Aku baru saja
menyelesaikan pekerjaanku mendatangi orang-orang di kawasan yang bisa dibilang
kumuh, rumah-rumah di kawasan Jakarta Utara yang dipenuhi bau-bau tak sedap.
Aku sedikit heran bagaimana orang-orang itu bisa kerasan untuk menetap dan
tinggal di kawasan tersebut. Kebanyakan dari mereka bekerja dan mendapatkan
pendapatan keseharian mereka dari ikan-ikan yang mereka tangkap dan yang mereka
jual, sebagian dari mereka mengeringkan ikan-ikan itu dengan alat-alat yang
terbuat dari bambu. Kawasan itu mengingatkanku pada lingkungan dua temanku
ketika aku masih bersekolah di sekolah menengah atas. Dua temanku itu tinggal
di Kampung Gusti di kawasan Teluk Gong, yang kebanyakan orang-orangnya
melakukan pekerjaan yang tak jauh berbeda dengan orang-orang di kawasan Kamal
di mana aku menghabiskan pagi hingga soreku untuk mewawancarai mereka.
Bau tak sedap di
kawasan-kawasan itu semakin menjadi-jadi di musim-musim hujan, sesuatu yang
sangat jauh berbeda dengan tempat di mana aku dilahirkan, di mana hujan dengan riang
dan bebas mencandai pepohonan dan jalan-jalan tanpa mesti melahirkan bau-bau
tak sedap yang membuat kepala terasa pusing dan pening di saat badanku penuh
dengan keringat.
Memang, ada rasa puas
melakukan pekerjaan yang membuatku bisa bertatap muka dan berbincang dengan
orang-orang dari beragam latar belakang dan keadaan. Tapi haruslah kuakui, ada
juga rasa bosannya ketika aku harus berjuang dengan kemacetan atau karena
keringat yang membasahi bajuku akibat cuaca yang menyengat. Belum lagi kalau
aku harus menunggu dan bengong sendirian untuk menunggu angkutan yang akan
mengantarkanku ke tempat di mana aku harus melakukan wawancara. Seperti ketika
aku duduk di halte, yang meski aku tidak sendirian, orang-orang di halte takkan
memberikan obrolan karena mereka memang orang-orang yang tak mengenalku. Di
saat-saat seperti itu, rasa asing dan jenuh acapkali menyerangku tiba-tiba.
Halte bagiku sebuah tempat
yang begitu akrab sekaligus acapkali membuatku merasa asing dan kesepian. Aku
tak suka menghabiskan waktu hanya untuk menunggu. Terlebih bila itu kulakukan
di waktu-waktu malam di saat lalulang dan laju lalu-lintas seringkali membuatku
was-was, bosan, dan membuat kepalaku terserang berat. Meskipun demikian, aku
selalu berusaha untuk menenangkan hati dan pikiranku. Contohnya dengan cara
berusaha mengakrabi lampu-lampu dan sesekali memandangi langit malam sebelum
bus yang kutunggu melintas dan berhenti menawarkan jasa tumpangannya.
Sementara itu, sebuah kota
dalam pengalaman hidupku adalah sebuah keresahan bagi seorang lelaki yang
sensitif dan mudah berubah suasana hatinya. Tapi bukan berarti ia tak memberiku
kebahagiaan. Sebab banyak sekali pelajaran yang diberikannya kepadaku tentang
orang-orang yang tabah dan begitu pandainya menyembunyikan kegundahan dan keresahan
mereka dengan wajah dan penampilan mereka, yang setidak-tidaknya telah
mengajarkanku sesuatu yang lain lagi, bahwa apa yang kurasakan tak mesti
diketahui oleh orang lain. Tentang bagaimana orang-orang memperjuangkan hidup
mereka dalam kemacetan dan keriuhan di saat cuaca mudah memancing keringat
mengucur deras.
Ketika hendak mengunjungi
rumah orang-orang yang akan kuwawancarai, aku lebih suka berjalan kaki saja
sambil sesekali menanyakan alamat orang-orang yang akan kuwawancarai pada
orang-orang yang kupikir tahu dan akan menjawabnya dengan jujur seperti kepada
para pemilik warung yang berada di kawasan tempat tinggal orang-orang yang akan
kuwawancarai. Ada banyak sekali yang kudapatkan ketika aku mewawancarai
orang-orang. Sedikit-banyaknya rasa empatiku terasah pelan-pelan bahwa ada sisi
lain kehidupan yang tetap bisa memberikan kehangatan ketika kita mendekati dan
mengakrabinya dengan perbincangan. Karena itu, aku tak sepenuhnya taat pada
pertanyaan-pertanyaan yang telah disediakan oleh lembar-lembar kuesioner yang
memang agak tebal.
Sesekali aku menghentikan
wawancaraku dengan menyelinginya dengan pura-pura bertanya sesuatu yang tak
berkaitan dengan survey, melainkan sesuatu yang ada kaitannya dengan hal-hal
remeh yang kupikir diminati atau dialami orang yang tengah kuwawancarai.
Sesekali dengan sedikit canda agar tercipta sedikit keakraban dan mengenyahkan
kekakuan atau ketegangan dari sikap-sikap yang terlalu formal.
Dari pengalaman dan
pekerjaanku itu, aku mendapatkan banyak sekali perbandingan tentang apa dan
bagaimana orang-orang memilih dan menjalani hidupnya. Tentang cara mereka
menyikapinya dan menerimanya sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman yang
mereka dapatkan. Sebagiannya hanya melakukan yang sudah dilakukannya tanpa
pernah berpikir untuk beralih pada pekerjaan atau kemungkinan lain yang mungkin
saja bisa mereka lakukan. Menjumpai dan menghadapi orang-orang seperti itu, aku
selalu berusaha sebisa mungkin untuk sanggup menjelmakan diriku sebagai orang
yang ramah dan pura-pura peduli pada mereka. Aku mesti menjadi seseorang yang
seakan-akan sanggup bersikap akrab dalam situasi apa pun dan kapan pun. Sesuatu
yang tentu saja sangat berbeda ketika aku tengah menikmati kesendirianku di
dalam kamar atau di ruang belajar sambil mendengarkan musik-musik yang kusukai.
Demikianlah, di halte di
mana aku sendiri duduk dan menunggu bus yang akan kunaiki dan kumasuki, lalu
duduk kembali, aku selalu saja heran sekaligus kagum bila melihat orang-orang
yang menunggu bus atau pun angkutan yang akan mereka tumpangi setiap hari di
waktu pagi, siang, dan sore. Tidakkah rutinitas yang mereka lakukan itu
membutuhkan ketabahan tersendiri untuk senantiasa mengenyahkan rasa was-was dan
gundah yang menurutku selalu mereka rasakan dan mereka pendam dengan kecakapan
dan keterampilan yang telah mereka latih setiap hari.
Di halte atau pun di
trotoar, di mana orang-orang duduk menunggu, yang sebagiannya berdiri, aku
dapat melihat bagaimana hanya orang-orang yang berpasangan saja yang sesekali
berbicara satu sama lain seperti sepasang remaja atau sepasang suami istri yang
tengah bepergian bersama. Selebihnya hanya orang-orang yang diam, tak menyapa
satu sama lain. Ada yang setia berdiri mengarahkan pandangannya ke arah jalan.
Ada yang sesekali tertunduk. Ada juga yang berbicara pada handphone-nya. Bahkan
keasikan mereka dengan keadaan mereka masing-masing yang membuat mereka tak
menganggap keberadaan si gelandangan telanjang yang tak jauh dari halte di mana
aku dan mereka duduk. Si gelandangan yang kadang tertawa dan tersenyum sendiri,
yang juga bergerak-gerak dan bertingkah dalam keasikannya sendiri.
Aku tak tahu dunia apa
yang ada di benak dan yang tengah dialami si gelandangan, yang sebenarnya
membuatku cemburu dengan kebebasan dan keasikannya itu. Keasikan yang seakan-akan
hanya dirinya saja yang ia anggap ada. Sebentuk keacuhan dan ketakpedulian yang
membuatku merasa aneh sekaligus merasa kagum. Tiba-tiba aku tertarik dengan
perempuan gelandangan yang mengapit gayung dengan ketiaknya dan memegang piring
dan gelas plastik kosong dengan tangan kanannya.
Si perempuan gelandangan
itu berdiri dan bergerak-gerak tak jauh dari halte di mana aku duduk menunggu
bus. Kadang-kadang ia berusaha menyapa orang-orang yang lewat di depannya,
lalulalang yang tentu saja tak menghiraukannya. Aku terus berusaha
menerka-nerka apa gerangan yang ada dalam benak dan pikirannya. Apa makna
gayung, piring, dan gelas plastik dalam kehidupannya. Meski aku tak sanggup
mengetahui jawabannya dan mungkin hanya ia sendiri yang mengerti dan mengalaminya.
Sementara itu, decit ban dan roda-roda yang berputar cepat seolah terus
terlempar ke arahku yang tengah duduk memandangi dan merenungi dirinya yang
membuatku heran dan penasaran kenapa ia seakan-akan tak mempedulikan dirinya
dan terus menggoda orang-orang yang berjalan dan melintas di depannya. Sesekali
ia bergeser dan berpindah beberapa meter dari tempat ia berdiri semula.
Tanpa kusadari, aku merasa
ingin mengetahui lebih dekat sekaligus merasa terhibur dengan apa yang
dilakukannya itu ketika bus yang kutunggu belum juga datang, malah terjadi
kemacetan yang cukup panjang di depanku. Diam-diam aku selalu merenung di mana
pun aku berada, seperti ketika aku duduk di halte demi menunggu bus yang akan
kutumpangi. Mungkin itu semua sudah merupakan pembawaan bathinku yang tiba-tiba
tertarik dengan keadaan dan apa yang dapat dijangkau oleh pandangan kedua
mataku demi mencari sekian pengalih perhatian dari rasa was-was dan
kegundahanku sendiri. Bahwa apa yang kulakukan untuk bersikap intim dan akrab
pada sesuatu yang lain pun tak lepas dari motif dan kepentinganku sendiri untuk
menghindari rasa tak nyaman dan penderitaan-penderitaan kecil yang kualami
setiap kali aku melakukan aktivitas di kota yang setiap hari selalu menyuguhkan
kemacetan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar