Oleh: Sulaiman Djaya (Sumber:
Siapa pun yang membaca dengan cermat
dan cerdas buku kumpulan puisi Agus R. Sarjono yang bertajuk Suatu Cerita dari
Negeri Angin, akan segera tahu dengan sendirinya bahwa isu dan tema yang
diangkat dalam mayoritas puisi-puisi yang termaktub dalam buku itu adalah
kritik sosial dan kritik politik, yang salah-satunya adalah kritik terhadap dan
atas mentalitas korup para birokrat, politisi, pejabat di negeri kita tercintai
ini, yaitu Indonesia, dan bahkan kritik itu menyangkut cibiran dan satire
terhadap mentalistas korup yang telah dianggap biasa sebagai sebuah kelumrahan
dan kewajaran kultural dalam masyarakat kita, yang ironisnya bahkan terjadi
dalam lingkup dunia pendidikan, seperti yang ditunjukkan lewat puisi yang
bertajuk Sajak Palsu.
Sementara itu, jika dilihat dari sudut
stilistik dan strategi naratifnya, puisi-puisi Agus R. Sarjono yang terhimpun
dalam buku Suatu Cerita dari Negeri Angin
itu adalah teks-teks parodis yang menghibur, bermain-main, bertumpuk, sekaligus
saling berkejaran dengan lincah dan tak terduga, yang acapkali berusaha
menghadirkan ironi dan paradoks demi memunculkan niat dan maksudnya untuk
menyampaikan kritikan dan sindiran politis dan sosial dalam konteks
sosial-politik negeri kita, Indonesia.
Meskipun demikian, beberapa
puisi-puisi Agus R. Sarjono adalah keterus-terangan dalam menggambarkan apa
yang ingin diilustrasikan dan dikatakannya, seperti puisi-puisi Rendra yang
eksplisit dan pamfletis itu. Dikatakan terus-terang karena sejumlah puisinya
sangat jelas mewedarkan term-term sosial dan politik, selain ada juga beberapa
isu kultural, yang dapat dibaca bahkan melalui judul-judul yang dipilihnya.
Namun dapatlah dikatakan, teks-teks
puisi Agus R. Sarjono memiliki keunikan dan kebaruan pada caranya memelesetkan
dan menjungkirkbalikkan apa yang ingin dikritik dan ditertawakannya secara
parodis, satiris, ironis, dan komedis dengan spontan dan menggelitik, yang
berbeda dengan puisi-puisinya Rendra, yang mana kadangkala puisinya Agus R.
Sarjono menggabungkan keempat perangkat narasi (komedi, ironi, satir, dan parodi) tersebut secara
bersamaan, dan kadang tidak melibatkan semuanya alias hanya menggunakan dua
atau tiga dari kesemuanya.
Terkait hal ini, saya akan menyebutnya
sebagai narasi-puitika yang nakal dan acapkali verbal, dalam arti metafora dan
kiasan puisi-puisinya diujarkan dengan kelugasan, sehingga kiasan dan metafora
puisi-puisinya mestilah dibaca dalam kerangka keutuhan puisi, tentu juga dengan
keunikan dan kelincahannya bermain-main dan bersilat kata yang spontan dan tak
terduga.
Kelincahan dan spontanitas penuturan puisi-puisinya
tersebut ternyata dimaksudkan atau sengaja dinarasikan demi sebuah kepentingan
untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan humor yang hitam, pembalikan isu,
gugatan dan protes, rasa muak atau jengkel, dan pembongkaran kedok-kedok
politik, seperti puisinya yang berjudul “Suatu
Cerita Dari Negeri Angin” (yang sekaligus merupakan tajuk dari kumpulan
buku puisinya) itu:
“….sebagian
mereka segera mengarak potongan kepala itu, seperti mengarak ingatan yang
compang-camping, tentang sebuah saat sebuah musim, di sebuah negeri yang padat
berisi angin. Tetanggaku yang gemar cerita, pernah menangkap seorang pesulap,
yang entah kenapa sibuk mengendap-endap, di ruang kamar tidurnya. Setelah
dicekik dan ditebas lehernya, ternyata tak sebuah cerita pun mengalir dari
kerongkongannya. Dari potongan urat lehernya hanya gas yang memancar keluar
diiringi denging sirine. Semacam isyarat darurat dari sebuah kapal yang tengah
karam.
Sejak
itu penduduk kampungku ramai-ramai melepas kepala mereka, dan menggantinya
dengan buah kelapa: keras dan berisi air. Buat persiapan, ucap mereka, jika
sebuah kampung hangus terbakar, kepala kami masih bisa basah menyimpan ingatan,
tentang anak-anak tersayang yang mengembara ke kota-kota, bersekolah atau
bergelandangan mengais hari depan”.
Dalam pembacaan saya, puisi tersebut
“menarasikan” sejumlah tragedi yang menimpa sebagian warga negara Indonesia,
contohnya yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia
di era Orde Baru. Sebuah era politik di mana rezim kekuasaan tidak memberikan
kesempatan sedikit pun bagi oposisi dan kritik, yang pada saat bersamaan
kelaliman dan penindasan dianggap sebagai upaya “nasionalis” untuk
menyelamatkan negara dari rongrongan dan instabilitas. Puisi tersebut hendak
mengejek dan menyindir “sang rezim kekuasaan” dimaksud, sebab mereka yang
direpresi dan ditindas adalah orang-orang yang memang hanya jadi korban
“tuduhan” atau sengaja dijadikan “kambing-hitam”.
Tetapi, puisi itu juga memiliki tafsir
lain, semisal menggambarkan secara parodis dan teatrikan tentang kerusuhan
politik yang didesign para elit di negeri ini, yang contohnya dalam rangka
mengalihkan dan memainkan isu-isu konflik horisontal demi ‘membenamkan’
persoalan-persoalan yang justru lebih gawat, seperti korupsi para elite, yang
dengan menciptakan kerusuhan atau konflik horisontal tersebut, media-media akan
lebih sibuk menyiarkan dan atau memberitakannya, ketimbang ‘mewacanakan’
perilaku para pengemplang dana, para jenderal yang kongkalikong dengan para
korporat, atau praktek-praktek mega korupsi lainnya.
Ketika membaca teks-teks puisi
tersebut, saya mendapatkan dan merasakan kesaling-silangan tuturan,
penyangkalan dan pembatalan pernyataan yang satu atas pernyataan lainnya,
permainan anagram, pertukaran dan pergantian ungkapan yang satu dengan ungkapan
lainnya, protes dan gugatan yang menggelitik dan menertawakan. Kadang mirip
dongeng-komedis, ironis, parodis, dan satiris yang diceritakan dan dituturkan
oleh seseorang yang ingin menyampaikan sesuatu yang ingin dikritik dan
dilawannya. Mirip komedi dan parodi yang dimainkan teater-teater jalanan di
abad-abad dulu yang menyindir kekuasaan lalim dan despotik.
Lalu apa yang ingin dilawan puisi-puisi
Agus R. Sarjono? Apa saja yang dirasa bertentangan dengan kejujuran,
kepantasan, keadilan, atau apa saja yang bertolak-belakang dengan semangat dan
cita-cita kelayakan hidup itu sendiri. Puisi-puisinya ingin melawan dan
menertawakan kemunafikan dan kepalsuan, penindasan dan kelaliman politik, juga
politik penyeragaman yang membunuh potensi kecerdasan dan karakter bangsa, seperti
puisinya yang berjudul “Sajak Palsu”, yang mana puisi tersebut juga menyindir
mentalitas korup dalam dunia pendidikan dan yang menjadi penyakit di kalangan
dunia pedagogi:
“Selamat pagi pak, selamat pagi bu,
ucap anak sekolah dengan sapaan palsu. Lalu mereka pun belajar sejarah palsu
dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah mereka terperangah melihat hamparan
nilai mereka yang palsu….Masa sekolah demi masa sekolah berlalu, mereka pun
lahir sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu,
insinyur palsu. Sebagian menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu. Dengan
gairah tinggi mereka pun menghambur ke tengah pembangunan palsu dengan ekonomi
palsu sebagai panglima palsu”.
Sebagaimana dapat kita baca, puisi
tersebut ‘menyindir’ dan ‘mengkritik’ mentalitas korup di dunia dan institusi
pendidikan yang pada akhirnya hanya akan melahirkan generasi-generasi koruptor,
pemimpin-pemimpin koruptor, dan atau para birokrat, teknokrat, serta para
politisi dan pejabat yang korup, yang dalam sajak itu disebut sebagai
orang-orang palsu.
Sarkasme satiris dan parodis dalam
sajak itu tentu disengaja untuk mengejek dan menyindir birokrasi dan kekuasaan
yang membohongi publik, yang cenderung koruptif dan manipulatif. Singkatnya
ingin mengkritik ke-palsuan-an dan birokrasi korup yang acapkali dibiarkan dan
dirasa nyaman-nyaman saja. Dalam konteks inilah saya juga ingin membandingkan
secara longgar strategi literer puisi-puisi Agus R. Sarjono dengan
cerpen-cerpennya Putu Wijaya. Bila cerpen-cerpen Putu Wijaya sebagaimana yang
diakui penulisnya sebagai teror mental dan tikaman jiwa, maka saya bisa
menyebut puisi-puisi Agus R. Sarjono sebagai puisi-puisi yang mengusik,
menyentil, dan menggelitik, acapkali lantang dan adakalanya sekedar menyentil
dengan jalan menyindir secara halus dan menyenangkan karena yang ingin
“disadarkan” tidak terlampau tersakiti, yang ditulis dengan gaya dan bentuk
penuturan seorang penulis catatan-harian, di mana teks-teks diari itu sendiri
bercerita kepada kita dengan kelakar dan canda-hitamnya.
Dalam puisi-puisi Agus R. Sarjono,
penyimpangan-penyimpangan politik dan kekuasaan, kepalsuan dan ketidakjujuran,
kelaliman dan ketidakadilan, kemunafikan dan mentalitas malas diparodikan
habis-habisan tanpa rasa canggung dengan mengeksplorasi humor-hitam, komedi,
satir, paradoks, dan ironi. Karena itu, puisi-puisi Agus R. Sarjono adalah
sejumlah gugatan dan protes, sejumlah protes dan gugatan dengan seloroh dan ejekan
halus yang lazim kita kenal sebagai sindiran dengan menawarkan dua gambaran dan
argumen yang saling bertentangan secara bersamaan dan serentak dalam
puisi-puisinya.
Secara longgar, puisi-puisi Agus R.
Sarjono mengingatkan saya pada narasi ironis dan “wacana” paradoks bait-bait
teks Pale Fire-nya Vladimir Nabokov,
terutama bait-bait yang terdapat dalam Canto One baris 99-101: My God died
young. Theolatry I found degrading, and it’s premises, unsound. No free man
needs a God; but was I free? Atau bait-bait yang terdapat dalam Canto Two baris
213-14: Other men die; but I am not another; therefore I’ll not die.
Bait-bait yang terdapat dalam Canto
One tersebut lebih terdengar sebagai satirisasi-diri sang subjek sejauh
menyangkut heroisme promothean manusia yang ketika ingin terbebas dari kekuatan
impersonal yang satu, malah menciptakan bagi lahirnya kekuatan impersonal
lainnya, apa yang lazim disebut oleh Adorno dan Horkheimer sebagai gejala
odisian. Karena dalam pembacaan saya, bait-bait tersebut tidak meletakkan
dirinya pada ide tentang ada atau tidak adanya Tuhan, tetapi lebih sebagai
kritik dan parodi atas semangat heroik promothean manusia yang ketika ingin
menghancurkan berhala yang satu, pada saat itu pula ia tengah menciptakan
kemungkinan bagi lahirnya berhala lain.
Sementara itu bait-bait yang terdapat
dalam Canto Two lebih merupakan komedi-ironis sebagai penjungkirbalikkan dan
upaya memelesetkan silogisme-deduktif Sokratianyang cenderung lurus dan komikal.
Gaya pembalikan itu sendiri mirip dengan permainan anagram yaitu permainan
merangkai huruf yang telah disediakan sekaligus dibatasi untuk menyusun
beberapa kata dan bunyi berbeda. Misalnya kata “Demokrasi” bisa berubah menjadi
“Demo Kasir”, “Kasir Demo”, “Sari Medok”, atau “Medokrasi”.
Dengan strategi parodis ketika hendak
menghadirkan ironi dan paradoks tersebut, teks-teks Pale Fire terasa
menggelitik sekaligus menggugah karena eksplorasi dan ikhtiarnya memparodikan
dan memelesetkan khasanah pemikiran menjadi khasanah bahasa dan penuturan,
semisal silogisme yang dipelesetkan dan logika yang dibalikkan, yang kadang
digabungkan dan dicampuradukkan dengan anagram: pot, top, spider, redips. And powder was red wop (Canto Two,
348-9).
Perbandingan secara longgar itu tentu
saya sengajakan secara sadar demi mencari cermin untuk memahami dan membaca
sebuah karya. Termasuk untuk menilai kadar dan kemungkinan tafsir subjektif
saya sendiri sebagai pembaca, seperti ketika saya merasakan suasana ironis
sekaligus parodis yang sama dalam puisi Agus R. Sarjono yang berjudul “Syair
Ngungun dan Keheranan”:
“Mata
yang menangis dan hati yang berduka, aduhai kami tertatih malam-malam, menyapu
serpihan amarahmu yang berserakan sepanjang jalanan, sementara engkau tertidur
menyiapkan amarah baru, kutukan-kutukan baru. Kami ingin membasuh tanganmu yang
berlumuran darah, tapi air-mataku mengembara ke tempat lain, dengan hasrat yang
lain: mengisi bejana untuk minum orang-orang yang haus, lapar dan teraniaya”.
Syair
Ngungun dan Keheranan itu pada
dasarnya menggambarkan keadaan sosial-politik sebuah negara, sebuah Negeri
Angin (yang tak ragu lagi adalah Indonesia), di tingkatan grass-root yang
acapkali ditimpa konflik karena ketidakbecusan politis para birokrat dan para
penguasa “negeri angin” tersebut, semisal banyak konflik SARA dan horisontal di
tingkatan masyarakat akar rumput. Sementara itu, pada puisi-puisi Agus R.
Sarjono yang menggunakan bentuk, gaya, dan strategi penuturan diaris,
contohnya, diwakili oleh puisinya yang berjudul “Catatan Harian Diam-Diam”:
“Aku
pun sarapan seperti biasa. Hutan-hutan tropis di piring porselin dengan
mayonnaise. Tentu juga steak hangat tubuh-tubuh remaja anak sekolah. Tapi tak
ada keringat buruh dengan es batu di gelas minumku. Sekarang mereka terlalu
pemberang hingga keringatnya masam, tak cocok untuk lambungku. Aku pun bersiul.
Sungguh aku ingin berpuisi tentang embun, cahaya matahari di sela daun, dan
ombak yang berdebur pelan di pasir pantai. Tapi terlalu banyak yang harus
kutandatangan. Aku pun tahu beberapa di antaranya adalah nasibmu”, di mana sang narator dalam puisi tersebut bisa seorang korporat
atau pun birokrat (pejabat atau penguasa) yang korup.
Demikianlah Suatu Cerita dari Negeri
Angin dalam tafsir dan pembacaan saya, yang tentu saja berdasarkan
subjektivitas saya, sekaligus dengan menggunakan analisis dan teori pinjaman
khazanah teori kritik sastra. Salah-satu cara dan pendekatan untuk membaca
karya sastra, contohnya, adalah dengan meneropong stilistika, retorika, dan
strategi narasinya. Sebab, sebagaimana kita maphumi bersama, salah-satu hal
yang membuat sastra berbeda dengan teks atau narasi lainnya terletak pada
bentuk dan strategi narasi yang dipilihnya tersebut.
Kaum Formalis Rusia (Michael Ryan
2007:1), misalnya, berpendapat bahwa sastra itu unik dan berbeda dengan narasi
lainnya karena “bagaimana” sastra itu sendiri ditulis, dan bukan karena isi dan
maknanya. Di sini, yang sastra dan yang bukan sastra bisa saja menulis isu dan
tema yang sama, contohnya ketika sastra dan berita menggarap isu dan tema yang
sama, namun menghasilkan produk yang berbeda, dan karena itu yang membedakan
sastra dan bukan sastra terletak pada strategi dan “cara” bagaimana sastra
ditulis dan bagaimana sastra mengolah bahasa yang berbeda dengan bahasa berita,
sebagai contohnya.
Dalam hal ini, bahasa sastra memang
tidak menggunakan bahasa “umum”, namun mengolah bahasa dengan sejumlah
perangkat retorik dan modus ujaran dan strategi wacana yang khusus bersifat
“literer”, seperti memaksimalkan “retorika” dan metafora. Di sini, karya sastra
yang bagus adalah karya sastra yang membuat kita terusik, yang dalam bahasa
alegorinya Kafka, “Kita tak perlu membaca buku yang tidak menyadarkan kita”,
dan membawa kita keluar dari cara kita melihat dunia yang aus, rutin, dan
biasa.
Dengan “membelokan” dan mengolah
“kemungkinan bahasa dan peluang narasi alternatif”, atau dengan kata lain dengan
membelokkan dan menemukan bahasa ke penggunaan yang baru dan cara yang baru
dalam memandang dan memahami itulah, sastra menggugah kembali indra kita dan
membuat dunia tidak lazim, tak jarang dunia dan keseharian kita kembali
dipertanyakan. Sebagai contoh, narasi sastra acapkali merayakan paradoks, di
mana paradoks ini menurut Cleanth Brooks adalah satu-satunya cara
mengekspresikan atau mendeskripsikan kesatuan pelbagai hal yang bersifat kekal
maupun yang sementara, yang universal maupun yang sesaat (Michael Ryan 2007:4).
Senada dengan itu, Rene Wellek dan
Austin Warren bahkan mendefinisikan sastra hampir sama dengan ikhtiar estetik
(seni), di mana sastra menurut kedua orang itu merupakan suatu kegiatan kreatif
atau sebuah karya seni (Rene Wellek & Austin Warren 1977:3). Selanjutnya,
ketika mereka tiba pada bahasan wilayah bahasa sastra dan menyangkut strategi
narasi, mereka menyatakan: “Bahasa sastra mempunyai fungsi ekspresif,
menunjukkan nada (tone) dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha
mempengaruhi, membujuk, dan pada akhirnya merubah sikap pembaca”.
Bagi Rene Wellek dan Austin Warren
itu, contohnya, yang membedakan antara bahasa sastra dan bahasa ilmiah, sebagai
misal, tak lain karena yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah simbolisme
suara dari kata-kata, di mana karenanya, berbagai macam tekhnik diciptakan,
contohnya aliterasi dan pola suara untuk menarik perhatian pembaca kepada
kata-kata dalam karya sastra itu sendiri (Rene Wellek & Austin Warren
1977:3). Demikian sekedar resume dan kutipan singkat dalam rangka memberikan
pemahaman atau mengkomunikasikan apa itu sastra, dan tentu saja banyak
perspektif lainnya.
PUSTAKA:
Agus R. Sarjono, Suatu Cerita dari Negeri Angin,
Penerbit Jendela, Yogyakarta 2003.
Michael Ryan, Literary Theory: Practical
Introduction, penerj. Bethari Anissa Ismayasari, Penerbit Jalasutra,
Yogyakarta 2011.
Vladimir Nabokov, Pale Fire, Lancer Book,
New York 1963.
Rene Wellek & Austin Warren, Theory
of Literature, penerj. Melani Budianta, Gramedia, Jakarta 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar