oleh Sulaiman Djaya (Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Banten)
Dengan nama Allah yang Maha Kasih dan Maha Welas Asih.
Sholawat dan salam kita hazratkan untuk Rasulullah penghulu para nabi dan rasul
berserta keluarga dan para sahabat setianya.
Saya ingin berbagi terkait
pengalaman pribadi, dalam kaitannya dengan forum diskusi hari ini. Sepertinya
hari ini inti bahasan yang sesungguhnya adalah fenomena terorisme dan bagaimana
‘mencegah’ merebaknya terorisme di dalam masyarakat, tetapi saya ingin
memulainya dari soal media sosial hingga teologi, sebelum saya akan mengkomparasikan
dan mengkoherensikannya dengan fungsi sastra dalam rangka melahirkan kecerdasan
bagi masyarakat, menggalakkan budaya intelek dan literer, substansi dari sastra
itu sendiri. Hari ini, soal-soal keagamaan tak dapat dilepaskan dari aktivitas
orang-orang di media sosial di mana media sosial itu pula yang menjadi ‘media’
penyebaran doktrin-doktrin yang diklaim sebagai ajaran dan nilai religius yang
setiap saat melakukan agitasi dan penghasutan kepada para pengguna media
sosial.
Yang kedua, dan ini juga
tak kalah peliknya, media sosial itu seakan telah menjadi ‘pesantren’ singkat
tak resmi, yang sayangnya lebih sering menyebarkan teologi yang devian, dan
yang lebih buruknya lagi, adalah justru telah melahirkan budaya oral ketimbang
membuat orang-orang terbiasa melakukan analisa, berpikir kritis, dan membaca
narasi panjang yang bernas. Setiap hari, media sosial menghadirkan ‘bujukan’
informasi yang sifatnya kilasan dengan pergantian dan durasi yang demikian
cepat, semisal di fesbuk, instagram, twitter, dan yang sejenisnya, yang oleh
orang-orang yang tak punya daya kritis dan analitis yang memadai akan ditelan
mentah-mentah begitu saja, meski informasi-informasi itu ternyata tak lebih
hasutan, propaganda, atau hoax.
Mereka yang menjadi
‘korban’ hasutan dan propaganda yang tersebar di media sosial itu kemudian
menjadi para penyebar propaganda dan hoax pula dan begitu seterusnya. Mereka
membagikan terus-menerus propaganda, hoax, dan hasutan tersebut, seperti di
fesbuk, yang ketika sedemikian menjadi massif lalu akan dianggap sebagai
‘kebenaran’ yang tak terbantahkan. Di sini sesungguhnya saya juga hendak
mengatakan bahwa ketika media-media atau situs-situs yang narasi dan isinya
adalah hasutan, bahkan ujaran kebencian tersebut begitu mudah dianggap sebagai ‘kebenaran’,
publik terpengaruh dan mereka seakan memiliki ‘pembenaran’ atau laku membenci
pihak lain yang ‘difitnah’, dan ujung-ujungnya mereka merasa memiliki ‘dasar’
yang sah untuk mempraktikkan kekerasan. Inilah yang saya sebut teologi devian.
Di era digital dan jaman
android sekarang ini, ketika orang-orang lebih sibuk dan lebih senang
menghabiskan waktu keseharian mereka untuk berselancar di media sosial: fesbuk,
instagram, twitter dan yang sejenisnya, ketimbang membaca buku, betapa mudahnya
hasutan dan propaganda ‘teologi devian’ disebarkan dan lalu dikonsumsi banyak
orang. Tak jarang orang-orang begitu mudahnya menganggap yang hoax sebagai
fakta dan kebenaran, yang tak lain adalah mereka yang menjadi korban hasutan
tersebut, tiba-tiba merasa yang paling benar dan paling beriman. Inilah jaman ketika
akal dan analisis dibunuh oleh tekhnologi internet, yang justru diciptakan
manusia, bahkan tak sedikit yang kemudian menjadi mesin perang yang berubah
menjadi zombi-zombi yang akalnya mati sebelum tubuh mereka sendiri menjadi
jenazah atau mayat, semisal mereka yang menjadi para pelaku teror dan pelaku
praktik kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Karena itulah, tak
diragukan lagi, di jaman ketika mesin telah membunuh akal dan intelegensia,
yaitu era android dan internet kita saat ini, para penyair dan para sastrawan,
kaum akademik dan intelektual, mestilah menjalankan tugas ‘profetik’ sebagai
para pencerah, dan tentu saja menjadi para penyuluh masyarakat yang sanggup
memberi lentera dan pelita bagi hidupnya akal manusia melalui karya-karya
mereka, yang mereka tuliskan, yang mereka terbitkan dan mereka bukukan. Sebab
jika tidak, intelek dan bahkan jiwa manusia akan remuk ditelan tekhnologi
internet yang diciptakannya sendiri, yang belakangan menjadi medan penyebaran
hoax, hasutan, ujaran kebencian, propaganda politik dan perang, di saat
internet tersebut juga menjadi media penyebaran ‘teologi devian’.
‘Terbunuhnya’ intelek
inilah yang membuat orang mudah diindoktrinasi dengan ajaran-ajaran teologi
devian dan memiliki pandangan bahwa agama tidak memiliki kekariban dan
koherensi dengan akal. Di sini, saya teringat apa yang pernah dinyatakan Imam Ali
bin Abi Thalib, yang kira-kira bunyinya: “Kadar keberagamaan seseorang sesuai
dengan kadar akalnya.” Bukankah dalam Islam, sebagai contoh, syarat kelayakan
ibadah seseorang adalah ketika ia ‘aqil balig? Kita tidak diwajibkan berpuasa
Ramadhan, misalnya, ketika kita belum aqil balig. Hidupnya intelek ini
dimungkinkan dengan aktivitas daras dan membaca, mengaji dan mengkaji, terkait
dengan kapasitas literer seseorang. Menurut Imam Ali bin Abi Thalib, akal atau
intelek ini terbagi dua: “akal tabi’i (natural), kedua adalah akal tajribi
(eksperimentasi dan pengalaman), kedua dari pembagian akal manusia ini
memberikan manfaat dan faedah kepada manusia, dan seseorang harus menyakini bahwa
ia memiliki akal dan agama” (Biharul Anwar jilid 78 hal 128).
Khazanah sastra
menyediakan dirinya mengajak orang untuk berempati, berwelas-asih, toleran, dan
berpikir terbuka, karena ia mengajak kita untuk mengakrabi dan menemui
kehidupan itu sendiri secara intim, adil, tidak langsung menghakimi, melainkan
merayu kita untuk berdialog dan berdiskusi. Karena laku dan fungsinya yang
demikian itulah, sastra mengajarkan kita tanpa harus menggurui untuk tidak
mudah terjerembab dalam ‘dogma’ yang membunuh intelek dan nurani manusia. Terkait
hal ini, haruslah diakui, ada masalah ketika indoktrinasi dogmatis yang
membunuh intelek juga ternyata ‘mengatasnamakan diri’ sebagai sastra, semisal
karya-karya dan pernak-pernik budaya pop yang mencantumkan diri dengan label
‘Islami’, yang secara estetik dan artistik acapkali tak memenuhi ‘syarat’ untuk
disebut karya sastra, yang malah sama saja melakukan pola dan laku teologi
devian.
Penting untuk dipahami dan
dimengerti, karya sastra menjadi unik
karena merayakan konotasi, ambivalensi, dan polifoni demi menghidupkan watak
simbolik sastra itu sendiri dengan mengoptimalkan metafor, alegori,
personifikasi, hiperbola, ironi, dan lain sebagainya. Bukankah sastra menjadi
unik karena terus-menerus bersimpati pada ironi dan subjektivitas bukannya
objektivitas? Dan karena sifat dan lakunya yang demikian itulah, sastra
mengajarkan sikap terbuka dan mempraktikkan polah dan laku yang toleran bagi
para pembacanya.
Juga sebagaimana kita
ketahui bersama bahwa sastra yang melukiskan segi-segi umum dan kebanyakan
hanya akan berujung pada kegagalan etos dan watak sastra itu sendiri. Ia tak
ubahnya ilmu sosial. Sastra menjadi hidup justru karena menghidupkan polisemi
kata, memaksimalkan konotasi, dan menggalakkan ironi, dan tentu saja tidak
hanya menciptakan kebaruan makna referensial, tetapi juga makna tekstual. Dalam
hal ini, fungsi bahasa bukan hanya untuk menjelaskan, tetapi juga untuk
menyembunyikan. Sastra menjadi unik bukan karena verbalisme-nya, melainkan
karena kelihaiannya untuk menyembunyikan makna. Umberto Eco akan menyebutnya
sebagai Opera Aperta atau The Open Work (karya terbuka), di mana suatu teks
sastra menjadi kaya dan unik karena teks tersebut menciptakan suatu dunia,
suasana, dan peristiwa yang bisa ditafsirkan secara bebas (heterogen) oleh
pembacanya dan lebih informatif ketimbang traktat sains.
Sementara pada tingkatan
yang lebih ekstrem, Jacques Derrida menyebutnya sebagai disseminasi, penyebaran
keragaman penerimaan (pembacaan), penafsiran, dan pemaknaan, di mana makna
tidak selalu berkaitan dengan referensi, nilai dan keyakinan metafisis, penanda
transendental dan rujukan moral, tetapi oleh kumungkinan jalinan kata dan
bahasa dalam teks itu sendiri. Dengan demikian citra dalam sastra selalu
bersifat simbolik, seringkali menerobos formalisme bahasa dan menjadikannya
sebagai ekspressi yang personal. Milan Kundera akan menyebutnya dengan
polifoni-teks. Laku dan polah simbolik sastra itulah yang memungkinkan sastra
bersifat universal, menjadi perekat keragaman, bahasa bersama dalam perbedaan:
MENJADI BAHASA PERDAMAIAN ummat manusia.
PROFIL NARASUMBER
Sulaiman
Djaya lahir di Kragilan,
Kabupaten Serang, Provinsi Banten dari keluarga petani bersahaja. Sewaktu
mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta aktif di Forum Mahasiswa Ciputat
(FORMACI), Indonesian Studies and Advocacy Center (ISAC), Ketua Bidang Kajian
dan Intelektual HMI Cabang Ciputat, dan Jurnal Perbandingan Agama Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan-tulisannya
pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Media
Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak,
Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah
Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change
Magazine, Banten Pos, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi
diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung
dalam beberapa Antologi, diantaranya: Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi
Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi
Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar),
Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku
Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara
VI di Jambi Tahun 2012)), Tifa Nusantara 2 (Antologi Puisi Pertemuan Penyair
Nusantara di Tangerang, Banten Tahun 2015), dan masih banyak lagi yang lainnya.
Saat ini aktif sebagai Ketua Program Bengkel Seni Budaya (BSB) Dewan Kesenian
Banten, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Banten, dan Ketua Bidang Program
Dewan Kesenian Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar