Oleh
Yusuf Effendi
Ketika
hendak meminta masyarakat Banten agar bergabung dengan NKRI, Bung Karno pun
harus berpidato di alun-alun Serang, Banten, di bulan Desember 1945, setelah
sebelumnya ia mengadakan rapat tertutup dan terbatas dengan para pewaris
Kesultanan Banten yang tersebar di seluruh tempat di Nusantara. Dalam pidato
rapat akbarnya di alun-alun Serang itu, Bung Karno pun berujar: “Wahai
putra-putra Banten, tahukah saudara-saudara sekalian bahwa Banten telah melahirkan
seorang pahlawan besar? Ia adalah Kiyai Haji Mohammad Arsyad Thawil.” Mendengar
suara kumandang khas Bung Karno yang berapi-api, semua yang hadir di alun-alun
Serang itu sontak bersorak dan bertepuk, hingga menimbulkan suara gemuruh yang
hikmat dan membahana.
Tokoh
yang lahir di Tanara, Serang, Banten, ini memang tidak seterkenal Syekh Nawawi
Tanara al Bantani, Sayyid Ulama Hijaz, itu, atau dengan Haji Abdul Karim
Tanara, yang mursyid tarekat Qodiriah wa Naqsabandiah, yang juga digelari Kiyai
Agung itu. Tapi, kiprah dan perjuangannya dalam meraih kemerdekaan bangsa
Indonesia setara dengan Kiyai Haji Wasid dari Beji, Cilegon. Kiyai Haji
Mohammad Arsyad Thawil juga adalah sahabat karib Kiyai Haji Asnawi dari
Caringin, Pandeglang. Begitu pula, sepanjang riwayat hidupnya, banyak cerita
dan sisi yang menarik dan mengandung pelajaran bagi generasi muda yang ingin
meneladani kesalehan dan perjuangannya untuk meraih kemerdekaan bangsa.
Sementara
itu, Tanara, Serang, Banten, memang telah melahirkan banyak ulama dan syekh
yang berskala dunia, semisal Syekh Nawawi al Jawi al Bantani yang telah berjasa
menghilangkan anggapan Jawa Bagar, yang berarti bahwa ilmu keagamaan orang Jawa
tidak sehebat para syekh lainnya di Tanah Suci, hingga diumpamakan dengan
binatang mamalia. Namun anggapan itu kemudian terbantahkan dengan kemumpunian
dan kehadiran Syekh Nawawi al Bantani. Kecerdasan yang tak jauh berbeda juga
sebenarnya dimiliki oleh Kiyai Haji Mohammad Arsyad Thawil, yang sama-sama
lahir di Tanara dan masih terbilang keluarga Syekh Nawawi al Jawi al Bantani
yang mumpuni dan masyhur, hingga digelari Sayyid Ulama Hijaz itu.
Pada
suatu hari, ketika Kiyai Haji Mohammad Arsyad Thawil masih tinggal di Mekkah,
yang salah-satu alasannya berteman dan sekaligus berguru pada Syekh Nawawi al
Bantani, ia tanpa sengaja menyimak salah seorang ulama yang tengah mengajar di
salah-satu sudut Masjidil Haram. Ia menyimak bahwa apa yang diajarkan seorang
ulama kepada muridnya itu tidak sahih dan kurang kuat. Saat itulah Kiyai Haji
Mohammad Arsyad Thawil berujar: Ghalat! (keliru).
Sontak saja, mendengar ucapannya itu, sang ulama yang tengah mengajar itu pun
merasa terusik, tapi ulama itu tak dapat bertemu Kiyai Haji Mohammad Arsyad
Thawil setelah ia bangkit, sebab Kiyai Haji Mohammad Arsyad Thawil telah
meninggalkan tempat itu.
Karena
merasa jengkel dan menganggap apa yang diucapkan Kiyai Haji Arsyad Thawil itu
sebagai sikap kurang ajar, sang ulama itu pun bertanya kepada santrinya apakah
si santri mengenalnya. Dengan jujur si santri itu pun berkata kepada gurunya
itu bahwa ia tidak mengenal Kiyai Haji Mohammad Arsyad Thawil, tapi kemudian
santri itu pun berkata bahwa ia tahu bahwa Kiyai Haji Mohammad Arsyad Thawil
sering bersama Syekh Nawawi al Bantani. Sang ulama itu pun agak sedikit
terkejut ketika si santri itu mengatakan Syekh Nawawi al Bantani.
Dan
betul saja, tak lama kemudian, setelah bertanya kepada santrinya itu, sang
ulama itu pun pergi menuju tempatnya Syekh Nawawi al Bantani, dan ketika sampai
di tempat Syekh Nawawi al Bantani itu, sang ulama pun segera bertanya apakah
Syekh Nawawi al Bantani memiliki santri yang dimaksud sang ulama. Mendengar
pertanyaan sang ulama itu, Syekh Nawawi al Bantani yang terkenal arif dan bijak
itu pun hanya tersenyum, sebab ia dapat langsung tahu seseorang yang ditanyakan
ulama itu tak lain Mohammad Arsyad Thawil, yang memang masih familinya. Syekh
Nawawi al Bantani pun segera memanggil seluruh santrinya, kecuali Mohammad
Arsyad Thawil. Tentu saja, sang ulama itu mengatakan bahwa seseorang yang
dicarinya tidak ada satu pun diantara para santri itu. Dan segera saja Syekh
Nawawi al Bantani pun mengatakan balik bahwa masih ada seorang santri lagi,
yaitu Kiyai Haji Mohammad Arsyad Thawil. Mendengar nama yang disebutkan Syekh
Nawawi al Bantani, itu pun sang ulama akhirnya memaphumi bahwa tidak mungkin ia
akan menyalahkan apa yang telah dikatakan oleh Kiyai Haji Mohammad Arsyad
Thawil.
Cerita
lain yang juga menampilkan kebijaksanaan dan kearifan orang Nusantara ini
adalah ketika sejumlah ulama dan sarjana al Azhar, Mesir, tidak percaya bahwa
ada seorang Syekh dari Jawa (Banten) sanggup menulis tafsir dan mensyarah al
Qur’an, saat Syekh Nawawi al Bantani baru saja menyelesaikan Tafsir al Qur’an
Marah Labid. Sebab itulah, orang-orang al Azhar pun mengundang Syekh Nawawi al
Bantani untuk mempresentasikan Tafsir Marah Labid-nya di hadapan mereka.
Demi
menerima undangan para sarjana dan ulama al Azhar, Mesir, itu pun Syekh Nawawi
al Bantani meminta Kiyai Haji Mohammad Arsyad Thawil berpura-berpura sebagai
dirinya, sementara Syekh Nawawi al Bantani akan berpura-pura atau menyamar
sebagai asisten saja. Syahdan, di hari itu, ketika waktu presentasi dan diskusi
digelar di al Azhar, salah seorang ulama dan sarjana pun bertanya kepada Kiyai
Haji Mohammad Arsyad Thawil (yang memang menyamar sebagai Syekh Nawawi al
Bantani) itu. Mendengar pertanyaan seorang ulama dan sarjana itu, Kiayi Haji
Mohammad Arsyad Thawil itu pun berkata bahwa pertanyaan tersebut cukup dijawab
oleh sang asisten (yang sebenarnya Syekh Nawawi al Bantani yang menyamar
sebagai asisten). Tentu saja, berkat jawaban yang fasih dan genuine, mereka
yang hadir pun langsung puas. Itu tak lain sebuah anggapan bahwa bila
asistennya saja sedemikian alim dan cerdas, tentulah sang empunya Tafsir Marah
Labid lebih cerdas dan alim.
Itu
semua menggambarkan kerendahhatian, sekaligus kecerdikan para ulama pejuang
dari Nusantara, khususnya dari Banten. Seperti kisah tentang Kiyai Haji
Mohammad Arsyad Thawil yang lainnya berikut. Saat itu, Ki Asnawi Caringin,
Pandeglang, menyelenggarakan perkawinan, yang dihadiri para pejabat dan para
penggede Banten. Dan dalam sebuah jamuan makan, kebetulan Kiyai Haji Mohammad
Arsyad Thawil menyantap jamuannya dalam satu meja bersama regent Serang (Ahmad
Djajadiningrat) dan regent Pandeglang. Karena melihat Kiyai Haji Mohammad
Arsyad Thawil tidak menggunakan sendok dan garpu sebagaimana disediakan untuk
para pembesar, kedua Regent itu pun membicarakannya dengan agak sedikit
mencemooh dengan menggunakan bahasa Ingris. Tapi Kiyai Haji Mohammad Arsyad
Thawil tetap cuek. Namun, setelah ia selesaikan makan, Kiyai Mohammad Arsyad
Thawil bercerita kepada dua regent itu dengan menggunakan bahasa Ingris yang
fasih tentang bagaimana orang Eropa makan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar