Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2015)
Catatan ini tentu saja
hanya menuliskan yang masih tersisa dalam ingatan saja. Ingatan yang tentu juga
telah menjadi kepingan yang berusaha dipungut dari cecerannya yang telah tak
lengkap dan bersifat subjektif menurut penulisnya. Sehingga, tentu saja, banyak
yang tak diceritakan, dan pada saat bersamaan dipilah menurut selera penulisnya
–sang pemilik otobiografi ini.
Berdasarkan riwayat
keluarga, aku lahir menjelang fajar. Suatu ketika, saat aku sendirian menjelang
siang, aku merangkak sampai di tengah jalan di depan rumah. Padahal di tepi
jalan itu ada saluran irigasi yang cukup lebar dan dalam, yang barangkali aku
dapat saja tercebur jika tak diketahui oleh orang kampung yang lewat dan segera
mengangkatku dan menggendongku –demikian menurut cerita beberapa orang di
kampung kepadaku ketika aku telah dewasa.
Aku terlahir dari keluarga
miskin dan rumahku berada sendirian di tepi jalan dan sungai, tidak seperti
orang-orang kampung lainnya. Mayoritas keluarga dari pihak ibuku tidak merestui
pernikahan orang tua kami, dan karenanya aku selalu dikucilkan oleh mereka
dalam hal-hal urusan keluarga kakekku dari pihak ibuku.
Meskipun demikian,
orang-orang di kampungku, terutama kaum perempuan dan ibu-ibu, sangat
menghormati ibuku dan aku. Kakek dari pihak ibuku mirip orang Arab dan
berhidung mancung, dan tipikal fisik kakek dari pihak ibuku itu menurun
(diwariskan) kepada anak-anak pamanku (adik ibuku) yang semuanya berhidung
mancung –hingga sepupu-sepupuku (anak-anak paman, adik ibuku) mirip orang-orang
Iran dan Arab.
Dan memang, semua orang di
kampungku mengatakan bahwa pamanku (adik ibuku) adalah lelaki paling ganteng di
kampungku, hingga banyak perempuan yang suka kepadanya. Hanya saja, Tuhan
menjodohkannya dengan perempuan Betawi.
Nama kakekku dari pihak
ibuku adalah Haji Ali, orang yang pendiam dan sangat tekun bekerja sebagai
petani dan perajin perabot rumah-tangga dari bambu dan pohon-pohon pandan.
Seringkali, bila ibuku menyuruhku untuk meminjam beras kepadanya, ia sedang
menganyam bakul dan tampah dari bilah-bilah pohon-pohon bambu, dan hanya
berhenti bekerja bila waktu sholat saja. Sesekali aku harus menunggunya pulang
dari sawah, dan pada saat itu aku diajak ngobrol oleh nenek tiriku (yang kurang
kusukai). Maklum, nenekku sudah meninggal ketika aku lahir.
Berkat kekayaan kakekku
dari pihak ibuku itulah, pamanku (adik ibuku) bisa menempuh pendidikan di
perguruan tinggi swasta di Jakarta hingga menjadi sarjana strata satu, hingga
ia menjadi satu-satunya orang di kampungku yang kuliah, dan kakekku tentu saja
satu-satunya orang di kampungku yang bisa meng-kuliahkan anaknya di perguruan
tinggi.
Namun demikian, meski
kakekku orang kaya, keluargaku hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan karena
keluargaku tidak mau mengandalkan kekayaan kakekku. Menurutku hal itu terjadi
karena keluarga kami “disisihkan” oleh keluarga besar kami karena mereka tidak
menyetujui pernikahan orang tua kami. Dan karena itu ibuku harus bekerja keras
menjadi petani dan menanam apa saja yang dapat dijual dan menghasilkan uang, seperti
menanam sayur-sayuran, kacang dan rosella.
Ibuku adalah perempuan
yang dicintai oleh orang-orang di kampungku –terutama oleh kaum perempuan. Dan
setelah ia wafat, penghormatan orang-orang kampung itu beralih kepadaku.
Barangkali karena orang-orang di kampung tahu bahwa yang seringkali bersamanya
saat ibuku bekerja di sawah-sawah mereka adalah aku.
Ia adalah tipe perempuan
yang tidak suka mengobrol dan bergosip, dan hanya akan keluar rumah jika ada
keperluan penting saja atau jika hendak membeli kebutuhan bagi dapur dan untuk
mendapatkan bahan pelengkap makanan untuk makan kami. Ia sempat mengajar ngaji
beberapa tahun sebelum akhirnya berhenti karena alasan harus mengoptimalkan
keluarga dan harus istirahat karena telah banyak bekerja.
Di masa-masa sulit,
ibu-ibu atau perempuan-perempuan di kampung akan bertanya kepada ibuku apakah
kami punya beras untuk kebutuhan keluarga, dan karena itulah aku seringkali
membawakan gabah-gabah mereka ke tempat penggilingan –yang berkat kerjaku
membawa gabah mereka dengan menggunakan sepeda itu, kami mendapatkan beberapa
liter beras sebagai upah.
Di masa-masa panen,
ibu-ibu dan kaum perempuan di kampungku juga akan mengajak kami untuk turut
memanen padi di sawah-sawah mereka, dan aku pula yang selalu ikut dengan ibuku.
Dari pekerjaan itulah kami mendapatkan beberapa karung gabah (mendapatkan 1/4
bagian) –sesuai dengan kemampuan kami memanen padi di sawah-sawah mereka,
sebagai bagi hasil dari kerja kami membantu memanen padi mereka.
Demikianlah cara-cara
orang-orang di kampung menolong kami. Itu adalah masa-masa ketika adik-adikku
belum lahir, dan bapakku seringkali tidak ada di rumah, yang karenanya sampai
saat ini, aku adalah orang yang kurang menghormati bapakku. Sehingga, dalam
banyak hal, ketidaksetujuan keluarga besar kami dari pihak ibuku, akhirnya
dapat kumaphumi.
Sementara itu, di
masa-masa senggang dari musim panen padi hingga waktunya menanam padi kembali,
ibuku akan menanam kacang, kacang panjang, kangkung, dan juga rosella, yang
kemudian akan ia jual kepada orang-orang kampung, dan tak jarang-orang di
kampungku dan orang-orang di kampung tetangga datang langsung kepada kami untuk
membeli bahan-bahan pangan yang dihasilkan ibuku itu.
Dari penjualan kacang,
kacang panjang, kangkung, dan rosella (yang diolah menjadi kopi oleh ibuku dan
kami itu)-lah, kami mendapatkan uang untuk membiayai sekolahku dan sekolah
kakak perempuanku.
Jika aku lebih dekat dan
lebih menghormati ibuku, tentu karena bagiku ibuku lah yang dapat kukatakan
sebagai orang yang setia dan punya komitmen, ketimbang bapakku yang
ber-poligami dan sering tidak ada di rumah di masa kanak-kanak dan remajaku.
Selain menanam sejumlah
sayuran dan yang lainnya, ibuku juga berusaha beternak, seperti memelihara ayam
dan unggas, yang ketika besar dapat dijual kepada orang-orang yang lewat yang
hendak ke pasar atau sepulang mereka dari pasar. Ternak-ternak kami itu
terutama sekali akan banyak yang membelinya di hari-hari besar keagamaan, atau
bila orang-orang di kampung hendak melaksanakan pesta pernikahan anak mereka
atau mengkhitankan anak mereka.
Dan aku pula yang
seringkali membantu ibuku untuk menangkap ayam-ayam itu bila mereka kebetulan
sedang dikeluarkan dari kandang saat ada orang yang hendak membelinya tanpa
diduga. Begitulah masa kanak dan masa remajaku yang lebih banyak dihabiskan
dengan ibuku –selain ibuku juga lah orang pertama yang mengajariku membaca dan
mengaji al Qur’an serta mengajariku tatacara sholat.
Di era 80-an itu, selain
ibuku, yang bekerja keras mencari uang untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan
keluarga kami adalah kakak pertamaku (aku adalah anak ketiga dari lima
bersaudara), seperti mengangkut batu-bata ke mobil truck, mencetak batu-bata,
dan yang lainnya. Dapat dikatakan, di masa-masa itu, aku dan kakak pertamaku
(lelaki) berbagi kerja dan tugas sesuai dengan kemampuan kami, di mana aku
sering bertugas membantu ibuku bekerja di sawah atau menyirami tanaman yang ia
tanam di samping rumah kami, di saat kakak pertamaku mencari uang dengan
pekerjaan-pekerjaan lain.
Bertahun-tahun kemudian,
tepatnya di era 90-an, ketika industri mulai banyak yang hadir di sekitar
tempat kami (meski agak jauh), yaitu ketika kakak pertamaku yang hanya
bersekolah sampai di sekolah menengah pertama, diterima menjadi karyawan
(buruh) di sebuah perusahaan kontraktor yang tengah membangun sebuah pabrik
kertas.
Keberuntungan pun terus
berlanjut, kala masa kerja kakakku di perusahaan kontraktor tersebut berakhir
karena pembangunan pabrik itu telah rampung, ia pun lalu diterima sebagai
karyawan pabrik kertas (yang dibangun perusahaan kontraktor itu), siap
beroperasi dan melakukan produksi.
Tak ragu lagi, keadaan itu
telah memperbaiki keadaan ekonomi keluarga kami dan aku pun bisa meneruskan
pendidikanku ke sekolah menengah pertama setelah lulus sekolah dasar, tepatnya
di SMPN 1 Kragilan. Aku termasuk orang yang beruntung dapat melanjutkan di
sekolah menengah pertama negeri, karena dengan demikian, aku dapat melanjutkan
pendidikanku dengan cukup murah, di saat sejumlah kawanku banyak yang harus di
sekolah swasta, semisal di SMP PGRI Kragilan (yang biayanya lebih tinggi).
Sekedar informasi
tambahan, pendidikan sekolah dasarku hanya kutempuh selama lima tahun, karena
aku tak perlu menempuh kelas dua sekolah dasar berdasarkan pertimbangan kepala
sekolah dan para guru. Selama lima tahun menempuh pendidikan sekolah dasar
itulah aku selalu mendapatkan ranking (peringkat pertama) dan lulus di sekolah
dasar (SDN Jeruk Tipis 1 Kragilan) itu dengan peringkat pertama dan mendapatkan
nilai tertinggi dibandingkan murid-murid yang lain.
Di saat aku duduk di kelas
lima sekolah dasar di SDN Jeruk Tipis 1 itu pula, aku sempat menjadi juara
pertama lomba cerdas cermat untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di
tingkat Kecamatan dan juara satu tingkat Kabupaten untuk mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial.
Sementara itu, selama dua
tahun menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama, aku harus berjalan kaki
sejauh lima kilometer lebih menuju sekolahku. Bila ada mobil truck yang lewat
atau melintas di saat aku berangkat atau pulang sekolah, aku pun akan menumpang
mobil tersebut. Sebenarnya saat itu aku ingin sekali memiliki sepeda ketika
melihat banyak teman-temanku di sekolah memiliki sepeda, namun aku tak berani
memintanya kepada ibuku. Bagiku aku sudah sangat beruntung dapat meneruskan
pendidikanku, yang seringkali aku pun telat membayar iuran sekolah, seperti
membayar SPP atau biaya ujian.
Masalahnya adalah ketika
aku harus bersekolah dengan jalan kaki itu harus kujalani di masa-masa musim
hujan. Di masa-masa hujan itulah biasanya ketidakhadiranku di kelas lebih
banyak. Sebagai gantinya aku harus belajar di rumah lebih keras untuk mengejar
materi-materi mata pelajaran mata pelajaran yang tertinggal ketika aku tidak
dapat hadir di kelas. Tentu saja, prestasiku di sekolah menengah pertamaku
tidak sama ketika aku di sekolah dasar. Ketika menempuh pendidikan di sekolah
menengah pertama, paling-paling peringkatku di antara 7 atau 9, kalah dengan
anak-anak kota yang buku-buku mata pelajarannya lebih lengkap.
Tak jarang aku harus
meminjam buku-buku teman-temanku untuk sehari atau dua hari agar dapat kusalin
di buku-buku catatanku, yang dengan demikian aku tak mesti membeli buku-buku
paket yang seringkali diwajibkan sekolah untuk membelinya dari sekolah. Pihak sekolah
pun menjadi maklum ketika kujelaskan keadaan yang sebenarnya ketika aku sering
tidak membeli sejumlah buku paket –kecuali untuk buku matematika dan fisika
yang mau tak mau aku harus membelinya dari uang jajan yang kutabung diam-diam
alias tak kugunakan untuk jajan.
Suatu ketika, di tengah
perjalanan pulang sekolah, tiba-tiba turun hujan lebat, dan aku berteduh di
bawah naungan ranting-ranting, dahan-dahan, dan daun-daun sepohon lebat di tepi
jalan.
Memang, selama separuh
perjalananku sebelumnya, langit tampak mendung, dan kupikir hujan baru akan
turun sesampainya aku di rumah, sebuah praduga dan perkiraan sepihak yang
sungguh keliru dan kusesali. Maklum, kala itu akau ingin segera pulang ke
rumah. Malangnya aku. Hujan itu ternyata berlangsung cukup lama, sekira
setengah jam lebih. Dan saat itulah aku dirundung kesepian dan ketakutan. Tak
ada kendaraan atau orang yang melintas selama hujan lebat itu turun dan
tercurah cukup deras dan riuh. Saat itulah aku serasa tengah berada di dalam
dunia yang sangat sunyi. Barangkali pada saat itu pula hatiku berdo’a.
Manusia ternyata harus
bersabar dan berdo’a ketika kejadian dan peristiwa yang tak menyenangkan
menimpanya. Bahkan, kebahagiaan yang kita alami dan kita rasakan akan lebih
bermakna setelah kita mengalami dan merasakan penderitaan.
Setelah hujan lebat itu
reda, aku menggerakkan dan melangkahkan kedua kakiku dalam keadaan tubuh
menggigil kedinginan, hingga gigi-gigiku sesekali bergemeretak. Untungnya kala
itu, ada mobil truck pengangkut pasir melintas, dan aku dibolehkan duduk
menumpang di kursi sopir dan temannya –dan itulah berkah yang tak kuduga pula.
Sesampainya di rumah, aku
segera melepaskan baju seragam sekolahku dan langsung kuserahkan kepada ibuku,
dan ibuku menjemur baju seragam sekolahku itu di dapur, di sebatang bambu yang
melintang di atas dapur agar cepat kering dengan bantuan suhu dapur bila ibuku
memasak dengan menggunakan kayu bakar di tungku-tungku dapur, karena keesokan
harinya aku harus mengenakan baju seragam sekolahku tersebut. Ketika itu rumah
kami yang sederhana hanya berlantai tanah, tanpa semen atau keramik seperti
saat ini (seperti saat aku menulis catatan ini). Di lantai tanah itulah akan
menggelar tikar pandan bila kami akan tidur.
Sementara itu, kebutuhan
makan kami sehari-hari telah disediakan oleh apa saja yang kami tanam, seperti
sayur-sayuran yang kami tanam, semisal bayam, kangkung, kacang, tomat, cabe
rawit, dan lain sebagainya, di mana ibuku seringkali membuat menu makanan
seperti sambal dari cabe rawit, tomat, garam yang dibeli dari warung, dan kulit
buah rosella berwarna merah yang kami tanam sendiri.
Dalam setiap waktu makan,
ibuku akan selalu membuat atau memasak sayur dari bayam atau kangkung yang
dicampur bawang yang ditanam sendiri dan garam yang dibeli dari warung. Kalau
pun sesekali kami makan lauk, paling-paling ikan asin, tahu, dan tempe yang dibeli
dari pedagang keliling yang menggunakan sepeda.
1 komentar:
menyentuh, cerita seorang aku tapi lebih banyak menceritakan 'aku yang lain', yaitu ibu.
Posting Komentar