Karna bingung karena ingat akan sumpah
Arjuna. Ia berteriak lagi, meminta Arjuna memegang kehormatan dan tata krama
kaum kesatria, yaitu tidak menyerang musuh yang tidak berdaya .
Krishna
memotong kata-kata Karna dengan lantang, “Hai, Karna, sungguh baik
engkau masih ingat kata-kata ‘adil dan kehormatan kesatria’. Sayang, baru
sekarang kauingat. Dulu waktu Duryodhana, Duhsasana dan Sakuni menghina
Draupadi, engkau lupa dan berlagak bodoh .
Engkau
juga membantu Duryodhana yang menipu dan jahat terhadap Pandawa. Ingatkah engkau
akan permainan dadu, meracuni dan membakar Pandawa hidup-hidup, lalu mengusir
mereka ke dalam hutan. Apa yang kaumaksud dengan ‘kehormatan dan tata
krama ksatria’? Dan dharma mana yang kauingat?
Mulutmu
yang lancang telah menghina Draupadi seperti ini: ‘Suamimu, Pandawa
telah meninggalkan engkau. Kawinlah dengan laki-laki lain.’
“Sekarang
engkau bicara tentang keadilan, kehormatan kesatria dan dharma. Setelah bicara
tentang itu, apakah engkau tidak malu ikut membunuh Abhimanyu beramai-ramai?
Engkau bicara tentang keadilan, kehormatan dan budi pekerti, tetapi kau justru
mengingkarinya.”
Mendengar
kata-kata Krishna, Karna menundukkan kepala. Ia malu dan tidak berani
mengucapkan sepatah kata pun. Ia bangkit lalu naik kembali ke keretanya,
mengambil busur, dan melepaskan anak panah yang nyaris mengenai Arjuna.
Dhananjaya
terhenyak sesaat. Dengan cepat Karna turun untuk membetulkan roda keretanya
yang terperosok ke dalam lumpur. Ia mencoba mengingat mantra brahmastra
pemberian Parasurama, tetapi seperti telah diramalkan oleh Parasurama, Karna
tak bisa mengingatnya .
“Jangan
membuang-buang waktu lagi, Dhananjaya,” kata Krishna kepada Arjuna. “Panahlah
dia! Bunuhlah manusia jahat itu!”
Mula-mula
Arjuna ragu, tangannya gemetar. Tetapi setelah mendengar kata-kata
Krishna, Arjuna mengirimkan panah, yang bernama Vajr,
senjata Indra. Senjata itu memotong
kepala Karna. Kepala Karna berguling-guling
di tanah. Seberkas cahaya meninggalkan tubuh Karna menuju
ke langit.
Karna sudah
mati dan sekarang tidak ada yang tersisa untuk Duryodana. Matahari tenggelam seolah meratapi
kematian anaknya. Sinar matahari telah kehilangan hati
mereka. Sinar telah menjadi lembut seperti itu
dari sinar bulan.
Sesungguhnya,
menurut aturan perang, siapa pun tidak dibenarkan menyerang atau membunuh musuh
yang tidak berdaya, luka parah, atau berada dalam posisi tak bisa melawan atau
mempertahankan diri. Jika itu dilakukan, artinya orang itu melanggar
dharma! Tetapi di padang Kurukshetra waktu itu, aturan perang sudah tidak
diindahkan, bahkan dilanggar. Bagaimana mungkin mereka dapat dikatakan
menjalankan dharma-nya sebagai kesatria jika saudara dan kerabat saling
membunuh? Bukankah peperangan sebenarnya adalah adharma atau kejahatan?
Salya merasa
kecewa dan dia pergi menghadap Duryodana. Raja tenggelam dalam
keputusasaan. Air matanya mengalir tanpa henti. Dia tidak bisa berbicara. Dia masih
belum bisa menerima kenyataan bahwa Karna sudah
meninggal. Melihat Salya, busur dan kereta Karna,
Duryodana pun semakin terpuruk.
Salya merasa
sangat sulit untuk menghibur raja. Dia sendiri sangat
terguncang. Aswatama dan lain-lain datang untuk
menghibur Duryodana, tetapi mereka tidak bisa berbuat banyak.
Di
pihak Pandawa, Kresna dan Arjuna pergi menemui Yudistira dan
memberi mereka kabar baik yang telah ditunggu oleh
Yudistira dengan penuh harap. Yudistira pun segera berangkat ke
lapangan untuk meliha jasad Karna. Dilihatnya tubuh Karna
yang bersinar dan juga ketiga anaknya.
Pada tengah
malam Duryodana pergi ke kakeknya dan menangis di
kakinya. Bisma menyentuh kepala Duryodana dengan lembut dan
berkata "Mengapa engkau menangis anakku? Apa yang
membuat kamu begitu bersedih?" Duryodana menceritakan
kepadanya tentang kematian Karna. Bisma berkata,
"Jangan bersedih, Radheya ingin mati sebagai
Ksatria. Dia adalah seorang Ksatria dan dia meninggal sebagai
Ksatria.
Duryodana terkejut,
Ia bertanya kepada kakeknya apa yang dimaksud dengan kata-katanya.
Dia berkata,
"Aku selalu percaya
bahwa Karna yang ksatria, tindakan-tindakannya seperti
ksatria semua. Tapi karena Anda mengatakan, bahwa
ia Ksatria.. Saya meminta Anda untuk memberitahu saya tentang
hal itu."
Bisma berkata,
"Hanya jika kau berjanji padaku bahwa rahasia
ini tidak akan pernah diberitahu olehmu kepada siapa
pun, hanya kemudian saya dapat memberitahu Anda ini. Radheya menginginkannya seperti
itu. Saya telah memberikan janji kepadanya bahwa saya
akan menceritakan tentang rahasia
kelahirannya padamu, hanya setelah kematiannya dan itu
juga dengan syarat bahwa kau tidak menceritakannya kepada
siapa pun yang lain. "
Duryodana berkata,
"Jika Karna ingin dengan cara itu, saya harus
menghormati keinginan teman saya, saya tidak akan
memberitahu rahasia ini kepada siapa pun."
Bisma kemudian
berkata "Radheya adalah Kaunteya. Dia
adalah Pandawa.."
Selanjutnya Bisma menceritakan
seluruh kisah tragis kehidupan Karna. Dari kelahirannya hingga
pertemuannya dengan Kunti sebelum perang.
Duryodana berusaha menyerap sejauh
mana keagungan sahabatnya dan pengabdiannya yang begitu hebat
kepadanya. Dia menangis bahwa mengapa dia tidak
terbunuh sebagai pengganti Karna. Ia menjadi kehilangan
akal karena kesedihan.
Akhirnya Bisma menghiburnya. Tapi Duryodana telah
kehilangan kemauannya untuk hidup. Dia ingin mati saja.
Dia berjalan
kembali ke markasnya. Dia berpikir tentang kehebatan
seorang yang bernama Karna. Karna mengetahui bahwa dia
adalah Pandawa yang tertua, namun ia tidak pergi bergabung dengan
saudara-saudaranya. Dia memilih untuk tetap dengan Duryodana
temannya. Dia menyerahkan hidupnya demi persahabatan saat
berperang melawan saudaranya sendiri. Hujan airmata dari
matanya tak terbendung juga.
Dipenuhi
dengan dukacita, dia diam-diam masuk
ke kemahnya, tetapi dia tidak bisa tidur. Pendukungnya yang terbesar
telah gugur . Perang sekarang tampak bagai suatu yang sia-sia
dan tanpa harapan. Untuk pertama kalinya Duryodana
tidak menantikan pertempuran di hari berikutnya. (Diterjemahkan
oleh Rachel Hutami untuk Wayang Nusantara)
2 komentar:
kisah persahabatan sejati yang abadi.
Health is accomplished through enhancing your physical, mental and social prosperity and must be procured through wellnesspitch private strengthening and obligation.
Posting Komentar