Oleh
GJ Nawi
Pelabuhan
Banten sejak tahun 1568 sudah banyak disinggahi bermacam kapal dagang asing,
seperti Birma, Benggala, Keling, Malabar, Tiongkok, Mesir, Parsi, Histambul,
Habsyi, terutama Gujarat dan Portugis. Para pedagang Portugis merupakan orang
Eropa pertama yang melakukan kontak dagang dengan Banten yang telah dilakukan
sejak tahun 1546, kemudian dengan orang-orang Belanda pada 14 Juli tahun 1596.
Di
dalam dunia perdagangan, sultan-sultan Banten banyak merugikan orang-orang
Belanda di dalam dan di luar negeri, karena itulah mereka menjadi saingan berat
bagi Belanda. Belanda sering mengganggu stabilitas kesultanan Banten dengan
bermacam cara, baik secara peperangan frontal maupun politik adu domba (Devide
Et Impera), bahkan hingga menyusup kedalam kalangan istana Banten itu sendiri.
Kekisruhan
negeri Banten yang sangat signifikan dan sempat menggoyahkan eksistensi Banten
sebagai kerajaan besar terjadi berkat ulah dan sepak terjang seorang perempuan
peranakan Arab, bernama Syarifah Fatimah. Syarifah Fatimah adalah seorang janda
dari Wan Mohammad seorang pegawai sipil militer VOC putra tunggal seorang
Kapten Melayu di Batavia bernama Wan Abdul Bagus. Wan Abdul Bagus dikenal
sebagai seorang Melayu yang mengepalai gettho Melayu yang kini dikenal
sebagai Kampung Melayu, Cawang Jakarta Timur. Sedikit perihal Wan Abdul Bagus
ini meriwayatkan bahwa dirinya merupakan putra dari Ence Bagus Pattani, dari
Thailand Selatan. Kiprah Wan Abdul Bagus sebagai Kapten Melayu di Batavia
sangat loyal terhadap Belanda. Boleh dikatakan selama hidupnya ia membaktikan
diri pada Kompeni. Dimulai sebagai juru tulis, kemudian menduduki berbagai
jabatan, seperti juru bahasa, bahkan sebagai duta atau utusan. Sebagai seorang
pria dia sering terlibat dalam peperangan seperti di Jawa Tengah, pada waktu
Kompeni membantu Mataram menghadapi Pangeran Trunojoyo. Demikian pula pada
perang Banten, ketika kompeni membantu Sultan Haji menghadapi ayahnya sendiri
Sultan Ageng Tirtayasa. Namun malang tak dapat ditolak, pada saat menghadapi
pemberontakan Tete Jonker, Kapten Wan Abdul Bagus terluka cukup parah, hingga
menjelang akhir hayatnya ia dipercaya oleh Kompeni untuk bertindak selaku Regeringscommisaris
semacam duta VOC di Sumatera Barat.
Tahun
1747 setelah resmi menjadi janda Wan Mohammad, Syarifah Fatimah bersekongkol
dengan Belanda untuk menghacurkan kesultanan Banten dari dalam, hingga pada
akhirnya berhasil duduk sebagai permaisuri Sultan Zainul Arifin, bahkan
berhasil merebut kekuasaan dengan memfitnah suaminya sebagai seorang yang tidak
waras, sampai pada akhirnya sang Sultan yang dianggap gila itu dapat diasingkan
ke luar Jawa (Maluku).
Ratu
Syarifah Fatimah bersimaharajalela melampiaskan ambisi pribadinya, sehingga
banyak kerabat sultan Zainul Arifin yang mati terbunuh dan membuat penderitaan
yang amat sangat kepada rakyat Banten. Wanita peranakan Arab itu ingin tetap
bersemayam di atas singgasana kesultanan Banten, maka keluarganya yang berdarah
Arab banyak yang ditingkatkan status kedudukannya. Namun demikian rakyat Banten
tidak membiarkan hal ini berlangsung lebih lama, pada Oktober 1750 di bawah
pimpinan seorang ulama bernama Kyai Tapa (penghulu agung Mustafa) yang bekerja
sama dengan keluarga sultan yaitu Tubagus Buang (Ratu Bagus Burhan), Ratu Siti
(putra mahkota), Jayasengkar (Cibadak), Jagastru (Sukabumi) mengadakan
pemberontakan dengan bergerilya dari luar ibu kota Banten. Sementara dari dalam
kota Banten pemberontakan dilakukan dengan mendirikan pemerintahan darurat
secara berturut-turut oleh Pangeran Waseh dan Pangeran Arya Adi Santika yang
merupakan adik Sultan Zainul Arifin.
Untuk
mendukung pemberontakan menghadapi Ratu Syarifah Fatimah, pada tahun 1752
Pangeran Arya Adi Santika menginstruksikan untuk membuka dan memperbanyak
perguruan pencak silat secara umum di daerah Kasemen, dimana setiap laki-laki
mulai dari usia 10 – 50 tahun diwajibkan belajar pencak silat, masyarakat
dituntut untuk mampu menggunakan berbagai macam senjata antara lain siku,
klewang, keris, sekin dan belati. Pasar-pasar dianjurkan untuk banyak menjual
senjata-senjata sebagai dukungan kepada masyarakat yang turut dalam
pemberontakan itu (TBG Roesjan : 38-39). Ditinjau dari materi kesejarahan yang
ada, diasumsikan bahwa perguruan pencak silat di Kasemen Banten ini merupakan
perguruan pencak silat tertua dan yang pertama kali menyebar luaskan ilmu bela
diri pencak silat kepada masyarakat Banten.
Di
dalam pemberontakan itu Syarifah Fatimah berhasil diamankan dan dibuang ke
pulau Edam bersama empat pengikutnya, hingga mengalami depresi yang cukup
tinggi dan mati bunuh diri dengan cara meminum racun. Hinnga kini makam Ratu
Syarifah dan keempat pengawalnya masih dapat dijumpai di pulau Edam, Kepulauan
Seribu.
Seorang
sarjana Belanda menjuluki Ratu Syarifah Fatimah sebagai Madame De Pompadour Van
Bantam (Madame De Pompadour dari Tanah Banten), mensejajarkannya sama dengan
Jeanne-Antoinette Poisson, Marquise De Pompadour yang menjadi salah satu isteri
resmi Louis XV dari Perancis. Kedua wanita yang ambisius itu kebetulan hidup
dalam kurun waktu yang sama, keduanya wanita cantik bertalenta yang memiliki
pengaruh budaya, intelektual dan politik yang cukup kuat di istananya
masing-masing, dan hal yang perlu digaris bawahi keduanya sama-sama dikenal sebagai
wanita petualang cinta. Kisah petualangan cinta Syarifah Fatimah, salah satunya
adalah kisah jalinan mesra dengan Gubernur Jendral Belanda Baron Van Imhoff,
bersemi ketika mengadakan pertemuan di Gedung Villa Nova Tandjoeng Oost. Surat
cintanya masih dapat ditemukan dan tersimpan rapi di Arsip Nasional Jakarta.
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar