Ironi Minerva Pendidikan Islam


Opini Kabar Banten 27 Juni 2024 oleh Sulaiman Djaya

Pendidikan Islam sudah semestinya responsif dan sanggup menciptakan ruh iqra: kecerdasan dan kesalehan. Jangan menjadi Minerva yang hanya mengudara saat senjakala. Modal dasarnya, yaitu spirit dan nilai-nilai Islam, harus dihadirkan dengan kecakapan adaptif: tetapi setia pada inti Islam, sembari mengafirmasi secara aktual tantangan-tantangan historis-kemanusiaan.     

Tantangan Liberalisasi dan Komodifikasi Pendidikan

Saat ini, kapitalisme dan liberalisme, tak pelak lagi, telah memberlakukan dan mempraktikkan pendidikan sebagai komoditas jasa, dan karenanya mereka pun kembali menciptakan pendidikan diskriminatif dan elitis. Pengetahuan dan pengajaran tak ubahnya komoditas yang dijajakan dan institusi-institusi pendidikan telah menjadi perusahaan-perusahaan penyedia jasa bagi orang-orang kaya yang sanggup membelinya. Celakanya, mereka kerapkali ‘menyetir’ Negara untuk membuat kebijakan-kebijakan pendidikan yang sesuai dengan keinginan mereka.

Spirit ajaran Islam yang menekankan keadilan sosial, kesetaraan dan welas-asih, harus diwujudkan dalam praktik pendidikan Islam itu sendiri, yaitu dengan menciptakan pendidikan setara untuk semua kalangan, pendidikan yang terjangkau oleh mereka yang hidupnya bersahaja sekalipun. Salah-satunya adalah dengan pendistribusian filantropi Islam yang modern dan berkelanjutan, tepat guna dan tepat sasaran, sebagaimana telah dipraktikkan sejak lama oleh Muhammadiyah, dengan membangun institusi pendidikan dan universitas atau perguruan tinggi dari zakat, infak, wakaf dan sedekah (ZISWAF).

Sudah sepatutnya ummat Islam tidak latah untuk ikut-ikutan melakukan komodifikasi dan komersialisasi pendidikan, hingga akan menciptakan diskriminasi dalam pendidikan dan pendidikan elitis yang hanya akan bisa dijangkau kalangan tertentu saja.

Dan bila kita bercermin secara historis, para pendahulu kita telah mempraktikkan pendidikan Islam filantropis, dalam arti sukarela, seperti pesantren tradisional yang tidak meminta bayaran atau memungut biaya dari para santri, asal mereka sanggup memberi makan diri mereka sendiri selama mengikuti daras kepada ustadz-ustadz atau kyai mereka. Malahan dalam sistem hauzah di Iran dan Irak, para santri mendapatkan tempat tinggal dan kebutuhan sehari-hari mereka secara gratis selama mereka belajar dan menggali ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya kepada para ayatullah mereka.

Perspektif Al-Quran Tentang Kemumpunian

Sebagai refleksi, kita perlu menghayati dan merenungkan wahyu pertama yang disampaikan Jibril as kepada Muhammad Rasulullah Saw: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS Al-A'laq: 1-5).

Kemumpunian manusia adalah hasil dari membaca: merenungi, menghayati, berpikir, mengambil hikmah dan pelajaran, belajar secara sinambung, menggali terus-menerus pengetahuan. Membaca juga bermakna menelaah, meneliti, menganalisis, menafakkuri semesta dan Ke-Maha-Besar-an Yang Maha Kuasa melalui ciptaan-Nya dan melalui kehidupan manusia. Sedemikian penting kata (instruktif) iqra (bacalah) dalam ayat di atas, sehingga harus diulang dan ditegaskan. Bahwa kemumpunian dan kedalaman serta kekuatan iman didapat dari perenungan dan tafakkur. Demikian juga kompetensi seseorang untuk mengenali diri dan Tuhannya.

Apalah jadinya bila seorang pendidik atau guru yang diharapkan dan seyogyanya meningkatkan kapasitas iqra bagi peserta didik justru adalah mereka yang tidak mempraktikkan atau mengamalkan iqra itu sendiri.   

Kompetensi guru dalam proses dan kegiatan KBM di institusi pendidikan merupakan faktor utama yang akan menentukan output (keberhasilan) pendidikan. Guru yang tidak cakap dan tidak menguasai materi ajar dan metode penyampaian materi ajar dalam KBM akan menciptakan ekosistem pendidikan yang buruk. Secara umum, kompetensi adalah kecakapan dan kemahiran seseorang dalam suatu bidang dan pekerjaan yang menjadi konsen, profesi dan pilihannya. Sebagai contoh, seorang penulis yang kompeten akan melahirkan tulisan-tulisan yang bermutu tinggi.

Seorang guru yang kompeten akan menciptakan pencapaian tujuan pendidikan yang diharapkan dan diprogramkan, semisal cepatnya para peserta didik menguasai materi-materi ajar yang ia sampaikan. Selain itu, guru yang kompeten akan sanggup menciptakan suasana dan situasi belajar yang nyaman.

Secara definisi teknis dan profesional, kompetensi adalah kapasitas dan kapabilitas seseorang menguasai dengan baik dan komprehensif suatu pekerjaan dan bidang yang menjadi pilihan keahliannya.

Menurut Kepmendiknas Nomor 45/U/2022, kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu. Pertanyaannya adalah: dalam dunia dan praktik pendidikan, kompetensi guru yang dibutuhkan untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang berhasil itu seperti apa dan apa saja? Bila merujuk UU Guru dan Dosen Pasal 10 dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Pendidikan Nasional Pasal 28, Kompetensi Guru mencakup: 

Pertama: kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan mengorganisir atau mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, serta pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan ragam potensi yang dimiliki para peserta didik.

Kedua: kompetensi kepribadian, yaitu guru sebagai pribadi berwibawa, bijaksana, stabil serta berkarakter kuat, tentu akan menjadi contoh dan teladan yang baik bagi para peserta didik.

Ketiga: kompetensi sosial, kemampuan pendidik atau guru sebagai bagian masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara baik, efektif dan pantas dengan peserta didik, sesama pendidik, serta masyarakat yang didalamnya adalah para orang tua peserta didik.

Dalam konteks guru PAI, sudah sepatutnya mereka menguasai khazanah dan ragam cabang ilmu keislaman bila ingin melahirkan para peserta didik yang menguasai nila-nilai dan ajaran-ajaran religius dan humanistik ke-Islam-an. Dalam artian ini, sudah sepatutnya para guru PAI adalah mereka yang pernah mengenyam tingkatan-tingkatan pendidikan dan perguruan-perguruan yang membekali mereka khazanah keilmuwan ke-Islam-an yang komprehensif. Di sini kompetensi merupakan kepemilikan wawasan dan khazanah pengetahuan yang komprehensif tentang ke-Islam-an. Sehingga, seorang guru PAI yang ideal adalah guru yang menguasai wawasan dan khazanah ke-Islam-an yang komprehensif sekaligus berbudi pekerti yang tinggi serta memiliki wibawa karena kemampuan dan kapasitasnya memadukan kealiman dan pembawaan diri yang pantas dan selaras dalam masyarakat. Menjadi contoh dan teladan untuk digugu dan ditiru. Sebab, pada akhirnya, tujuan utama pendidikan adalah menjadikan manusia menjadi manusiawi, bukan menjadi mesin dan piranti mesin, semisal birokrasi yang tidak sehat yang malah akan membunuh potensi dan bakat mereka yang sesungguhnya.

Memahami Kembali Substansi Pendidikan

Pendidikan, demikian ujar W. B. Yeats, lebih merupakan upaya menyalakan dan menghidupkan pikiran ketimbang mengindoktrinasi. Bagi Aristoteles, pendidikan yang tidak menyertakan pendidikan hati dan jiwa bukanlah pendidikan. Rabindranath Tagore, yang senafas dengan filsafat pendidikannya Ki Hajar Dewantara, menegaskan bahwa peserta didik bukanlah peserta pasif, dan karenanya menurut Paulo Freire, pendidikan yang membebaskan dan memerdekakan adalah pendidikan partisipatoris, dialogis atau interaktif yang mengajak para peserta didik turut aktif dalam diskusi dan dialog, guru dan murid dalam kondisi setara sebagai penggali pengetahuan. Dan untuk menghidupkan metode dan pendekatan tersebut, dibutuhkan guru yang memiliki kompetensi wawasan dan khazanah yang luas serta beragam, sanggup menciptakan situasi belajar yang melibatkan para peserta didik secara aktif. Guru yang sanggup mempraktikkan pendidikan literasi berbudaya yang dialogis dan partisipatoris.

INDONESIA: Kapitalisme Kroni Membuat Kota-Kota Menjadi Lingkungan Yang Tidak Manusiawi dan Tercemar untuk Rakyat Biasa


oleh Andre Vltchek* (Diterjemahkan oleh Rossie Indira)
 
Beberapa tahun lalu, seorang pengusaha Indonesia yang sekarang tinggal di Kanada, menemui saya di salah satu restoran mewah di Jakarta. Sebagai salah satu pembaca setia saya, dia ‘punya sesuatu yang mendesak untuk diceritakannya kepada saya’, setelah tahu bahwa kami sedang sama-sama berada di ibukota Indonesia yang amburadul dan polusinya sangat tinggi ini.

Apa yang dia katakan benar-benar langsung ke pokok permasalahan dan pastinya layak untuk kena dua jam macet yang parah untuk bertemu dengannya:

“Tidak akan ada yang diizinkan untuk membangun transportasi umum yang komprehensif di Jakarta atau di kota-kota lain di Indonesia. Jika ada seorang walikota atau gubernur mencobanya dengan menentang keinginan komunitas bisnis yang kejam yang sebenarnya mengendalikan sebagian besar pemerintahan di Indonesia, maka dia akan diturunkan dari jabatannya, atau bahkan akan dihancurkan secara total.”

Kata-kata 'prophetic' ini masih terdengar nyaring di telinga saya, beberapa bulan setelah penghancuran total gubernur Jakarta yang progresif, yang dikenal dengan nama Ahok (nama asli: Basuki Tjahaja Purnama), yang dengan sangat keras berusaha untuk memperbaiki kota yang tampaknya sudah tidak dapat dikendalikan dan benar-benar hancur, dengan membangun jalur transportasi massal yang baru (LRT), merestorasi stasiun-stasiun kereta api lama, membersihkan kanal-kanal, setidaknya mencoba membangun trotoar di berbagai tempat walau masih sangat sederhana, serta menanam pohon-pohon dan menciptakan taman-taman kota.

Setelah masa jabatan pertama Ahok yang sangat sukses, pihak oposisi langsung mengkonsolidasikan kekuatannya. Mereka ini terutama terdiri dari kaum Islamis, konglomerat bisnis besar, dan kader militer serta kader revolusionis lainnya (hampir secara eksklusif mereka ini adalah individu-individu yang pro-bisnis dan pro-Barat) yang masih mengendalikan Indonesia.

'Ahok', sebagai orang di luar kalangan di atas dan dari etnis Tionghoa, benar-benar kalah.

Alih-alih datang untuk menyelamatkannya, beberapa perencana dan arsitek ‘terkenal’  tapi korup, kebanyakan mendapatkan dana/bantuan dari luar negeri, tanpa malu-malu bergabung dengan kalangan yang 'mencerca Ahok'.

Bagi mereka, mengalahkan Ahok pun tidaklah cukup. Dia harus dihukum dan dipermalukan untuk mencegah orang lain mencoba meniru kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakannya yang berorientasi sosial. Selama kampanye pemilihan gubernur, dia dituduh telah ‘menghina Islam’ dalam salah satu pidatonya. Tentu saja tuduhan itu benar-benar omong kosong, bahkan sudah dibela oleh beberapa ahli bahasa terkemuka di Indonesia, namun di dalam masyarakat yang benar-benar korup (baik secara legal maupun moral), tuduhan itu dianggap benar.

Pada tanggal 9 Mei 2017, 'Ahok' dijatuhi hukuman dua tahun penjara, dan langsung dimasukkan ke dalam tahanan.

Sejak saat itu, banyak proyeknya yang berhenti, atau setidaknya secara signifikan diperlambat. Sekali lagi kita lihat sampah-sampah ada lagi di kanal-kanal dan sungai-sungai di Jakarta.

Bagi mereka yang masih percaya akan datangnya keajaiban, semua harapan sudah mati, tidak ada lagi.

Para ‘perencana kota’ yang masih percaya bahwa mereka dapat 'bekerja dengan' rezim yang sekarang (mereka menyebutnya 'pemerintah'), sudah benar mengasumsikan bahwa sekarang ini kembali 'bisnis seperti biasa'.

Saat 'Ahok' dilempar ke balik jeruji besi, desahan lega hampir bisa dideteksi di seluruh negara kepulauan yang malang ini! Semuanya telah kembali ke 'normal', setidaknya bagi mereka yang telah mendapat manfaat dari hancurnya negeri Indonesia dan kota-kotanya.

Sejarah Indonesia berulang kembali. Sekarang ini, setidaknya untuk beberapa dekade mendatang, hampir pasti bahwa semua kota di Indonesia akan tetap seperti sekarang - neraka bagi yang tinggal, mimpi yang paling buruk, dan tidak dapat disangkal sebuah daerah perkotaan yang paling mengerikan di muka Bumi.

Tapi para pembaca di luar negeri tidak seharusnya tahu mengenai hal ini. Orang Indonesia tidak seharusnya mengerti situasi yang dihadapinya. Semua ini biasa – normal-normal saja. Semua baik-baik saja. Kalau kita baca makalah-makalah dari ANU (Australian National University), anda akan diberitahu bahwa ‘Indonesia sekarang ini adalah negara yang normal, seperti Brasil atau Meksiko’. Tidak ada yang luar biasa yang sedang terjadi di sana.

Namun, pada kenyataannya semua sudah hancur. Kota-kotanya sudah hancur. Bukan secara metafor, bukan pula secara hiperbolik, tapi benar-benar kongkrit.

Seorang seniman Australia terkenal, George Burchett, yang sekarang tinggal di Hanoi, Vietnam, pernah berkunjung ke Jakarta. Selama beberapa minggu kami berkeliling Indonesia. Dia merasa kaget dan tertekan. Sebelum meninggalkan Indonesia, dia berkata:

“Saya sudah mengunjungi banyak kota di seluruh dunia. Kota-kota yang dibangun untuk rakyat. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, di Indonesia, saya melihat kota-kota yang benar-benar tidak dibangun untuk rakyat, tapi juga untuk melawan rakyat.”

Hal ini terjadi karena kota-kota di Indonesia fasis. Mereka tidak melayani kebutuhan warganya. Sebaliknya, mereka dirancang untuk menjarah sedikit sumberdaya yang masih dimiliki oleh rakyat biasa; menjarah dan memberikannya kepada penguasa-penguasa lokal, juga kepada perusahaan-perusahaan multi-nasional.

Kutipan dari Encyclopedia Britannica tentang definisi ‘negara gagal’ dapat menerangkan secara sempurna negara Indonesia pada umumnya dan kota-kotanya secara khusus:

“Kapasitas pemerintahan dari sebuah negara yang gagal dikurangi sedemikian rupa sehingga tidak dapat menjalankan tugas administratif dan organisasi yang diperlukan untuk mengendalikan rakyat dan sumber daya yang dimiliki, serta hanya dapat menyediakan layanan publik yang minimal...Negara gagal ditunjukkan dengan infrastruktur yang amat buruk, pasokan listrik yang tidak stabil dan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang tidak memadai, dan memburuknya indikator-indikator pembangunan-manusia yang mendasar...”

Gubernur Ahok telah mencoba untuk mengubah situasi di atas. Rakyat (Jakarta) mendukungnya. Jutaan orang menyaksikan di semua kota besar di Indonesia. Timbul harapan yang awalnya rapuh tapi segera mekar.

Tapi tiba-tiba: ada kejadian yang luar biasa, semua berhenti, dan semua rencana hancur! Orang yang berani menyuntikkan beberapa elemen sosialis ke dalam sistem yang brutal, akhirnya berakhir di balik jeruji besi.

Dan sekarang semua kembali ke skenario ‘negara gagal’ sebelumnya. Hidup di Indonesia kembali kosong dan mudah ditebak.

Hampir tidak ada perbedaan mencolok di antara kota-kota di Indonesia. Jika Anda menempatkan seseorang di pusat atau pinggiran kota Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Makassar atau Pontianak, dia tidak akan tahu berada di kota yang mana.

Semua jalan utama dalam kondisi macet yang parah. Hampir tidak ada trotoar, dan kalaupun ada trotoarnya sempit dan kondisinya menyedihkan, dan trotoarnya dikuasai oleh sepeda motor yang agresif dan knalpotnya mengeluarkan asap kotor, dan trotoar juga penuh dengan pedagang kaki lima yang tidak diatur dan tidak higienis. Preman ada dimana-mana, mengendalikan jalanan. Hampir semua jalan raya sekunder punya sistem pembuangan limbah yang terbuka. Saat hujan turun, lingkungan perumahan terendam air kotor. Gerobak sampah yang kecil, ditarik oleh orang-orang dengan pakaian kotor dan honor/gaji yang tidak memadai, mengumpulkan sampah-sampah rumah tangga. Semua kota-kota di Indonesia menghadapi masalah yang sama, dan kota-kota itu terlihat persis sama.

Sanitasi, kualitas air dan fasilitas daur ulang sampah berada pada tingkat yang sama dengan negara-negara di Afrika sub-Sahara yang paling miskin.

Slums (permukiman kumuh) terlihat di mana-mana - luas dan brutal. Kenyataannya, sebagian besar lingkungan di kota-kota di Indonesia yang disebut kampung, sesuai dengan definisi internasional tentang permukiman kumuh.

Beberapa tahun yang lalu saya diundang untuk berbicara di Universitas Indonesia (UI). Beberapa mahasiswa bertanya kepada saya: “Mengapa? Mengapa semua ini terjadi di negara kami? Apakah ada solusinya?”

Saya menjawab bahwa tentu saja ada solusinya: “Sosialisme dan perencanaan di pusat pemerintahan. Tapi tentu harus dilaksanakan dengan tekad yang kuat dan nyata, dan harus mencakup perlawanan anti-korupsi yang sepenuh hati, juga larangan menjual semua sumber daya alam dan utilitas kepada orang asing.” Saya menambahkan: “Dan katakan kepada dosen-dosenmu untuk berhenti menerima pendanaan dari Barat, dan pergi ke Eropa untuk belajar tentang ‘pemerintahan’, ‘pemerintahan yang baik’ dan perencanaan kota dari negara-negara yang telah merampok negaramu selama beberapa abad.”

Saya yakin para mahasiswa itu suka dengan apa yang saya katakan (tapi tidak yakin juga apakah mereka masih bisa memahami artinya). Namun, sudah bisa diduga, saya tidak pernah diundang bicara di UI lagi.

Kota-kota di Indonesia seperti luka yang terbuka. Semua sumber daya alamnya telah dirampok dari mereka dan akibatnya, hilanglah sudah apa yang membuat hidup masih tertahankan. Hanya yang tidak diinginkan oleh para kaum ‘elit’ yang diberikan kepada rakyat.

Hampir tidak ada taman untuk publik di Indonesia, setidaknya bukan taman yang baik. Kota-kotanya tidak punya pelataran atau taman-taman di pinggir sungai atau pantai, hal yang sangat kontras dengan daerah perkotaan di Amerika Selatan, di Timur Tengah dan bahkan di Afrika (tidak usahlah kita bicara tentang ruang publik, taman, promenade dan tempat olahraga terbuka yang indah dan baik sekali di China).

Jalanan yang kotor, tersumbat dan tercemar disebut 'jalan' dan 'jalan besar'. Tidak ada trotoar, atau jika ada, hanyalah selebar satu meter, dengan keramik-keramik yang pecah atau banyak lubang yang cukup dalam. Di tempat trotoar tidak benar-benar dibutuhkan, malah mungkin ada trotoar di sana – di satu atau dua jalan di tengah kota dan di depan beberapa bangunan pemerintah, dan trotoar di sana pun tidak menghubungkan apa-apa. Hal ini jelas menunjukkan bahwa tidak ada apapun yang benar-benar dirancang untuk rakyat.

PENTING UNTUK DIPAHAMI bahwa pemerintah Indonesia, di semua lapisan, sebenarnya bukan institusi yang terdiri dari pria dan wanita yang benar-benar bertekad memperbaiki negara dan melayani rakyatnya. Sebaliknya!

Di Indonesia, sejumlah besar politisi adalah anggota atau berafiliasi dengan militer, yang telah memerintah negara ini secara brutal sejak kudeta militer yang didukung pihak Barat (Amerika) di tahun 1965. Kudeta tersebut menghancurkan segala sesuatu yang bersifat sosialis dan komunis, melarang gagasan komunis, dan membunuh 1 - 3 juta orang, termasuk hampir semua intelektual progresif. Selain itu, sebagian besar politisi adalah pengusaha, taipan dan oligarki, dan sebagian besar dari mereka punya reputasi yang buruk. Mereka telah merampok bangsa dan rakyatnya selama lebih dari setengah abad, dan sama sekali tidak ada alasan mengapa mereka harus berhenti melakukannya sekarang, atau dalam waktu dekat. Bagi individu-individu ini, meraih posisi politik teratas tidak lain hanyalah untuk memaksimalkan keuntungan.

Pihak Barat (Amerika dkk) senang memuji ‘Demokrasi Indonesia’ (tidak heran karena secara de facto Indonesia berfungsi sebagai sebuah koloni yang patuh, yang menjarah warganya dan sumber dayanya sendiri atas nama pihak Barat), yang punya banyak partai politik, namun tidak satu pun mempunyai ideologi kiri atau yang membela kepentingan orang awam. Selain itu, sebagian besar ‘masyarakat sipil’, LSM, tunduk pada kepentingan ekonomi dan politik Barat. Banyak sekali organisasi, bahkan mungkin sekali semua organisasi, ini didanai langsung dari Washington, Berlin, London atau Canberra. (Saya menggambarkan situasi seperti ini dalam novel terbaru saya “Aurora”).

Perusahaan-perusahaan Indonesia dan pemerintahnya merupakan satu kesatuan. Dan mereka dengan tegas dan serempak menjarah sumber daya alam di seluruh nusantara. Negara terpadat ke-4 di bumi ini hampir tidak menghasilkan apa-apa. (Baca buku saya Archipelago of Fear dalam bahasa Inggris atau Indonesia: Untaian Ketakutan di Nusantara).

'Filosofi' penjarahan tak terkendali ini kemudian diterapkan pada 'urbanisme'; ke bagaimana kota-kota di Indonesia diperintah dan pada dasarnya diserahkan sepenuhnya ke pasar. Bahkan di Afrika tempat saya tinggal dan bekerja selama beberapa tahun, tidak ada pencurian tanah perkotaan yang tak tahu malu oleh para elit (sebagian diantaranya adalah pegawai pemerintah).

Setelah semua hal di atas dipaparkan, jauh lebih mudah untuk memahami realitas Indonesia dan kota-kotanya.

Setelah hal di atas didefinisikan, apa yang terjadi di kota-kota di Indonesia ‘mulai masuk akal’.

Kenyataannya, tidak banyak yang bisa disebut 'urban' di kota-kota di Indonesia. Baik itu kota seperti Pontianak dengan 600.000 penduduk, atau Jakarta dengan 12 juta (28 juta termasuk kota-kota di sekitarnya).

Ke mana pun kita pergi, kita lihat contoh ekstrim bagaimana keuntungan lebih diprioritaskan dibanding orang/rakyat (profit over people).

Seperti pulau-pulau yang sudah dijarah habis, habis-habisan ditambang dan dicemari, kota-kota di Indonesia dirancang sedemikian rupa sehingga memberikan penghasilan maksimal bagi sekelompok kecil individu dan bisnis. Namun akibatnya harus ditanggung oleh orang-orang miskin, yang sering sakit, berpendidikan rendah, dan mayoritas penduduk yang benar-benar sudah tersudut.

Jaringan media, pendidikan, hiburan pop yang berkualitas rendah, serta pengaruh agama yang masuk dan struktur keluarga yang bersifat feodal, disebarkan dan dijunjung tinggi, sehingga rakyat tidak berpikir, tidak mempunyai keraguan dan tidak memberontak.

Hasil yang diperoleh amat mengejutkan.

Kota-kota di Indonesia menjadi seperti perkebunan kelapa sawit atau tambang-tambang terbuka, dengan beberapa elemen koloni barak militer (tentu saja ada beberapa tempat khusus untuk para pengawas, dengan rumah-rumah yang besar tapi kitsch, seperti yang banyak terlihat di Jakarta Selatan).

Di sini, tidak ada yang dibangun untuk membuat hidup menjadi nyaman, penuh warna, gembira, bermakna dan bahagia. Tidak ada gedung konser permanen, tidak ada teater, dan tidak ada museum yang besar untuk umum (salah satu museum yang baru dibuka adalah milik pribadi, dan berfungsi untuk mengindoktrinasi masyarakat lebih dalam lagi, kali ini menargetkan ‘kelas menengah di perkotaan’). Tidak ada lingkungan perumahan yang punya tempat pejalan kaki yang lebar dan nyaman, dan tidak ada promenade di pinggir laut yang gratis untuk umum.

Tidak satu pun struktur yang bernilai arsitektural tinggi yang dibangun di kota manapun di Indonesia setelah kudeta militer/agama di tahun 1965/66.

Di Indonesia, ‘area publik’ identik dengan mal, tak terhitung jumlah mal-mal dengan berbagai ukuran dan kualitas. Di dalam mal, ada restoran-restoran dan toko-toko, dan kafe-kafe yang punya banyak cabang di mal-mal lainnya. Ada juga beberapa bioskop yang kebanyakan menampilkan film Hollywood atau film horor lokal. Pada akhir pekan, ada band-band yang memainkan lagu-lagu pop Barat dan Indonesia yang sudah kuno, tidak ada variasi sama sekali. Sebanyak sekitar 50 lagu didaur ulang lagi dan lagi. Bisa diduga, yang paling favorit adalah: “I did it my way”.

Tidak ada yang ‘ekstra’ di kota-kota di Indonesia. Semuanya cukup yang mendasar saja: entah bagaimana Anda bertahan dengan gaji yang kecil (dengan harga makanan dan barang-barang konsumsi setinggi atau lebih tinggi daripada di Tokyo atau Paris), entah bagaimana Anda berangkat ke tempat kerja dan pulang, setiap hari duduk berjam-jam dalam kemacetan lalu lintas yang mengerikan karena kurangnya angkutan umum yang baik bahkan di kota-kota yang punya 2-3 juta penduduk, seperti Surabaya atau Bandung. Anda memasak dan mencuci piring dan pakaian Anda dengan air yang tercemar, dan mencoba menghemat tagihan listrik yang sangat tinggi. Sama sekali tidak ada yang bisa dikerjakan di lingkungan perumahan Anda. Tentu saja selalu ada masjid di dekatnya atau kadang-kadang ada juga gereja, kalau memang itu yang Anda sukai. Tidak ada taman, tidak ada taman bermain untuk anak-anak. Tidak ada trotoar untuk dipakai berjalan ke kafe, jadi jika Anda ingin benar-benar pergi ke kafe atau ke toko buku (semua toko buku di Indonesia semakin kurang lengkap dan sangat disensor), Anda harus naik motor atau mobil, itupun kalau Anda masih punya sisa stamina.

Kemungkinan terbesarnya adalah - Anda tidak punya waktu untuk melakukan apa pun. Perjalanan sehari-hari 3-4 jam, pekerjaan yang melelahkan, dan yang bisa Anda lakukan hanyalah ambruk di depan pesawat televisi dan siap untuk diindoktrinasi, dinetralisasi dan dibodoh-bodohi lebih jauh lagi.

Anda belajar untuk tersenyum saat Anda benar-benar ingin mati, atau setidaknya ingin berteriak keras-keras. Anda merasakan bahwa tidak akan ada yang bisa berubah menjadi lebih baik, dan bahwa hidup Anda telah selesai, mungkin pada saat Anda berumur 25, atau bahkan lebih muda lagi.

Pada akhirnya, beberapa orang melakukannya lebih cepat daripada yang lain: Anda menjadi lebih relijius, dan Anda menjadi orang yang tradisional, konservatif dan 'berorientasi keluarga'. Memang sungguh-sungguh tidak ada alternatif yang lain. Kota-kota di Indonesia memastikan bahwa tidak akan ada alternatif tujuan yang lain. Kota-kota ini adalah mesin-mesin yang sempurna, menciptakan ketaatan, menjarah segala sesuatunya dari manusia, dan tidak memberi imbalan apa pun.

SAYA sering menggambarkan kudeta di tahun 1965 sebagai “Hiroshima Budaya”. Sementara di Jepang, Amerika Serikat secara terbuka melakukan eksperimen pada kesehatan jutaan manusia, di Indonesia eksperimen itu sifatnya sangat berbeda. Hal yang menarik bagi Kekaisaran adalah: “Apa yang akan terjadi pada sebuah negara anti-imperialis progresif yang mengandalkan budaya yang kompleks dan beragam, jika terjadi pertumpahan darah, jika bioskop dan studio-studio filmnya ditutup, 40% guru dibunuh, perempuan-perempuan dari organisasi sayap kiri diamputasi payudaranya, para penulis dibuang ke kamp konsentrasi di Pulau Buru, dan para perencana kota diajarkan untuk merancang kota seperti Houston, Dallas atau LA, namun di negara dengan gaji hanya 10% atau kurang daripada di Amerika Serikat?”

Jawabannya sederhana: “Negara  itu akan berubah menjadi seperti Indonesia. Akan menjadi seperti Jakarta sekarang ini”. Bagi para demagog dan perencana imperialis Barat, “Indonesia” dan “Jakarta” bukan hanya nama negara dan kota tapi merupakan nama-nama dari sebuah konsep, sebuah model.

Model ini, yang dipaksakan di koloni-koloni Barat, sangat cocok untuk pihak Barat dan kepentingannya.

Model ini juga cocok untuk para ‘elit’ Indonesia, yang sering bermain kotor di negaranya sendiri, menjarah semua yang mereka bisa jarah, tapi kemudian bersantai, bermain dan sering mengevakuasi seluruh keluarga mereka ke Singapura, California, Australia, Hong Kong dan banyak tempat lainnya ‘yang aman dan bersih’.

Model ini adalah yang termurah; konsep yang paling efisien yang dirancang untuk menjarah, dan untuk benar-benar menipu sebuah bangsa secara telak. Tidak mengherankan, pihak Barat telah mencoba untuk meniru penggunaan ‘model Indonesia yang sukses’ ini di berbagai bagian dunia.

Mereka bahkan sempat mencoba menyuntikkannya ke Rusia, setelah Uni Soviet dilukai dan kemudian dihancurkan. Mereka juga mencobanya di Chile...Teman-teman saya yang berusia jauh lebih tua di Santiago mengatakan kepada saya bahwa sebelum kudeta 9-11-1973 yang dilakukan oleh Jenderal Pinochet atas nama Barat dan perusahaannya, beberapa orang di sekitar Presiden Allende diancam oleh orang-orang dari sayap kanan: “Hati-hati, Jakarta akan datang!”

Jakarta benar-benar datang! Di sini, di seluruh Indonesia, di semua kota, dan dengan tingkatan berbeda di sebagian besar negara ini yang sudah jatuh di bawah sepatu neo-kolonialis Barat.

Tapi apa sebenarnya artinya ‘Jakarta’? Apakah itu hanya sebuah nama atau juga kata kerja, kata kerja infinitif?

“Ke Jakarta...” adalah ‘mengambil segala sesuatu dari rakyat dan tidak memberikan apapun kembali kepada mereka’. “Ke Jakarta” adalah berbohong dan menjarah dan meyakinkan umat manusia, melalui indoktrinasi yang panjang, bahwa semuanya baik-baik saja, dan seperti seharusnya terjadi. ‘Men-Jakarta-kan” bangsa ini adalah membuat hampir seluruh penduduk tidak relevan lagi, memberikan seluruh hasil jarahan di atas nampan perak kepada penguasa lokal dan asing, dan hanya menyisakan sungai dan kanal yang kotor dan tercemar, juga kemacetan yang luar biasa, kabut asap, tempat penyeberangan jalan tanpa eskalator, dan keramik-keramik yang rusak di sepanjang jalan kompleks.

‘PENDUDUK YANG DI-JAKARTA-KAN’ adalah penduduk yang  taat, suka kekerasan, tegang, tapi bukan terhadap rezim, turbo-kapitalisme, para elit yang korup dan tuan-tuan mereka dari pihak Barat, namun terhadap satu sama lain, dan juga terhadap kelompok minoritas.

Jakarta hanya mendapat sedikit kritik dari media arus utama Barat dan lokal, dan hampir tidak ada analisis yang asli dari kalangan akademisi. Tidak mengherankan: menyerang realitas kota-kota di Indonesia ibarat menyerang seluruh sistem neo-kolonialis Barat yang diberlakukan di berbagai belahan dunia. Untuk mengatakan hal yang sebenarnya pasti akan menghancurkan karier jurnalistik siapapun, seperti juga akan men-torpedo semua kesempatan untuk mendapatkan jabatan yang berpenghasilan baik di universitas!

Seringkali, yang bisa diharapkan tentang penggambaran situasi yang realistis di Indonesia, adalah keluhan-keluhan yang secara acak terdengar di pesawat terbang yang meninggalkan Indonesia, atau beberapa ‘bukti anekdot’ dari halaman majalah-majalah dan blog-blog perjalanan. Tampak sekali bahwa apa yang dilihat dengan mata kepala sendiri oleh orang-orang biasa bertentangan langsung dengan ‘fakta’ yang ditulis oleh media arus utama dan akademisi.

Pada tanggal 17 September 2017, sebuah surat kabar Malaysia The Star menulis: “Berdasarkan indeks kualitas udara yang secara real-time diunggah ke aplikasi Airvisual pada tengah hari Jumat, 15 September, Jakarta berada di peringkat ketiga sebagai kota paling tercemar di dunia...Pada pertengahan Agustus, aplikasi tersebut menunjukkan bahwa Jakarta berada di peringkat paling atas, diikuti oleh Ankara, Turki dan Lahore, Pakistan.”

Majalah ‘Escape Here’ menempatkan Jakarta sebagai kota No.1 dalam laporannya “10 Kota Dengan Lalu Lintas Terburuk di Dunia”:


“Terjadi di ibu kota negara ini, dan salah satu kota dengan perancangan paling buruk di Dunia, sebuah kombinasi yang membuat bepergian di kota ini seperti sebuah bencana. Jumlah pemilik mobil yang terus meningkat dari perluasan pinggiran kota yang mengelilingi mega-kota ini menjadi penyebab warganya menghabiskan waktu selama 400 jam setahun di kemacetan. Kota ini sudah dinyatakan sebagai kota dengan lalu lintas terburuk di dunia. Sepertinya tidak ada solusi untuk mega-kota ini karena infrastruktur ditangani oleh pemerintah daerah dan kontrak-kontraknya dinegosiasi ulang setiap tahun; yang berarti proyek jangka panjang hampir tidak mungkin. Perjalanan rata-rata di kota ini memakan waktu sekitar 2 jam...”

Pada tanggal 2 September 2015, bahkan surat kabar resmi Indonesia berbahasa Inggris, The Jakarta Post, menerbitkan kembali peringkat survei yang menempatkan ibukota Indonesia ini sebagai nomor 9 ‘kota paling tidak ramah di bumi’:

"Jakarta, ibu kota Indonesia yang terkenal karena macet dan polusi udara yang buruk, berada di posisi 9 diantara kota-kota paling tidak bersahabat di dunia tahun ini, yang ditunjukkan oleh sebuah survei yang baru-baru ini dilakukan oleh sebuah majalah perjalanan internasional. Pembaca majalah travel mewah Conde Nast Traveler untuk pertama kalinya memasukkan Jakarta ke dalam daftar ‘10 kota yang tidak bersahabat di dunia’ tahun ini. Dalam survei tersebut, salah satu pembacanya mengatakan bahwa Jakarta adalah ‘tempat paling menakutkan yang pernah saya kunjungi’ dengan kemacetan dan penduduk lokal yang agresif.”

'Tempat paling menakutkan': tentu saja! Apa yang bisa kita harapkan dari ibu kota negara yang dalam setengah abad terakhir ini telah melakukan 3 genosida yang mengerikan (terhadap penduduknya sendiri pada tahun 1965/66, melawan rakyat Timor Leste dan genosida yang sedang berjalan melawan rakyat Papua)?

Apa yang bisa diharapkan dari kota-kota yang ruang hijaunya sudah dirampok habis? Kenyataannya, semua hal yang bersifat ‘publik’ di kota-kota ini sudah dirampok, tidak ada lagi karya-karya seni dan segala sesuatunya telah dikomersialkan; Semua hal dan semua orang diharapkan sama - berperilaku dengan cara yang sama, penampilan yang sama, terdengar sama, dan merasakan dengan cara yang sama.

Cobalah tampil berbeda, dan jika Anda orang Papua, Cina, Afrika, atau kulit putih, cobalah berjalan di trotoar-trotoar sempit dan rusak di Surabaya, Jakarta, Pontianak, atau Medan. Anda akan dikata-katai; anda akan segera menjadi sasaran rasisme. Orang-orang akan berhenti dan mengejek, atau lebih buruk lagi.

Beberapa hari yang lalu saya syuting dari atas sebuah perahu di sebuah sungai yang tercemar yang melewati kota Pontianak, Kalimantan. Dua orang anak di pinggir sungai langsung mengangkat jari tengah mereka dan berteriak: “Fuck you!” Langsung terjadi begitu saja: tanpa peringatan dan tanpa alasan. Tentu saja hal ini bukan hal terburuk yang bisa terjadi. Kalau saja saya orang Cina...atau orang Afrika...Semua orang juga tahu apa yang akan terjadi. Hal ini tidak pernah dibicarakan, tidak pernah ditulis…

Menurut para ‘analis’ dan akademisi Barat, Indonesia adalah negara yang ‘demokratis’ dan ‘toleran’. Semakin memburuk kondisi negara ini, semakin menindas dan tidak toleran, semakin hancur, maka mereka akan semakin memujinya.

Kebohongan demi kebohongan menumpuk. “Kaisar memakai pakaian yang indah”, kata semua orang, seperti cerita anak-anak jaman dulu. Tapi pada kenyataannya, Kaisar itu telanjang!

Semua ini termasuk ‘political correctness’. Kita diharapkan ‘sensitif’ terhadap ‘budaya’, agama, dan cara hidup setempat. Satu-satunya kelemahan dari pendekatan ini adalah bahwa di negara-negara seperti Indonesia, budaya lokal, cara hidup dan bahkan agama yang sangat agresif, semua itu hasil dari rezim fasis yang secara langsung dipaksakan kepada bangsa ini oleh Barat (Amerika dan sekutunya) setelah pembantaian di tahun 1965/66. Seandainya jalan sosialis sebelum tahun 1965 diizinkan mengalir secara alami, Indonesia sekarang akan menjadi bangsa yang benar-benar normal, imbang secara sosial, sekuler dan toleran, dan kota-kotanya akan melayani rakyat, bukan sebaliknya.



Sekali lagi, di sini ‘political correctness’ dipakai untuk melindungi kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah dilakukan oleh Barat, oleh para elit lokal dan militer, serta oleh para pemimpin agama. ‘Budaya’ lokal tidak dilindungi sama sekali, karena budaya itu sudah mati, sudah dibunuh.

Kota-kota juga mati. Bangkainya berbau busuk, mengerikan, mengerikan, sudah tidak ada harapan sama sekali. Penduduknya sudah tidak bisa bernafas dengan baik lagi, terhina, terpinggirkan, sakit, dan terus-menerus dirampok secara sistematik.

Anehnya, perlu majalah elitis seperti Conde Nast untuk memperhatikan hal-hal di atas...Dibutuhkan keluhan dari pelancong yang secara acak ditanya...Orang tidak akan pernah membaca komentar semacam itu dalam laporan yang keluar dari Australian National University atau di halaman media seperti The New York Times.

Tepat di luar kota Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, di Pulau Madura, beberapa kapal besar dilucuti/dibongkar untuk dijual besi tuanya. Secara berkala terjadi ledakan, runtuh menimpa pekerja, dan ada korban yang kehilangan wajah atau anggota badan mereka. Pemandangan di sana amat mengerikan: angker dan cukup membuat gelisah. Sama seperti yang terlihat di Bangladesh, walau di Madura ini semua berjalan tidak terlalu diperhatikan.

Dalam banyak hal, saya berpendapat bahwa kota-kota di Indonesia menyerupai kapal-kapal tersebut dan daerah-daerah pesisirnya yang tercemar tempat kapal-kapal itu dilucuti menjadi ribuan besi tua dan kemudian dijual. Walau dulu dibanggakan, mereka sekarang dipermalukan, dalam kesakitan, dan dipotong-potong sementara mereka masih hidup.

Hanya fasisme sejati yang bisa memperlakukan warganya dengan cara ini; hanya sebuah rezim yang sakit jiwa dan benar-benar gila.

Kota-kota di Indonesia...apa saja yang ada di dalamnya? Yang ada di dalam kota-kota di Indonesia adalah rumah-rumah kecil dan padat, kanal yang kotor, jalanan berlubang, polusi yang tak terbayangkan, masjid dan gereja. Kemudian ada beberapa menara perkantoran di pusat kotanya, pusat-pusat perbelanjaan yang tak terhitung jumlahnya dan beberapa hotel mewah tempat para elit melarikan diri dan beristirahat sejenak dari mimpi buruk yang dialaminya sehari-hari, itulah ‘kehidupan normal’ di sini. Lapangan golf di mana-mana, tapi tidak ada taman publik yang layak, karena bahkan beberapa area hijau sudah diprivatisasi.

Sekarang ini mantan gubernur Jakarta, ‘Ahok’, dipenjara karena berani mengubah keadaan; membangun transportasi umum, membersihkan sungai dan membangun beberapa taman kecil. Dia dipenjara karena merelokasi penghuni liar ke perumnas, dan juga karena berusaha melayani mayoritas penduduk yang miskin dan dihina-hina.

Tindakan-tindakan sosialisnya segera dicemarkan dan didiskreditkan oleh para elit, oleh LSM yang didanai Barat (Amerika dkk) dan oleh perencana kota yang korup. Bahkan ketika hal-hal itu tidak bisa menghentikan tekad dan semangatnya, maka diluncurkanlah isu agama. Bagaimanapun, sebagian besar agama bersifat regresif, berorientasi pada bisnis, dan siap mendukung rezim fasis manapun.

Sampai seberapa burukkah kota-kota di Indonesia? Kapan kota-kota ini tidak akan bisa dihuni lagi?

Rakyat sudah banyak yang sekarat; mungkin ribuan yang sudah sakit karena kanker, karena stres, dan karena penyakit pernapasan.

Jutaan manusia menyia-nyiakan hidup mereka. Mereka hidup, tapi hanya wujudnya saja, tidak benar-benar hidup: mereka bergerak secara mekanis, melintasi kota yang parah polusinya dengan sepeda motor, makan junk food (makanan cepat saji), dan selalu dikelilingi hal-hal yang buruk dan jelek.

Mengapa?

Untuk berapa lama lagi?

Hutan-hutan di Kalimantan, Sumatra dan Papua sudah habis terbakar. Di seluruh Kepulauan Nusantara ini, semuanya sudah habis dijarah, ditambang, dan hancur karena polusi yang mengerikan. Ekstraksi dan penjarahan sumber daya alam adalah satu-satunya ‘mesin’ ekonomi riil di Indonesia saat ini.

Kota-kotanya tidak jauh lebih baik. Benar-benar tidak lebih baik.

Sudah waktunya bangsa Indonesia bangun, atau nanti akan terlambat. Tapi nampaknya bangsa ini benar-benar tidur pulas. Mereka benar-benar tidak memperhatikan bahwa negaranya sedang jatuh bebas. Mereka dikondisikan untuk tidak memperhatikan. Mereka dibuat untuk menerima, bahkan untuk merayakan keruntuhannya sendiri.

Mereka yang memaksa Indonesia ke dalam kondisi ini tentu tidak akan membocorkannya. Setidaknya selama masih ada yang tersisa, sesuatu yang bisa diekstraksi, dimanfaatkan, dijarah, maka mereka akan tetap memuji ‘kesuksesan’ dan ‘kemajuan’ Indonesia.

Saya mengajak semua orang dari seluruh dunia yang ingin melihat wajah sejati neo-kolonialisme, kapitalisme brutal dan bencana yang ditimbulkan oleh sayap kanan, untuk datang ke kota-kota di Indonesia! Datang dan lihatlah dengan matamu sendiri. Datang dan jalan-jalan di sana; Jangan bersembunyi di kota-kotamu sendiri yang nyaman, yang penuh dengan taman-taman rimbun, gedung konser, bioskop seni, transportasi umum dan teater.

Ini hal yang nyata. Ini adalah peringatan bagi dunia!

Datang dan lihatlah bagaimana kondisi kota-kota di negara di mana komunisme dan sosialisme dilarang, di mana sebuah koloni bahkan tidak menyadari bahwa mereka sedang dijajah, dan di mana segala sesuatu disajikan di piring perak yang besar langsung ke hadapan monster yang disebut fasisme.
 
14 Desember 2017, Ketapang, Kalimantan Barat, Indonesia
 
*Andre Vltchek adalah seorang filsuf, novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia sudah meliput perang dan konflik di berbagai negara. Tiga buku terbarunya adalah tribute-nya kepada “The Great October Socialist Revolution”, novel revolusionernya Aurora, dan buku bestselling-nya yang non-fiksi dan politis: “Exposing Lies Of The Empire”. Silahkan lihat buku-buku lainnya disini. Silahkan lihat Rwanda Gambit, film dokumenternya tentang Rwanda dan DRCongo, serta film/dialognya dengan Noam Chomsky “On Western Terrorism”. Sekarang ini Vltchek tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Timur Tengah, dan terus bekerja di berbagai belahan dunia. Dia dapat dihubungi melalui website-nya atau Twitter-nya. Tautan ke esai aslinya: http://21stcenturywire.com/2017/12/17/indonesia-capitalism-reduced-cities-dehumanized-polluted-environments-ordinary-people/