Radar Banten, 15 Februari 2013
Selain memiliki warisan
kekayaan budaya dan intelektual Sunda, Banten juga memiliki warisan kekayaan
budaya dan intelektual berbahasa Jawa. Secara historis, sebagaimana dipaparkan
para sejarawan dan arkeolog yang meneliti dan menulis tentang sejarah dan budaya
Banten, semisal Claude Guillot, penggunaan bahasa Jawa di Banten sebenarnya tak
hanya telah ada semenjak Kesultanan Banten berdiri. Namun jauh sebelum itu,
yaitu pada abad ke-10 yang bermula di Kerajaan Hindu Banten Girang. Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya prasasti yang bertitimangsa Prabu Sri Jayabupati
yang menggunakan bahasa Jawa di Banten Girang dan di Cicatih Sukabumi yang
dengan nyata menggunakan aksara dan bahasa Jawa.
Hanya saja, demikian
lanjut Claude Guillot dalam bukunya yang berjudul Banten Sebelum Zaman Islam
itu, penggunaan bahasa Jawa di Banten Girang itu memang sempat terputus, hingga
akhirnya penggunaan bahasa Jawa di Banten mencapai periode mapannya bersamaan
dengan berdirinya Kesultanan Banten hingga sekarang. Di jaman Kesultanan Banten
ini, bahasa Jawa yang mulanya digunakan sebagai bahasa keraton, bahasa resmi
perdagangan dan politik Kesultanan Banten, termasuk juga sebagai bahasa
kesusastraan, lambat laun menjadi bahasa yang digunakan secara massif oleh
masyarakat Banten, terutama masyarakat Banten di Banten Utara, semisal Cilegon,
Serang, dan sebagain kecil wilayah Tangerang.
Hal itu merupakan sesuatu
yang wajar, mengingat banyaknya kaum pendatang dari Cirebon, Demak, dan dari
daerah lain, semisal Bali dan Jawa Timur menjadi penduduk dan masyarakat resmi
Kesultanan Banten, hingga saat ini, selain masyarakat yang sudah sejak lama ada
di Banten, yang di antaranya masyarakat yang bertutur bahasa Sunda. Bersamaan
dengan itu pulalah, dengan sendirinya, berkembanglah bahasa dan budaya Jawa di
Banten, yang kelak dikenal sebagai Jawa-Banten, tak terkecuali tumbuh dan
berkembangnya folklore dan dolanan yang menggunakan tuturan bahasa Jawa di
Banten tersebut, kemudian juga turut menjadi khasanah akulturasi dan penetrasi
budaya dan bahasa Jawa di Banten tersebut.
Dan seperti umumnya
dolanan dan folklore, selain sebagai unsur hiburan dan permainanan, sebenarnya
terkandung juga di dalamnya rekaman historis dan psikologis dalam folklore dan
dolanan yang hidup di dalam masyarakat, selain juga siratan kearifan, yang
khusus dalam hal ini tercermin dalam folklore dan dolanan yang menggunakan
tuturan bahasa Jawa di Banten. Ambil sebagai contohnya bunyi lagu dolanan
berikut: “Iris-iris timun // timun giliran santri // tambing etan ana payung //
payung wong lamaran // tae em em ta em em ta em em // sapa sing dadi ratune.”
(Potong-potonglah buah timun // buah timun kepunyaan santri // di sebelah timur
ada payung // payung orang yang mau melamar // ta em em ta em em ta em em //
siapa yang jadi rajanya?).
Jika ditafsir secara
bebas, bunyi lagu dolanan di atas sebenarnya menyiratkan suatu peristiwa
historis Banten yang dikemas secara halus dalam nyanyian. Lagu dolanan tersebut
seakan-akan hendak menceritakan, sekali lagi bila ini ditafsir secara bebas,
terjadinya akulturasi budaya dan politik antara kaum migran dan lokal di
Banten, di mana kaum migran dikiaskan sebagai seorang yang melamar. Atau bisa
juga ditafsirkan bahwa lagu dolanan tersebut tengah menceritakan diangkatnya
seorang raja di Banten, seperti tercermin dalam bait atau larik terakhir lagu
dolanan itu sendiri: “Siapa yang jadi rajanya?”
Kesusastraan lisan masa
silam, semisal lagu dolanan itu, selain hendak menceritakan kisah oral dari
mulut ke mulut, sebenarnya dapat juga ditafsirkan sebagai ikhtiar sebuah
masyarakat untuk merekam sejarah mereka sendiri. Sebab, seringkali folklore dan
dolanan, selain tentu saja dapat mencerminkan kandungan psikologis
masyarakatnya atau yang menjadi dunia rasa seperti harapan, keinginan, dan
cita-cita mereka sebagai masyarakat dan manusia, tersirat juga relevansi
historis tentang bagaimana kondisi sosial dan kesejarahan folklore dan lagu
dolanan. Bukan hanya itu saja, dengan membaca dan menyimak folklore dan lagu
dolanan, kita juga dapat mengetahui bagaimana kondisi dan suasana kehidupan
masa silam masyarakat: “Kijing-kijing mati // matine ning pinggirkali //
cecindil sing ngadusi, kekunang sing ngedamari // cecebong sing nangisi, baye
sing ngiliri!”
Lagu dolanan di atas,
meski tentu saja diciptakan sudah lama dan dalam konteks yang berlainan,
mengingatkan saya ketika saya masih bocah yang mencari kijing (makhluk hidup
yang hidup di sungai) ketika air sungai surut bersama banyak orang dan teman-teman
saya sendiri. Jika demikian, folklore dan dolanan, salah-satunya, memang secara
langsung menceritakan kehidupan sebuah masyarakat sembari dimaksudkan sebagai
kiasan yang hendak mendedahkan kearifan. Dan karena sifatnya yang alegoris
itulah, folklore dan dolanan juga sebenarnya dapat ditafsirkan secara bebas
alias tak mesti ditafsirkan sebagai satu arti atau satu makna saja. Semisal
lagu Kijing-kijing, itu sebagai contohnya, seolah hendak mendedahkan sebuah
sindiran tanpa harus membuat yang disindirnya merasa tersinggung.
Selain mengandung aspek
psikologis dan historis, yang tentu juga kandungan kearifan yang umum sifatnya,
ada juga folklore dan lagu dolanan yang hendak menyindir, mengejek, sekaligus
memotivasi atau menyemangati siapa saja atau seseorang yang ragu-ragu dan
kurang memiliki tekad untuk berbuat sesuatu, semisal dicontohkan lagu dolanan
yang berjudul Sumbul Bamban berikut: “Sumbul bamban sumbul bamban // Isine
bebotok doang // Subuh dandan subuh dandan // Bisane dodok doang.” Lagu dolanan
ini juga sebenarnya multi-tafsir. Contohnya kita bisa saja menerjemahkannya
sebagai sindirian kepada seorang perempuan yang malas dan terlampau senang
berhias atau berdandan hingga sehari-harinya malas bekerja atau hanya
duduk-duduk saja.
Atau kita juga bisa
menafsirkan dan menerjemahkan lagu dolanan tersebut sebagai ejekan dan sindiran
kepada seseorang yang meski telah rajin berdandan dan berhias, ternyata tak
bisa berbuat apa-apa untuk memikat lawan jenisnya. Ragam tafsir itu sah-sah
saja mengingat folklore dan lagu dolanan memang banyak yang tidak terlampau
verbal alias yang secara saklek hendak mengemukakan apa yang dimaksudkan dan
diceritakannya secara jelas atau rigid. Hingga kira-kira, di situ pulalah,
terletak kearifan dan kekuatan literer folklore dan dolanan itu sendiri sebagai
sebuah khasanah kesusastraan sekaligus historiografis dan psikologis masyarakat
yang memproduksi dan menuturkan folklore dan dolanan tersebut.
Dalam folklore dan
dolanan, kearifan masyarakat, sebagai contohnya, diaplikasikan dan
diterjemahkan ke dalam nyanyian dan permainan. Dan selain memiliki maksud
pedagogik dan memiliki kandungan yang sifatnya historis, folklore dan dolanan
juga dapat menjadi cerminan rasa dan apa yang ada dalam jiwa, atau katakanlah
aspek psikologis, masyarakat yang memproduksi dan menuturkannya, seperti
dicontohkan lagu dolanan bahasa Jawa Banten berikut, yang pada saat bersamaan
mengandung aspek pedagogik, psikologis, dan historiografis:
“Pitik tulak pitik tukung
// tetulak si jabang bayi, // ngadohaken cacing racak, // sawan sarab pan
sumingkir, si tukang merkungkung arsa, // tetulak si jabang bayi. //
Ngingu pitik berangbung, // tulak walik rob jaladri, // wulane amantya warna,
// abang ireng putih kuning, // sing tukang majoni marga, // tulak walik aneng
wuri. // Yen lara tan tambane pun, // godong pasrah ing Yang Widi, // brangbang
lega ing manah, // adas lawan Pulosari, // lawan sinandingan do;a, // puraging
jabang bayi. // Si Jabang bayi puniku, // kekasihing sukma jati, // rinaksa ing
malaikat, // kinipasan widadari, // ginendeng para oliya, // pinayungan kanjeng
nabi. // Jabang bayi agi turu, // pungpung raine becik, // ana ule lan
kelabang, // ana lamuk memedeni, //lah uwis agi turuwa, // ana kokok beluk
muni. // Ana kinjeng-tangis mabur, // miber ing kayangan niki, // angrungu
tangis si jabang, // anulye si kinjeng balik, // ngetokaken kang memala //
tumungkul sarwi cempuni.
Sebagai penutup tulisan
ini, seperti diungkapkan Dr. Mufti Ali dari Bantenologi, ada satu paparan
menarik yang diutarakan Mas Mangoen Dikaria tentang lagu dolanan Jawa-Banten
yang berjudul Gegempalang, yang bunyinya sebagai
berikut: Gegempalang wohing aren gelondong // wohing penjalin //
umah-umah Banjar Kulon // kulon-kulon sekedaton // kedatone kupat kuning //
kupat kuning kayu andong // andong kayu ketumpang // ketumpang lalawuh urang //
dening rangde lusuh kembang. Menurut Mas Mangoen Dikaria, lagu dolanan ini
menjelaskan tentang taksonomi tumbuhan, tanaman, dan sejumlah toponimi atau
nama tempat. Kata gegempalang artinya adalah buah enau yang sudah tua atau
wohing aren. Sementara gelondong adalah rotan atau wohing penjalin, dan kedaton
artinya keraton. Sedangkan kayu andong dan ketumpang merujuk pada sejenis
tanaman yang kayunya dipakai sebagai tumbak dan sejenis tanaman dengan batang
kecil yang berdaun lebar dan biasanya dapat dipakai sebagai obat. Dan rangde
kembang berarti janda yang masih muda.
Akan tetapi, menurut Mas
Mangoen Dikaria, seperti diungkapkan kembali oleh Dr. Mufti Ali dari
Bantenologi, lagu dolanan ini sebenarnya mengandung makna sindiran jika
dipahami secara mendalam. Lagu dolanan ini, salah-satunya, memberikan gambaran
ilustratif tentang kemaluan pria dan wanita. Gegempalang menurut Mas Mangoen
Dikaria sesungguhnya bermakna “gegem palang”, di mana kata “gegem” merujuk pada
kayu yang bentuknya seperti bagian belakang kura-kura, bagian pinggirnya rendah
dan tengahnya cembung, yang akan mengingatkan kita kepada bentuk kemaluan
perempuan. Sementara “wohing aren” atau buah enau, ketika masih muda disebut
cengkaleng, yang bilang dilafalkan sukukata akhirnya saja maka akan berbunyi
“leng” yang artinya lubang.
Selanjutnya, gelondong
artinya jaro atau kepala desa, yang penyebutannya hampir sama dengan kata jero
(dalam). Wohing penjalin atau buah rotan disebut kesur yang hampir sama
bunyinya dengan susur (tembakau yang digunakan untuk membersihkan gigi) yang
biasanya ditempatkan di antara dua bibir. Sedangkan umah-umah maksudnya adalah
posisi atau tempat susur tersebut, dan banjar berbanjar atau berbaris. Kulon
artinya kilen atau kekalen dan sekedaton artinya seperti kedaton (keraton)
raja-raja dahulu yang biasanya berada di ujung kampung atau perkampungan. Lalu,
kupat kuning atau ketupat kuning sering disebut juga koja berukuran segitiga,
karena ada kupat jantung yang bentuknya seperti jantung. Kayu andong biasa
dipakai untuk tombak. Jadi, menurut Mas Mangoen Dikaria, kupat kuning dan kayu
andong dalam lagu dolanan gegempalang itu merujuk pada kemaluan laki-laki. Dan
pelafalan andong hampir mirip dengan gendong, dan pelafalan ketumpang hampir
mirip dengan numpang.
Jika demikian, menurut Mas
Mangun Dikaria, salah-satu makna tersembunyi dari lagu dolanan gegempalang
tersebut adalah bahwa lagu dolanan itu sebenarnya sedang menggambarkan adegan
intim seorang pria dengan seorang janda kembang. Makna dan maksud tersembunyi
tersebut, setidak-tidaknya, telah menunjukan kearifan orang-orang Banten masa
lalu dalam menggubah sebuah nyanyian yang mengandung kiasan dan sindiran, yang
tak ragu lagi telah mencerminkan tingginya kearifan dan kemahiran literer
masyarakat Banten di masa lalu.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar