oleh Sulaiman Djaya (2001)
Saya sampai di kawasan itu sekitar jam delapan ketika gerimis kecil masih merintik
setelah hujan selama saya berada di separuh perjalanan saat masih duduk dalam
bus yang saya tumpangi.
Untung saja hujan itu hanya berlangsung selama setengah jam ketika mereka
mulai mengguyur gedung-gedung bertingkat dan memburamkan kaca-kacanya yang di
musim kemarau merupakan salah-satu penyebab timbulnya cuaca panas, menyirami
rumah-rumah penduduk, dan menggenangi jalan raya yang dilalui bus yang saya tumpangi
pada pukul tujuh lebih beberapa menit, hingga ketika saya turun dari bus itu,
kujadikan tas berisi lembar-lembar kuesioner sebagai payung.
Setelah saya selesai mewawancarai kawasan yang normal dan relatif tidak
kumuh sore itu, saya pun menyusuri gang-gang yang apak dan terasa asam sekali
selepas hujan demi menuju rumah seorang responden yang hendak saya wawancarai
sesuai dengan angka acak yang telah terpilih berdasarkan batas angka yang
tersedia.
Bau-bau yang menyengat hidung di kawasan itu berusaha saya tahan sepanjang
kami berjalan kaki menyusuri gang-gangnya yang sempit. Salah seorang keponakan
Pak Lurah menjadi juru antar agar saya tidak tersesat di lingkungan yang kumuh
dan padat itu.
Sesampainya di tempat yang kami tuju, saya meminta keponakan Pak Lurah itu
untuk meninggalkan kami, dan tentu saja saya berterimakasih karena telah mau membantu
saya sebagai juru antar.
Ruang yang sempit itu tak bisa saya katakan sebagai rumah dengan
bertumpuknya perlengkapan rumah tangga mereka yang saling tumpah tindih satu
sama lain, hingga saya harus bersandar di sudut pinggir pintunya ketika
melangsungkan wawancara dengan seorang bapak yang berumur empat puluhan tahun
yang ditemani seorang putrinya yang berusia belasan tahun itu.
Ketika saya bertanya tentang istrinya, si bapak yang saya wawancarai itu
menjawab bahwa si ibunya gadis belia yang masih kelas dua sekolah dasar itu
tengah bekerja sebagai tukang cuci, dan ia sendiri seorang kuli bangunan yang
sedang tak mendapatkan pekerjaannya.
Tanpa terasa baju saya pun basah sepanjang kami melakukan wawancara, meski
hari itu selepas hujan. Mungkin cuaca gerah yang saya rasakan saat itu karena
atap seng rumah mungil yang hanya dua ruang tersebut memindahkan hawa panasnya
ke dalam ruangan selama terjadi hujan, yang dampak perubahannya membuat tubuh
malah berkeringat selama kami melangsungkan wawancara.
Sementara itu, tentang si gadis belia, sebutlah namanya Santi, bocah
perempuan yang kata si bapaknya kadang-kadang juga membantu ibunya bekerja
sebagai tukang cuci baju di kawasan perumahan bila tidak bertepatan dengan
jadwal belajarnya di sekolah dasar, hanya mendengarkan dan menunggu dengan tak
memperlihatkan kegusaran.
Santi, si gadis belia itu, memiliki rambut hitam panjang dan sepasang mata
yang cukup terang dan bersinar, meski ia tinggal di sebuah rumah yang hanya
memiliki dua ruang di kawasan kumuh kota Jakarta. Seorang gadis belia yang
tiba-tiba saja mengajari saya tentang ketabahan dari sebuah kebetulan yang tak
ia kehendaki dalam hidup.
Agak jauh beberapa meter, di sebuah sudut tikungan dari tempat kami
melangsungkan wawancara dan perbincangan, beberapa lelaki tengah asik bergoyang
dan mendengarkan selagu dangdut, dan menurut si bapak yang sedang saya wawancara,
beberapa lelaki yang tengah asik menghibur diri mereka itu juga bekerja sebagai
kuli bangunan.
Melihat keriangan mereka tersebut, saya jadi berpikir bahwa dalam kehidupan
keseharian mereka yang terbatas pun ternyata mereka masih sempat bergembira,
meski mungkin saja sekedar untuk melupakan kesulitan-kesulitan hidup yang
mereka alami di tengah harga-harga bahan pangan yang tak pernah turun seiring
dengan bergantinya rutinitas suksesi alias pemilihan umum. Maka wajar saja, si
bapak yang saya wawancarai pun memiliki pendapat yang sedikit negatif dan
pesimis sejauh menyangkut politik, bahkan merasa bosan dan tak percaya dengan
rutinitas pemilihan umum.
Di area di mana saya bekerja sebagai surveyor itu, kemiskinan
memperkenalkan dirinya sebagai bau-bau asam dan apak di antara gang-gang sempit
dan padat. Area yang merupakan campuran sekian darah hidrogen, asam
karbondioksida, dan bangkai-bangkai cuaca yang telah bersatu dengan lumpur dan
sampah-sampah.
Ketika berada dalam bus yang akan mengantarkan saya pulang itu, benak saya
terus membayangkan rumah mereka yang beratap seng dan hanya memiliki dua
ruangan. “Sebuah rumah yang tabah”, gumam saya dalam hati. Sebuah rumah yang
saya bayangkan pastilah akan selalu berjuang keras melawan angin dan guyuran
hujan lebat di saat musim hujan tengah deras-derasnya mengguyur kota Jakarta
yang sudut-sudutnya merupakan campuran kemiskinan dan bangkai-bangkai
kapitalisme yang menghasilkan asam-asam kimia bagi nafas-nafas para
penghuninya, terutama bagi penduduk seperti Santi dan keluarganya itu.
Rumah itu, saya kembali membathin, pastilah juga akan sangat membuat gerah
penghuninya di musim-musim kemarau. Sementara itu, Santi si perempuan belia
itu, adalah seorang warga negara yang takkan merasakan pendidikan yang
membutuhkan biaya yang sangat mahal di negeri ini, kecuali jika keluarganya
memenangkan undian senilai ratusan juta rupiah.
“Di sebuah negara di mana pendidikan adalah institusi bagi anak-anak para
koruptor dan pejabat, Santi adalah seseorang yang salah menempati sebuah
lingkungan dan ruang di mana ia hidup, dan tentu saja ia sebenarnya tidak mau
hidup seperti keadaan yang dialaminya itu”.
Memang, pengalaman saya selama menjadi seorang surveyor lapangan, saya
menjumpai kenyataan yang berbeda satu sama lain, bahkan kadang berlainan secara
ekstrem. Adakalanya saya mesti mewawancarai seorang responden yang memiliki
rumah yang sangat mewah dan memelihara anjing galak, yang sebagian besar
orang-orang seperti itu cenderung curiga dan tidak ramah.
Di kesempatan-kesempatan lain, saya mesti menjumpai dan bersentuhan dengan
kesahajaan, bahkan kepedihan dan kekurangan yang membuat saya merasa ditegur
dan diberikan perbandingan untuk kehidupan dan keseharian saya sendiri.
Menjumpai rumah-rumah dan orang-orang yang juga menjadi bahan renungannya Bunda
Theresa yang berjuang bersama orang-orang miskin di sudut-sudut kumuh India itu.
Pekerjaan saya menjadi seorang surveyor lapangan selama empat tahun lebih telah
memberi kesempatan kepada saya berjumpa dengan orang-orang yang tabah dan tak
berdaya, orang-orang yang berada dalam kemiskinan mental dan material, di satu
sisi, dan orang-orang yang membangun pagar-pagar rumah mereka demikian tinggi
seakan-akan pagar itu merupakan sebuah benteng-benteng perlindungan untuk menghindari
serangan-serangan musuh yang tak terduga.
Pagar-pagar, yang karena rasa sinis saya,
saya pahami sebagai cermin ketakutan dan kekhawatiran mereka sendiri,
terbukti dengan kegandrungan mereka memelihara anjing-anjing galak yang
bertugas menjaga pintu-pintu pagar rumah mereka siang dan malam.
“Di sisi lain, kemiskinan seringkali berwajah kepolosan dan keluguan dari
orang-orang yang bersahaja. Ia merupakan perpaduan aneh antara ketakberdayaan
dan situasi sosial di mana ia berada”. Sesuatu yang selalu mengingatkan saya
pada novel Crime and Punishment-nya Dostoyevsky yang saya kagumi
itu, meski mungkin Dostoyevsky menggambarkan cerita novelnya itu dengan agak
ekstrem.
Dalam hal ini, dalam kadar tertentu, Santi tak ubahnya tokoh Sonia
Marmeladov yang terjebak oleh situasi yang tak ia kehendaki, yang diceritakan
dalam novel Crime and Punishment-nya
Dostoyevsky itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar