oleh Sulaiman Djaya (Sumber: Majalah Sastra Kandaga Kantor Bahasa Banten Edisi Desember 2017
hal. 42-51)
Beberapa tahun
belakangan ini, karya-karya puisi dalam kerja kepenulisan dan ikhtiar
intelektual kesusastraan Indonesia semakin tampak ‘tergiring’ pada kecendrungan
menjadi prosa yang ‘mirip’ puisi, yang acapkali bahkan mirip cerita sangat
pendek ‘yang dianggap sebagai puisi’. Apakah ini merupakan suatu perkembangan
yang inovatif ataukah sebaliknya, jawabnya tergantung pada pilihan perspektif
untuk membaca dan melihatnya, meski saya sendiri akan memandangnya dalam
perspektif yang sebaliknya. Barangkali meruaknya kecendrungan prosa sangat
pendek yang didaku sebagai puisi tersebut dilatari oleh ‘kebosanan’ pada bentuk
liris yang ‘konvensional’ dalam kerja kepenulisan sastra puisi Indonesia dari
sejak Amir Hamzah hingga saat ini.
Belakangan ini, baik
yang dapat dibaca di publikasi cetak seperti buku, jurnal, koran, dan majalah
atau di media-media online, banyak sekali puisi yang lebih mirip celoteh dan
gumam prosaik berkarakter gelap yang ditulis dalam keadaan mabuk dan
spontanitas, bukannya oleh kepiawaian craftmanship menggubah komposisi. Meski
demikian, tak jarang puisi-puisi liris konvensional beberapa tahun belakangan
dalam jagat kepenulisan puisi dan kepenyairan di Indonesia masih tetap sanggup
menghadirkan diri mereka dengan narasi dan suara yang segar sesuai dengan
perkembangan praktik kebahasaan dan adaptasi atau kompromi jaman dalam praktik
menulis dan dalam percakapan komunikatif keseharian.
Puisi-puisi
Warih Wisatsana, yang dalam hal ini adalah puisi-puisinya yang terkumpul dalam
buku antologi tunggal Ikan Terbang Tak
Berkawan (Penerbit Kompas, Jakarta November 2003), merupakan contoh
karya-karya puisi liris konvensional yang berusaha menghadirkan diri mereka dalam
suara yang baru dan berbeda, dengan suasana reflektif dan meditatifnya yang
acapkali keras dan kental ketika dibaca oleh kita. Setidak-tidaknya berbeda
dari segi isu atau tema dan strategi penulisan lirisnya meski ada sedikit
kemiripan dengan bentuk dan strategi liris puisi-puisinya Goenawan Mohamad, Umbu Landu
Paranggi, dan puisi-puisinya Frans
Nadjira.
Mungkin karena
perjumpaan lahiriah dan batiniah, karena interaksi pribadi dan tekstual, Warih
Wisatsana sebagai penyair dengan para penyair tersebut, terasa ada pertukaran
dan penitipan, ada jejak perjumpaan dan penulisan, baik secara sengaja atau
tidak, dalam sejumlah puisi Warih Wisatsana, yang terasa dalam suasana dan
suara-suara lirisnya. Hal demikian, karena memang, dunia intelektualisme, termasuk
kepenyairan secara khusus dan kesusastraan secara umum, tak dapat mengelakkan
diri dari intersubjektivitas, dari perjumpaan literer dan intelektual dengan
karya-karya puisi para penyair lainnya yang dibaca oleh seorang penyair. Buku puisinya
yang berjudul Ikan Terbang Tak Berkawan
itu diawali dengan narasi Tragedi Mei 1998, melalui puisinya yang berjudul Api Bulan Mei:
“Setelah padam
inti api
Jadi nyata kini;
Itu desis kayu hangus
atau
bunyi tulang meletus
Kepada seorang ibu yang tersedu
Kubisikkan
dengan sedih kata-kata hiburan;
Angkasa
ini menyala dengan pesta kembang api.”
Api
adalah perlambang amarah yang melahap dan membakar, yang acapkali tak terkendali
dan meluas melampaui batas perkiraan kita ketika memakan dengan lidah dan
mulutnya apa yang disulut dan dibakarnya, apa yang dimakan oleh dirinya yang
semuanya memang mulut yang melahap. Api dalam puisi itu dipinjam sebagai amarah
tiba-tiba yang tak terduga dan amuk massa yang memakan korban. Tak ragu lagi,
puisi itu berkisah dan bercerita tentang Tragedi Mei 1998 di Jakarta ketika
terjadi demonstrasi dan kerusuhan massa yang berubah menjadi amuk dan berujung
pada laku dan tindak kekerasan yang memakan korban, termasuk pemerkosaan atas
sejumlah perempuan Tionghoa serta pembakaran sejumlah toko dan pusat
perbelanjaan yang diidentifikasi milik orang-orang Tionghoa.
Puisi Api Bulan Mei memancarkan dan
mendadarkan suasana perkabungan dan menarasikan suara-suara kesedihan, nestapa
yang pedih, ditulis dan disuarakan dengan nada dan suasana elegis dan sungkawa
oleh penyairnya:
“Kucium
abu dingin, bau amis daging terbakar
Kudengar
gaung bunyi tembakan
sayup
derap sepatu dini hari…
……………………………………………….
Suatu malam,
setelah inti api padam
Sisa bara
menyala lagi penuh tanya
Tak paham napas siapa
yang kini menyulutnya.”
(Api Bulan Mei)
Jelas
terbaca oleh kita, Api Bulan Mei
bercerita dan berkisah ihwal ketika massa menjadi kerumunan yang menjelma api
dan amarah yang tak terkendali dan meluas, massa yang tiba-tiba membakar dan
mempraktikkan laku aniaya terhadap sesama: “Kucium
abu dingin, bau amis daging terbakar” (Api
Bulan Mei). Dan lalu kemudian, tragedi tersebut menghantui penyair,
katakanlah menjadi mimpi buruk yang melahirkan sejumlah tanya dan rasa heran
yang memancing keibaaan sekaligus ketakmengertian, melahirkan intensi untuk
melakukan refleksi dan perenungan: “Suatu
malam, setelah inti api padam // Sisa bara menyala lagi penuh tanya // Tak
paham napas siapa yang kini menyulutnya” (Api Bulan Mei), yang mengingatkan
kita pada renungan filosofisnya Elias Canetti tentang irrasionalitas dan kodrat
alami-hewani manusia yang berubah menjadi massa dan merasa mendapatkan
identitas survivalnya dengan melakukan praktik kekerasan, semisal membunuh
sesama (lihat Jurnal Filsafat Driyarkara
Tahun XXIX Nomor 1/2007). Dengan demikian, puisi Api Bulan Mei pada dasarnya adalah refleksi dan renungan filosofis penyairnya
ketika berjumpa dengan peristiwa keseharian manusiawi, yang dalam hal ini
Tragedi Mei 1998 di Jakarta.
Tak hanya puisi Api Bulan Mei, beberapa puisi Warih
Wisatsana yang terkumpul dalam buku Ikan
Terbang Tak Berkawan memang merupakan sejumlah refleksi dan pertanyaan
filosofis seorang penyairnya bersamaan dengan perjumpaannya dengan kehidupan,
dengan peristiwa-peristiwa sosial dan politis yang dihayati dan direnungkan
secara personal yang sifatnya eksistensial dan dengan peristiwa-peristiwa yang menurut
penyairnya layak direnungkan dan kemudian dituliskan melalui media puisi,
menjadi sebuah renungan dan refleksi puitis yang sifatnya meditatif dan menguar
sejumlah tanya, meski acapkali pertanyaan-pertanyaan itu tak menemukan muara
dan jawab secara memuaskan, bahkan tak mendapatkan jawaban sama sekali, hingga
tetap menjadi tanya yang tak berkesudahan, menjadi ironi semata.
Barangkali,
karena intensionalitasnya untuk menjadi puisi-puisi reflektif dan meditatif yang
merenung dan bertanya itulah, puisi-puisi Warih Wisatsana tampak keras dan
kurang lentur dalam bernyanyi, terasa menanggung beban berat ketika dibaca oleh
kita, menjadi Ikan Terbang yang Tak
Berkawan. Selain itu, untuk memahami beberapa puisi Warih Wisatsana dalam
bukunya yang berjudul Ikan Terbang Tak
Berkawan itu, pembaca dituntut untuk tahu dan mengenali tradisi, budaya,
dan ritus keagamaan masyarakat Bali, semisal puisinya yang berjudul Pura Gambur Anglayang yang bernada
refleksi teologis-filosofis sejauh menyangkut pertanyaan dan gugatan tentang
nasib dan takdir manusia, orang-orang yang meyakini eksistensi entitas
adikodrati, yang acapkali penuh misteri dan teka-teki, seperti sekian ironi
hidup yang senantiasa dijumpai oleh kita, yang kemudian menjelma menjadi bahan
estetik dan reflektif bagi penyair ke dalam puisi dan bagi perupa di kanvas:
Empat
abad lewat
siapa
yang ingat
semak
merimbunkan onak
kau
dan aku dibimbing
diasingkan
malam
bertemu
dalam ragu
piatu
oleh waktu
berulang
mengalami kematian;
sudra
paria
sesekali
ksatria buta
atau
terpenjara
dalam
raga lelaki tua
dan
perempuan muda
dengan
garis dan warna
ingin lepas
putus dari samsara
di kanvas
yang penuh gores cemas
Titah raja agung
manakah
yang menyatukan
kembali mereka
dalam diri kita
yang terlunta?
……………………………….
dikutuk
dibujuk
terbungkuk
menjalani nasib….
(Pura Gambur Anglayang)
Puisi itu
pertama-tama memang terinspirasi oleh sebuah goresan-goresan warna, figur, dan
gambar di bentangan kanvas, oleh sebuah lukisan, yang kemudian mengingatkan
penyair kepada ironi kehidupan dan pertanyaan seputar relevansi agama dan
entitas yang adikodrati dalam keseharian kita yang acapkali dilanda
ketakmengertian dan ketakpahaman untuk menangkap makna dan misteri semesta dan
telos kehidupan, apa gerangan kehendak dan laku yang adikodrati yang tak
terjangkau oleh kita:
entah kemana
entah di mana
tergenang dalam bayang
……………………………..
seperti kau dan
aku
sekali terlahir
lalu terusir
dari firdaus
yang terhapus
di
ranah kudus
tanah janjian yang terlupakan….
(Pura Gambur Anglayang)
Renungan dan
refleksi puitis-filosofis puisi-puisi Warih Wisatsana acapkali bernada gugatan
dan menyuarakan laku intelektual skeptisisme itu justru dalam rangka menemukan
makna keseharian kehidupan kita, mencari perspektif dan lanskap wawasan
alternatif untuk tidak jatuh pada praktik yang menghakimi yang akan berujung
dan bermuara pada laku dan tindak kekerasan serta eksclusi, yang membuatnya merasa
prihatin dan bertanya, yang acapkali kita lakukan tanpa sadar. Gugatan dan
pertanyaan-pertanyaan skeptisisme puisi-puisinya itu bahkan sejauh menyangkut
isu-isu dan doktrin teologis keagamaan:
apa artinya
sepasang
naga batu
penunggu
waktu
gerbang
suci yang bisu?
(Pura Gambur Anglayang)
Dibanding
puisi-puisi yang lain, Pura Gambur
Anglayang adalah puisi yang padat makna sekaligus menguar ragam tafsir dan
pembacaan, bersifat polisemik, sebuah karya terbuka yang dapat ditakwil dengan
ragam tafsir dan pemaknaan, bila meminjam istilahnya Umberto Eco. Pembacaan
puitik Warih Wisatsana atas lanskap ritus dan kultural keagamaan masyarakat
Bali tampak berusaha membenturkan ironi dan paradoks yang profan dan yang
sakral dalam realitas kehidupan keseharian, sembari mendedahkan bahwa pada
akhirnya takdir manusia tak pernah jauh berbeda, meski manusia memiliki ragam
warna kulit, rambut, dan mata:
seperti kau dan
aku
sekali terlahir
lalu terusir
dari firdaus
yang terhapus
di ranah kudus
tanah janjian
yang terlupakan
Tanah buangan
dini hari
yang
dilupakan
lalu kita pun
lena
letih terjaga
semalaman menunggu
para leluhur
bangkit dari akar
dari genangan
air yang hening
Di ambang fajar
kau
dan aku tertidur
sedetik
dengkur
kemudian
terbangun
tertegun
menemukan kenyataan
rambutmu pirang
kulitku
sawo matang
dunia riang pagi
hari
sempurna
sebagaimana adanya
Walau dibedakan
biru mata
dan warna suara
bahasa pertama
kita sama
kenapa terlahir
jadi manusia
(Pura Gambur Anglayang)
Puisi Pura Gambur Anglayang itu berbicara tentang
moksa dan samsara dalam ritus dan lanskap keagamaan masyarakat Bali yang lalu
diterjemahkan dan ditafsirkan kembali secara reflektif dan ironis dalam rangka
menguar dan mempertanyakan ulang makna kehidupan dan keseharian manusiawi yang
kita jalani dalam hidup ini. Seakan-akan puisi tersebut hendak mengumandangkan
kembali adagium filsafat Yunani Kuno di era Sokrates dan Plato bahwa hidup yang
tak direfleksikan adalah hidup yang tak layak dijalani.
Puisi dan
Filsafat
Adalah bukan hal
yang aneh dan asing bila para penyair cenderung meditatif, reflektif, dan
filosofis ketika mengangkat sejumlah isu dan materi yang sifatnya intelektual
dan sastrawi dalam tulisan, entah ke dalam puisi atau esai. Tak jarang para
penyair adalah juga filsuf sebagaimana banyak para filsuf adalah penyair.
Nietzsche adalah salah-satu contohnya. Hal itu karena, sebagaimana dipaparkan
dan diargumentasikan Martin Heidegger, kerja intelektual kepenyairan sangat
mirip, yang bahkan sama, dengan kerja kepemikiran, refleksi, dan permenungan,
selain kesusastraan itu sendiri merupakan saudara kembarnya filsafat dan
pemikiran. Begitulah, dalam sejarah akademik dan intelektual dunia, banyak para
filsuf yang meraih Anugrah Nobel dalam Bidang Sastra, seperti Elias Canetti dan
Sir Bertrand Russell, selain banyak juga sastrawan yang sekaligus filsuf,
seperti Johan Wolfgang von Goethe, Rabindranath Tagore, Albert Camus, Jean Paul
Sartre, dan yang lainnya.
Masalahnya
adalah apakah sebuah puisi kemudian berhasil menjadi ‘filsafat’ dan refleksi meditatif
filosofis yang berhasil tanpa bertendensi menjadi filosofis pada mulanya, dalam
arti bahwa sebuah puisi yang ditulis kemudian menjadi sebuah karya filsafat
yang berhasil meski tak diniatkan untuk menjadi sebuah kerja filsafat, ataukah
hanya sekedar penafsiran filosofis, yang justru terkesan ‘dipaksakan’ karena
bertendensi untuk menjadi filosofis? Beberapa puisi Warih Wisatsana dalam buku Ikan Terbang Tak Berkawan mencerminkan
keduanya dalam satu puisi pada saat bersamaan, dan ada puisinya yang tak memiliki tendensi filosofis dan meditatif tapi
berhasil menjadi sebuah puisi yang penuh makna renungan filsafat, dan ada puisi
yang sebaliknya, dalam artian bertendensi menjadi filosofis tetapi terkesan keras
dan kurang lentur sebagai sebuah puisi yang reflektif, yang seyogyanya
bernyanyi sembari berpikir dan merenung.
Selain puisi Pura Gambur Anglayang yang terinspirasi
lukisan dan pelukisnya, puisi lainnya yang juga terinspirasi perjumpaan penyairnya
dengan pelukis, yang dalam hal ini seniman urban asal Indonesia di Perancis,
yaitu pelukis Salim, adalah puisinya yang berjudul Avenue Charles de Gaulle yang suasananya sama-sama eksistensial dan
muram sebagaimana puisi Pura Gambur
Anglayang, yang mana narasi eksistensialis dan muram itu merupakan ciri
puisi-puisinya Warih Wisatsana dalam bukunya yang berjudul Ikan Terbang Tak Berkawan. Puisi ini pun, sebagaimana Api Bulan Mei dan Pura Gambur Anglayang, memiliki tendensi meditatif-filosofis, yang
karenanya akan mengingatkan kita pada puisi-puisinya Goenawan Mohamad dan Frans
Nadjira.
Dalam hal ini,
kedekatan, bahkan kesamaan antara penyair dan filsuf secara khusus dan antara
sastra dan filsafat secara umum, tak lain karena kerja kepenyairan memang dekat
dan akrab sekali dengan kerja peremenungan yang sifatnya meditatif dan
reflektif. Begitulah filsuf Martin Heidegger sampai menyebut puisi sebagai
bentuk dan modus berpikir non-konseptual dalam artian bukan kerja intelektual
yang sistematis sebagaimana rancang bangun sistem filsafat, tetapi berpikir
secara puitik itu sendiri, yang dengannya, demikian menurut Martin Heidegger,
justru membuat penyair malah sanggup mengakrabi dan mengintimi kehadiran ‘Sang
Ada’ itu sendiri di saat para filsuf cartesian hanya sibuk memikirkannya secara
abstrak dan konseptual.
Di sini tak ada
salahnya jika kita bandingkan dengan salah-satu puisinya Goenawan Mohamad,
sekedar untuk memberikan contoh yang lain tentang puisi yang reflektif dan
meditatif, puisi yang mengajak kita untuk merenung dan berfilsafat (lihat Goenawan Mohamad, Puisi Pilihan,
KataKita 2004):
Di sini
cemara pun gugur
daun. Dan kembali
ombak-ombak
hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun
menghembus bumi
menghembus
pasir, dingin dan malam hari.
Ketika kedamaian
pun datang memanggil.
Ketika angin
terputus-putus di hatimu menggigil.
………………………………………….
Tidakkah siapa
pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit
bumi,
sajak bisu
abadi,
dalam kristal
kata
dalam pesona?
(Di Muka Jendela)
Puisi Di Muka Jendela-nya Goenawan Mohammad
itu adalah contoh puisi reflektif meditatif yang dinarasikan dengan gaya memoar
yang hening dan senyap, didendangkan dengan nada minor, tapi karena gaya,
strategi literer, dan bentuk lirisnya yang mengajukan sebuah pertanyaan yang
tampak polos dan lugu itulah, suasana dan aura refleksi filosofisnya justru
tampak kuat, sekaligus memikat dan enak dibaca, merayu dan membujuk kita ketika
membacanya untuk ikut berempati dan merenung bersama-sama puisi yang kita baca
yang terasa mengajak untuk berdialog dan berbincang secara intim dan akrab
sebagai seorang karib dan sahabat yang ingin menjadi teman dan pendengarnya
yang setia.
Puisi dan
Perjumpaan
Dalam kasus
beberapa puisi Warih Wisatsana, refleksi meditatif itu acapkali berkisah
tentang perjumpaan-perjumpaan lahir dan bathinnya dengan tempat-tempat seperti
puisi Nagasaki dan Taman Trocadero, dengan para penyair
(dan penulis) seperti puisi Kamar Kita
dan Epitaf Penyair Terlupakan, dengan
para seniman (pelukis) sekaligus karya mereka seperti puisi Pura Gambur Anglayang dan Avenue Charles de Gaulle, dengan karya
seni (patung dan lukisan) seperti puisi Amsal
Sebuah Patung dan Pura Gambung
Anglayang, dan dengan sejumlah peristiwa seperti puisi Api Bulan Mei, di mana perjumpaan-perjumpaan itu saling silih
berganti di antara yang bersifat tekstual dan yang sifatnya personal
eksistensial. Dengan demikian, puisi-puisi Warih Wisatsana dalam buku kumpulan Ikan Terbang Tak Berkawan memang ditulis
dari intertekstualitas sekaligus intersubjektivitas selain terinspirasi dari
perjalanan hidup penyairnya ketika mengunjungi dan menjumpai sejumlah tempat
yang berkesan dan kemudian memunculkan minat penyairnya untuk menuliskannya
menjadi sejumlah puisi reflektif-meditatif karena tempat-tempat itu memang
memiliki makna kultural, intelektual, dan historis bagi penyairnya:
Dapatkah kau
bayangkan
Aku biksu
berserah diri
tertatih mendaki
tangga batu
……………………….
Peziarah akan
singgah menulis pujian di buku pesan
yang lusuh. Mencatat
nama kecil serdadu yang tewas
mengingat
selembar seruan damai yang naas
terlambat
dikirimkan ke medan perang penghabisan
(Nagasaki)
Bagi seorang
penyair, perjumpaannya dengan keseharian dan pengalaman hidupnya adalah
laboratorium puitik itu sendiri, materi sekaligus sumber inspirasinya untuk
menulis sejumlah puisi. Akan tetapi, kemampuan dan kesanggupannya untuk
menuliskan perjumpaan lahir-bathin dengan keseharian dan peristiwa serta
pengalaman hidupnya menjadi sejumlah puisi yang berhasil, tentulah akan juga
ditentukan oleh kapasitas intelektual dan kepekaan bathin si penyair itu
sendiri ketika ia mengolah bahasa dan memilih diksi bagi puisi-puisi yang
ditulisnya. Soalnya adalah apakah puisi-puisi yang ditulis berdasarkan
perjumpaan keseharian seorang penyair dengan sejumlah peristiwa serta
pengalaman lahir bathin dan dengan pengalaman hidupnya bersama segala hal yang
pernah dijumpai dan diziarahinya itu hanya sekedar menjadi memoar verbal yang
bercerita secara mentah-mentah apa adanya ataukah menjelma puisi yang tak
terlampau otobiografis dan hanya berkutat pada kepahitan dan penderitaan diri?
Jawabanya tentulah ada pada pilihan dan kemampuan intelektual-estetik si
penyair itu sendiri. Pertanyaan ini muncul ketika membaca puisinya Warih
Wisatsana dalam buku Ikan Terbang Tak
Berkawan itu yang berjudul Kamar Kita:
Rayakan dengan
sedih kamarku ini
Semalam kita tak
bisa tidur
ranjang oleng
seperti sekoci mabuk ombak.
Atap langit
lapuk. Tembok pucat retak
celah masuk hawa
busuk
jalan rahasia tikus air.
Puisi Kamar Kita itu lebih mirip catatan
harian atau tulisan diaris apa adanya yang sifatnya otobiografis. Berbeda,
misalnya, dengan puisinya yang berjudul Sakramen
yang amat bernas dan inspiratif ketika mengangkat isu teologis dari cerita dan
kisah keagamaan di masa silam yang telah lampau selama berabad-abad, namun bagi
penyair tetap relevan bagi kekinian kita yang acapkali mudah menghakimi dan
mengutuk mereka yang dianggap ‘tak suci’:
Tuhan
mungkin
tuhan
yang membujukmu
jadi magdalena
yang terlena
terberkati
oleh sekerat janji
roti suci yang
tak beragi
firdaus terakhir
yang tak pernah
berakhir.
Lalu di sisi
altar
di
atas marmer hitam
penuh
mawar
sebelum
terang menghilang
seorang
peziarah dari jauh
bersimpuh
pasrah
letih
membayangkan nasibku
yang tersisih
tak terpilih.
(Sakramen)
Di mana nama Magdalena disebut dalam puisi tersebut
sebagai kiasan sekaligus perbandingan bagi mereka yang tersisih dan dianggap
nista, namun nyatanya kita akhirnya mendapatkan kesepadanan kepada mereka yang
dianggap sebagai yang tersisih itu justru karena mereka adalah gambaran
kenistaan kita sendiri yang acapkali tak diakui dan seringkali diingkari.
Bukankah Isa Al-Masih justru bersimpuh di kaki Magdalena yang dianggap sebagai
yang ‘tak suci’? justru demi menunjukkan dan membuktikkan kasih kita kepada
mereka yang masih memiliki kesempatan untuk melakukan pertaubatan dan
perbaikan.
Beberapa puisi
Warih Wisatsana di buku Ikan Terbang Tak
Berkawan itu rupa-rupanya memang sejumlah ikhtiar melakukan refleksi dan
pembacaan ulang atas sejumlah isu, tema, narasi teologis, dan materi-materi
serta isu-isu lainnya yang mengundang minatnya untuk melakukan perenungan
puitis. Kiasan-kiasan dan perumpamaan-perumpamaan dalam beberapa puisinya
meminjam isu-isu dan materi-materi yang sifatnya teologis sekaligus filosofis,
ritual keagamaan dan lanskap kepercayaan masyarakat Bali, serta narasi-narasi
Biblikal dan hikayat juga kisah-kisah mitologis yang sifatnya keagamaan. Sementara
itu, sejauh menyangkut apa itu kiasan atau metafora, tentu ada ragam pengertian
dan pemahaman tentang apa itu kiasan atau metafora. Namun di sini saya ingin
mengutip beberapa pengertian tentang apa itu metafora menurut sejumlah ahli
bahasa sebagaimana dikutip dan dipaparkan Jafar Subhani (lihat Jafar Subhani, Al-Amtsal fil Quran, Penerbit Al-Huda,
Jakarta Januari 2007), yang salah-satunya adalah definisi yang dikemukakan oleh
Ibrahim An-Nizham (wafat tahun 231 Hijriah):
“Dalam kiasan
(perumpamaan) terhimpun empat hal yang tidak dimiliki oleh kalam (narasi atau pernyataan) yang lain. Pertama, keringkasan kata atau kalimat. Kedua, ketepatan makna. Ketiga,
kebagusan pengkiasan dan pengumpamaan. Keempat,
keindahan pengkiasan atau pengumpamaan. Dengan keempat hal itulah sebuah
ungkapan (narasi) telah mencapai puncak kefasihan.”
Tak ragu lagi,
definisi dan pengertian yang dikemukakan Ibrahim An-Nizham itu adalah definisi
dan pengertian metafora yang dipraktikkan dalam penulisan puisi, atau metafora
yang sifatnya puitik, bukan yang prosais atau qashashi. Dalam hal ini, jika kita ganti kata metafora dari
definisi dan pengertian yang dinyatakan Ibrahim An-Nizham itu dengan kata
puisi, maka puisi yang berhasil, sekali lagi bila kita meminjam pandangan
Ibrahim An-Nizham sebagaimana yang dikutip Jafar Subhani itu, adalah puisi,
yang: Pertama, yang padat makna,
meski acapkali puisi itu ditulis sedemikian ringkas. Kedua, adalah puisi yang metaforanya tepat. Ketiga, adalah puisi yang indah dan enak dibaca, merayu dan
membujuk para pembaca ketika dibaca, seperti puisi Di Muka Jendela-nya Goenawan Mohamad, sehingga selalu meminta
dirinya untuk terus dibaca meski telah dibaca berkali-kali dan berulang-ulang. Keempat, adalah puisi yang perumpamaan
dan metaforanya elegan dan elok, sehingga mewujud puisi yang padu dan kuat. Bila
kita gunakan dasar definisi tersebut, puisi-puisi Warih Wisatsana secara
naratif dan bila dicermati dari sisi strategi literer dan pengkiasannya, ada
yang memenuhi kempat-empatnya dan ada yang memenuhi dua dan tiga dari definisi
yang diajukan Ibrahim An-Nizham sebagaimana dikutip Jafar Subhani tersebut.
Catatan Penutup
Setelah kita
membaca, menganalisa, mengakrabi, dan menimbang sejumlah puisi Warih Wisatsana
dalam buku antologi tunggalnya yang berjudul Ikan Terbang Tak Berkawan itu, kita dapat mengatakan dengan jujur
dan terus-terang bahwa puisi-puisi Warih Wisatsana dalam buku tersebut merupakan
ikhtiar dan kerja intelektul kepenulisan puisi yang berusaha mempertahankan
bentuk lirik meditatif yang sifatnya reflektif dan filosofis, meski belum
beranjak jauh dari para penyair sebelum-sebelumnya yang karya-karyanya ia baca
dan ia intimi secara intersubjektif-intertekstual, perjumpaannya yang bersifat
personal dan tekstual, dan dari para penyair yang sejaman dengan dirinya,
semisal dengan Frans Nadjira. Dan perihal intersubjektivitas-intertekstualitas
tersebut diakui oleh penyairnya sendiri:
“Setiap pertemuan, selalu membuka peluang
terjadinya penciptaan. Oleh karenanya, beruntunglah bila sedari awal belajar
menulis, seseorang dilimpahi kesadaran tentang arti penting sebuah ‘pertemuan’.
Sesosok pribadi yang menarik, tempat-tempat memikat, karya-karya yang penuh
inspirasi, atau bahkan sebuah peristiwa sehari-hari yang sederhana, adalah
sumber ilham yang tak akan habis dieskplorasi.”
Sebuah
pengakuan otobiografis, yang sebenarnya, terdengar klise dan biasa saja bagi
kita, mengingat setiap penyair yang menulis puisi pastilah tidak hidup dalam
sebuah ‘kotak’ yang dia hidup sendiri dalam ‘kotak’ tersebut. Setiap karya
sastra, wabil khusus puisi, tidaklah lahir dari ruang hampa sejarah dan peristiwa
budaya dan milieu intelektual di mana seorang penyair hidup dan menuliskan
puisi-puisinya. Karya-karya puisi seorang penyair merupakan buah interaksi dan
perjumpaannya dengan dunia dan kehidupan keseharian yang sifatnya tekstual,
personal, kultural, politis, dan sosial, sebab seorang penyair memang hidup dan
mengada secara lahiriah dan batiniah di sebuah dunia yang bukan ia sendiri yang
ada dan berada. Sehingga pengakuan otobiografis penulis buku kumpulan puisi Ikan Terbang Tak Berkawan itu bukanlah
suatu pernyataan yang istimewa dan unik.
Sementara
itu, bila kita cermati proses dan waktu penulisan banyak puisinya di buku Ikan Terbang Tak Berkawan itu,
kebanyakan proses penulisan puisinya membutuhkan waktu antara dua hingga tiga
tahun, meski justru, setidak-tidaknya menurut saya, sejumlah puisinya yang
ditulis dalam waktu relatif cepat dan singkat-lah yang terasa enak dibaca,
mengalir tanpa beban, dan bernyanyi dengan lepas dan bebas, semisal puisinya
yang berjudul Dalam Siul Anak-anak:
Kelak
bila akhir kalimatku
membentuk sungai
Napas angin tercekik
bunga
terisak
Seekor
kupu-kupu menggelepar liar !
Yang manakah
gerimis
yang manakah
tangis ?
Seekor kupu
menggelepar liar
di taman nasib
masa kanakku
Menyerap mimpi
buruk
tak percaya
langit terbuka.
Dan seseorang
menari dalam lamunan
Memanggil nama
kecilku
di
taman
Tempat di mana
dulu
Tangga sorga
sesaat kubayangkan
berayun
di awan,
Dan sebuah gubuk
mungil
perlahan
menjelma di langit
(Dalam Siul
Anak-anak)
Sebuah
puisi yang mendendangkan ingatan dan imajinasi tentang masa kanak-kanak yang
telah lampau, sebuah kenangan yang sifatnya romantik dan sentimentil, yang
kemudian dikontekskan dan diaktualkan kembali oleh seorang penyair dengan
perjumpaan kekinian penyairnya bersama anak-anak yang memunculkan minatnya
untuk menuliskannya menjadi sebuah puisi liris romantis yang berdendang dan
bernyanyi, sebuah ingatan dan kenangan yang kemudian dinarasikan kembali dengan
upaya fantasi dan transendensi, yang menurut saya justru terasa reflektif dan
mengandung makna perenungan filsafat yang akan melahirkan ragam tafsir, aneka
pembacaan, dan ragam pemaknaan ketika dibaca oleh para pembacanya, meski puisi
tersebut tak bertendensi atau tak meniatkan diri untuk menjadi puisi yang
filosofis, dibanding sejumlah puisinya yang bertendensi untuk menjadi puisi
reflektif meditatif filosofis yang justru terasa keras dan penuh beban ketika
dibaca:
Kelak
bila nasib baik menjengukku
Datang menyamar
serupa mawar
membisikkan
jalan pulang
dan alamat ibuku
Maka maut
bersiul dalam gelap
Dalam siul
anak-anakku.
(Dalam Siul Anak-anak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar