Dua Mata Senja



Ia arahkan dua matanya menembus lembab kaca jendela demi memandangi dinding-dinding langit dan cakrawala selepas dzuhur di bulan Juli setelah reda hujan. Rumput-rumput dan jalan-jalan basah yang ia lihat seakan dunia-dunia yang tengah terbaring dalam sapuan gelombang-gelombang angin yang mengirimkan dingin pada tubuh dan wajahnya melalui pintu yang memang sengaja ia buka setelah ia tekan saklar selampu ruangan demi mengusir kegelapan yang menutup wajah-wajah langit siang hari itu.

Direnunginya sepasukan burung-burung kuntul melintasi keheningan langit sebelum ia duduk di kursinya, burung-burung kuntul yang selalu saja mengingatkannya pada masa kanak-kanak, ketika ia kembali membuka dan menatapi lembar-lembar bergaris horisontal di mana ia akan kembali menulis kisah otobiografisnya di buku catatan harian kesayangan miliknya bersama alunan-alunan jazz sentimentil yang ia dengarkan.

Sekelompok burung kuntul yang tengah menempuh perjalanan migrasi mereka itu ia andaikan sebagai perubahan hidup dan pengulangan itu sendiri, kesementaraan dan usia yang menghitungi dirinya sendiri di saat waktu sebenarnya hanya bisa diam dan tak beranjak ke mana pun, di mana gerak dan kebisuan saling berpadu dan melengkapi satu sama lain seperti sepasang kekasih yang tengah dirundung kelesuan dan rasa cemburu yang membuat mereka kehilangan gairah dan spontanitas pertama mereka.

Tanpa ia kehendaki, keindahan menjelmakan dirinya sebagai kebisuan dan hening cuaca yang membasahi pepohonan dan tiang-tiang lampu sepanjang jalan. Waktu pun lelap bersama mimpi-mimpinya di antara buih-buih dan kabut yang ia pandangi sembari bersandar pada punggung kursi di mana ia duduk dalam kesendirian, terasa sendu dan agak murung, yang membuatnya membayangkan diri sebagai seorang lelaki yang tengah merasakan cinta menggebu.

Sampai hari di mana ia kembali terjaga dalam sepi itu, sudah empat hari hujan datang berturut-turut, sampai-sampai semua yang diciuminya dengan lembut ataupun tergesa seakan jadi beku dan lelap dalam pandangan kedua matanya yang agak murung, barangkali letih, meski dedaunan kadang-kadang bergerak pelan di saat angin menghembus, seolah-olah ada tangan-tangan gaib para malaikat yang tengah mencandai mereka.

Saat itu, dalam kebosanan yang membuat rambutnya tampak kusut dan lembab, ia jadi teringat peristiwa beberapa tahun silam, ketika ia mengajak seorang mahasiswi cantik berparas lembut dan bermata sendu dengan rasa percaya diri sekaligus agak sedikit tolol dan kikuk seperti seekor binatang yang terserang demam mendadak.

Rasa-rasanya ia sendiri tak percaya bahwa ia telah melakukannya. Ia ingin membuat si perempuan yang telah menjadiknnya seorang lelaki romantis seketika itu merasa bahagia ketika ia datang ke Jakarta sendirian untuk menemuinya. Spontanitas yang mungkin demi menutupi kecanggungannya sendiri karena pesona yang terpancar dari kelembutan wajah perempuan yang jatuh cinta kepadanya itu, dan keteduhan pandangan matanya yang redup sekaligus tampak menyala bagi dua matanya.

Cara berbicara dan menatap si perempuan yang jatuh cinta kepadanya itu dengan agak nakal dan sendu membuatnya menjadi seorang lelaki yang seketika menemukan apa yang mesti ia cari dalam hidup: gairah kehangatan dari getaran-getaran tubuh dan jiwa. Ia pun berusaha membayangkan gugusan rambut si perempuan yang bersembunyi dibalik kerudung hijau yang dikenakannya saat menjemputnya itu.

Di pojok Bintaro Plaza itu ia menghabiskan waktu bersama si perempuan belianya itu selama dua jam lebih. Waktu yang baginya saat itu, entah kenapa, terasa singkat hingga terdengar kumandang adzan dari arah yang cukup jauh. Si perempuan belia yang jatuh cinta kepadanya itulah yang memutuskan untuk menyudahi perbincangan dan canda mereka, sebab ia merasa letih setelah menempuh perjalanan Bandung-Jakarta.

Sebelum mereka berdua memutuskan pergi ke Bintaro Plaza itu, mereka sempat makan bersama di sebuah rumah makan yang berdekatan dengan sebuah kampus ternama. Di malam setelah mereka berbincang bersama di sudut Bintaro Plaza itu, ia mengantarkan si perempuan tersayangnya itu ke kosan temannya, seorang mahasiswi yang kebetulan satu jurusan. Mahasiswi itu adalah kakak tingkatnya yang juga telah berteman dengan si perempuan belia yang jatuh cinta padanya.

Tetapi waktu jualah yang pada akhirnya mengambil alih kenangan dan ingatannya tersebut. Jika pun ia menuliskannya, tentu tak lebih sebuah upaya untuk melakukan pengobatan pada diri sendiri. Sebab yang kini ia cintai tak lain kenangan dan ingatan itu sendiri. Kenangan dan ingatan yang juga telah mengajarkannya untuk menulis dan melupakan, atau lebih tepatnya mengajarkannya untuk memaafkan masa silam.

Tetapi, bagaimana pun, perlau diketahui oleh para pembaca, ingatan-ingatannya itu selalu saja mudah tersulut dan terbangkitkan dari dalam benaknya oleh suara-suara dari puisi-puisi yang ia baca, ketika beberapa puisi yang ia baca justru mengingatkannya pada pengalaman dan kenangannya sendiri, meski tentu saja puisi-puisi tersebut tak mesti persis menyuarakan sesuatu yang sama dengan apa yang ia alami dan yang ia ingat. Semua itu terjadi begitu saja, tanpa kesengajaan, ketika ia buka lembar-lembar koleksi buku-buku puisi kesukaannya.

Ada kesenangan tersendiri ketika ia kembali mereka-reka pengalaman asmaranya dengan si perempuan belia yang jatuh cinta kepdanya itu –yang begitu intim dan akrab. Pengalaman-pengalaman yang memberinya kebahagiaan seorang mahasiswa yang kembali memiliki hasrat pada seorang perempuan setelah masa-masa sekolah menengah.

Di hari ketika si perempuan itu menelponnya untuk memberitahu kedatangannya ke Jakarta kepadanya, ia begitu merasa bahagia. Dan keesokan harinya kedatangannya di Jakarta sesuai dengan apa yang dikatakannya kepadanya, ia datang ke Jakarta selepas dzuhur. Ia menjemputnya di stasiun kereta Gambir. Hanya beberapa menit saja ia langsung melihatnya berjalan ke arahnya setelah turun dari kereta eksekutif itu. Ia langsung tersenyum lirih ketika berada persis di hadapannya, dan ia segera saja mengajaknya berjalan ke sebuah warung serba ada di mana mereka membeli minuman sebelum menaiki bus yang akan membawa mereka ke suatu tempat yang mereka tuju.

Semenjak pertemuannya dengan si perempuan itulah ia mulai menyukai novel-novel sentimentil dan puisi-puisi romantis. Bahkan sejak saat itu ia mulai serius belajar menulis puisi-puisi cintanya sendiri setelah membaca puisi-puisi yang ia sukai. Barangkali kenangan dan ingatannya itulah yang menjadikannya sebagai lelaki yang kemudian gandrung menulis puisi.

Tak pernah terpikir olehnya di waktu-waktu sebelumnya bahwa pengalaman-pengalaman itulah yang ternyata mengajarkannya untuk menulis puisi dengan setia di kemudian hari. Dengan kata lain, ia mesti menjadi pecundang sebelum ia mampu mencintai dan menyukai perempuan lain selain si perempuan belia yang kini hanya jadi sekedar objek angan-angan penghiburan diri itu. Di selembar bergaris-garis horisontal buku catatan harian kesayangannya itu ia tulis sebuah puisi diaris dan otobiografis –semacam roman picisan yang ia tulis dalam bentuk puisi:

“Aku tahu bagaimana rasanya

jatuh cinta. Dan bagaimana ia mengkhianatiku
dengan selembut keindahan


yang membingungkan.

Aku tahu seseorang harus belajar merasa kecewa
sebelum ia menulis lagu

dan sajak cinta.

Di saat-saat kubosan dan ingin tidur
aku cuma berharap masih bisa


mengenang bagaimana derai rambutmu

seakan malam yang dilanda gundah
pada kertas-kertas yang berserakan.


Angin yang terus mendesir pelan

membuatku kembali teringat burung-burung liar
yang berlesatan bersama setiap kata


yang kau ucapkan. Sejak saat itulah

aku memahami keindahan yang kukenal
seumpama sepasukan penjahat


yang riang bermain-main dengan kesedihan

seorang lelaki. Sejak saat itu,
aku ingin terus terbaring saja


dan bermimpi di lelap sajak.”


Sulaiman Djaya (2010). Ilustrasi: Film Bright Star (film tentang John Keats) 


Penari Izu


oleh Yasunari Kawabata (diterjemahkan dari Bahasa Jepang oleh Ajip Rosidi)

1
Ketika kukira jalan berliku-liku mendaki yang kutempuh itu mendekati puncak Amagi, hujan pun turun renyai, membuat hutan sugi nampak putih meruap naik dari kaki gunung mengejarku dari belakang.

Usiaku dua puluh. Aku mengenakan topi murid Sekolah Menengah Atas dan memakai hakama di bawah kimono berwarna dasar biru tua dengan corak putih sambil menyandang tas sekolah pada bahu. Hari itu adalah hari yang keempat aku berjalan seorang diri di daerah Izu. Malam pertama aku menginap di pemandian air panas Shuzenji, dua malam berikutnya di pemandian air panas Yugashima dan sekarang menempuh jalan naik menuju ke Amagi dengan memakai geta yang tinggi. Sambil menikmati pemandangan musim gugur di pegunungan dan lembah serta jurang yang dalam, aku berjalan bergegas, dengan hati berdebar karena adanya semacam harapan. Sementara itu butir-butir hujan yang besar-besar mulai berjatuhan menimpa tubuhku. Aku berlari-lari mendaki jalan yang curam dan berliku-liku. Dengan susah payah akhirnya aku tiba di sebuah warung teh yang terletak di sebelah utara puncak Amagi. Aku merasa lega. Namun seketika itu juga aku tertegun di depan pintu masuk warung itu, karena harapanku ternyata terwujud. Betul-betul terwujud. Di sana kudapati serombongan anak wayang yang sedang beristirahat.

Seorang penari wanita yang melihatku tertegun segera bangkit dan menarik zabuton yang dipakainya, kemudian membalikkannya dan menaruhnya di sampingku.

“Oooo,” kataku dan aku duduk di atas zabuton itu. Setelah berlari-lari menempuh jalan yang mendaki aku masih terengah-engah dan begitu terperanjat sehingga ucapan terima kasihku tersekat di kerongkongan.

Karena tepat benar berhadapan dengan penari itu, aku gugup mengambil rokok dari tamoto kimonoku. Penari itu segera mengambil tempat abu rokok dari depan seorang wanita kawannya, lalu meletakkannya di dekatku. Aku diam saja.

Penari itu kukira berumur tujuh belas tahun. Rambutnya diandam besar-besar secara model lama yang aneh bentuknya, sehingga aku pun tidak mengenal nama andaman itu. Andaman rambut itu membuat wajahnya yang berbentuk telur yang anggun itu nampak kecil tetapi menimbulkan keseimbangan yang indah. Ia nampak bagaikan lukisan gadis dalam roman sejarah yang rambutnya dengan sengaja digambar lebih besar. Kawan-kawan anggota rombongannya terdiri atas seorang perempuan yang berumur empat puluhan, dua orang perempuan muda, dan seorang laki-laki yang kira-kira berusia dua puluh lima atau dua puluh enam yang memakai hanten yang bertuliskan nama rumah penginapan di tempat pemandian air panas Nagaoka.

Sebelumnya aku pernah melihat rombongan penari ini dua kali. Yang pertama di dekat jembatan Yugawa, ketika aku sedang menuju ke Yugashima dan rombongan itu sedang menuju ke Shuzenji. Waktu itu dalam rombongan tersebut ada tiga orang wanita muda, dan penari itu menjinjing taiko. Aku berulang kali menoleh untuk memandang mereka dan pada waktu itu aku merasa sayu, perasaan yang biasa dialami oleh orang yang sedang dalam perjalanan jauh. Pada malam kedua aku di penginapan Yugashima, mereka datang di sana dan menyelenggarakan pertunjukan. Sambil duduk di atas tangga, aku asyik menontonnya menari di atas lantai papan dekat pintu masuk depan. Pada hari sebelumnya mereka menginap di Shuzenji dan malam itu mereka menginap di Yugashima, kukira keesokan harinya mereka pasti menuju ke arah Selatan ke tempat pemandian air panas Yugano dengan melalui puncak Amagi. Aku akan bisa mengejar mereka di tengah jalan gunung yang berliku-liku di sekitar Amagi. Dengan harapan seperti itu aku berjalan bergegas, tapi ternyata aku bertemu dengan mereka di warung teh, ketika berteduh dari hujan. Karena itulah aku gugup.

Tak lama kemudian wanita tua pelayan warung itu memimpinku ke bilik yang lain. Rupanya bilik itu jarang dipakai, serta terbuka ke berbagai arah. Ketika aku melihat ke arah bawah, maka nampaklah jurang indah yang dalam sekali, sehingga dasarnya tak dapat kucapai oleh pandanganku. Bulu romaku berdiri dan aku merasa gamang sedang gigiku gemeletuk. Kepada pelayan tua yang tadi datang membawa teh, aku berkata, dingin.

“Oh ya, Tuan basah kuyup. Silakan ke mari dan berdiang sebentar, keringkan pakaian tuan,” sambil berkata begitu perempuan itu mengajakku ke bilik duduknya, hampir menuntunku.

Di kamar itu ada perapian dan ketika kubuka shoji, menyergaplah udara panas dari api. Aku agak ragu-ragu berdiri di ambang. Di dekat perapian itu duduk bersila seorang tua yang badannya agak tembam seperti orang mati tenggelam. Dan dia mengarahkan matanya yang busuk menguning sampai pada hitam matanya dengan malas kepadaku. Di sekitarnya bertumpuk-tumpuk surat-surat tua dan kantung kertas dan di tengah-tengah tumpukan kertas itu ia nampak duduk terbenam. Aku tertegun melihat makhluk gunung ganjil yang duduk seperti tak bernyawa itu.

“Saya agak malu Tuan melihat tubuhnya yang memalukan, tapi saya harap Tuan jangan cemas karena ia adalah suami saya yang sudah tua. Mungkin tubuhnya menjijikan orang, tapi karena ia tak bisa bergerak sama sekali saya harap Tuan bisa memaafkannya.”

Begitulah dia minta maaf, lalu dia berbicara tentang suaminya itu, bahwa ia sudah lama lumpuh sehingga seluruh tubuhnya sudah kaku. Tumpukan kertas itu adalah surat-surat dari seluruh negeri yang memberi keterangan tentang penyakit lumpuh tersebut dan kantung-kantung kertas itu adalah bekas wadah obat. Si kakek tua itu kalau mendengar dari pelancong yang lewat di sana, atau melihat iklan dalam surat kabar tentang obat penyakitnya, selalu ia meminta keterangan tentang cara pengobatannya dan selalu membeli obat itu. Dan segala surat dan kantung obat itu tak satu pun dibuang, melainkan ditaruhnya di sekitarnya dan ia terus memandang tumpukan kertas tersebut. Dalam waktu yang sekian lama, akhirnya tumpukan kertas itu membentuk sebuah gunung.

Aku tidak tahu bagaimana menjawab si perempuan tua, melainkan hanya menunduk saja di dekat perapian. Terasa warung teh itu bergegar karena ada mobil yang lewat di jalan. Sekarang musim rontok, tapi udara sudah dingin dan mungkin tak lama lagi puncak ini akan ditutupi salju, tapi aku agak heran mengapa si kakek tidak turun dari sini. Dari pakaianku membubung uap dan nyala api itu kuat sekali sehingga kepalaku terasa pusing. Perempuan itu pergi ke depan dan berbicara dengan perempuan dalam rombongan anak wayang itu.

“Oh, begitu ya. Jadi sudah sebesar ini anak kecil yang dahulu kaubawa ya. Dia nampak baik dan kau beruntung sekali. Dia menjadi secantik ini. Anak gadis memang cepat menjadi besar.”

Kira-kira satu jam kemudian, terdengarlah suara-suara yang menandakan bahwa rombongan itu akan berangkat. Aku pun sebenarnya tak dapat berleha-leha tetapi merasa kikuk dan cemas sehingga tidak berani berdiri untuk pergi. Walaupun mereka sudah biasa berjalan, tapi mereka perempuan. Kalaupun aku ketinggalan satu atau setengah mil, aku akan dapat mengejar mereka dengan lari satu lintasan. Sambil berpikir begitu aku duduk di depan perapian dengan perasaan gelisah. Tetapi setelah rombongan itu berangkat lamunanku melonjak lebih bebas. Aku bertanya kepada pelayan tua yang melepas rombongan itu,

“Mereka menginap di mana malam ini?”

“Makhluk seperti itu tak pernah diketahui dimana akan menginap. Kalau ada peminat dimana saja mereka mau bermalam. Saya kira mereka tak punya rencana akan menginap dimana malam ini.”

Perkataan pelayan tua yang sangat menghina mereka itu, menyinggung perasaanku, sehingga aku sampai berpikir untuk mengundang mereka menginap di kamarku saja.

Hujan mulai tipis mereda, dan puncak-puncak gunung menjadi jelas kelihatan. Walaupun berulang-ulang ditahan oleh pelayan tua itu agar menunggu barang sepuluh menit lagi, kerena sepuluh menit lagi alam akan terang kembali, namun aku tak bisa duduk tenteram.

“Kakek tua, jagalah kesehatan karena udara mulai dingin!” sambil berkata demikian dari dalam hati yang tulus aku pun berdiri. Kakek itu mengangguk sedikit sambil mengejapkan matanya yang kuning seakan-akan pelupuk matanya itu berat sekali.

“Tuan! Tuan!” sambil berteriak demikian pelayan tua itu mengejarku. “Ini terlalu banyak. Maaf…”

Dia mengambil tasku, dan memeluknya seakan tak mau melepaskannya. Dan walau berkali-kali kutolak, ia tetap mau mengantarkan aku beberapa jauhnya. Maka sejauh kurang lebih seratus meter ia terus berlari-lari anjing mengikutiku sambil mengulangi kalimat-kalimatnya yang tadi.

“Ini terlalu banyak. Maaf…Tak saya layani Tuan secara layak. Saya akan selalu mengingat wajah Tuan. Kalau lain kali Tuan singgah, saya akan membalas kebaikan Tuan. Jangan lupa singgah kalau lain kali Tuan lewat di daerah ini. Saya tidak akan melupakan Tuan.”

Karena aku hanya memberinya sekeping logam lima puluh sen, aku merasa terharu sehingga terasa air mataku tergenang. Tetapi aku ingin mengejar rombongan penari itu, maka wanita tua yang terhuyung-huyung mengikutiku itu, terasa agak mengganggu. Ia terus mengikutiku sampai terowongan di puncak.

“Terima kasih, silahkan segera kembali, karena si kakek sendiri saja menunggu!” kataku kepada pelayan tua itu. Dan akhirnya dia menyerahkan tas itu kepadaku.

Begitu masuk terowongan yang gelap, tetesan-tetesan air yang dingin jatuh. Dan di depan, agak jauh, nampak terang mulut terowongan yang menuju ke arah Izu Selatan.

2
Dari tempat keluar terowongan itu terjulurlah jalan yang sebelah sisinya berpagar yang dicat putih, menurun bagaikan ular. Agak jauh di bawah, bagaikan dalam sebuah pemandangan buatan, nampaklah rombongan penari itu. Sebelum aku berjalan kira-kira enam ratus meter, mereka sudah terkejar. Tapi karena aku tak dapat begitu saja memperlambat jalanku, maka aku mendahului mereka seakan-akan tidak mempedulikannya. Laki-laki yang berjalan sekitar lima puluh langkah di depanku segera setelah melihatku, berhenti.

“Sungguh cepat Tuan berjalan. Untung juga cuaca sudah cerah kembali.”

Aku merasa lega dan mulai berjalan bersama dengan laki-laki itu. Ia tak henti-hentinya bertanya kepadaku tentang berbagai macam hal. Melihat kami bercakap-cakap, perempuan-perempuan dari rombongan itu berderap berlari mengejar kami.

Laki-laki itu menggendong sebuah yanagigori yang besar.

Perempuan yang berumur empat puluhan itu mendekap seekor anak anjing dan gadis yang paling tua menjinjing bungkusan dari kain dan gadis yang tengah membawa yanagigori juga. Mereka masing-masing membawa barang bawaan yang cukup besar. Gadis penari itu menggendong taiko dan penyangganya. Perempuan yang berumur empat puluhan itu juga mengajakku bicara sekali-sekali.

“Dia siswa SMA,” bisik anak gadis yang paling tua itu kepada si penari. Ketika aku menoleh kepadanya, ia berkata sambil tersenyum.

“Betul, ‘kan? Saya tahu hal itu. Ada juga siswa SMA yang datang ke pulau kami.”

Rombongan itu orang Habu, pelabuhan di pulau Oshima. Mereka berkata bahwa sejak meninggalkan pulau itu pada musim semi mereka terus mengembara, tapi sekarang udara sudah mulai dingin dan mereka tidak siap untuk menghadapi musim dingin, jadi setelah tinggal kira-kira sepuluh hari di Shimoda, mereka akan pulang ke kampungnya dari tempat pemandian air panas Ito. Ketika mendengar nama pulau Oshima, perasaanku menjadi tergerak. Aku memandangi lagi ambut penari itu yang indah. Aku menanyakan bermacam-macam hal tentang pulau Oshima.

“Banyak mahasiswa yang datang untuk berenang di Oshima, bukan?” kata penari itu kepada kawannya.

“Mungkin pada musim panas, ya,” kataku sambil menoleh kepada si penari. Si penari nampak gugup dan rupanya ia menyahut dalam suara kecil,

“Pada musim dingin juga….”

“Musim dingin juga?”

Si penari tersenyum memandang kepada kawannya.

“Bisa berenang di musim dingin juga?” tanyaku sekali lagi. Si penari mukanya merah padam dan mengangguk sedikit dengan wajah sungguh-sungguh.

“Tolol anak ini!” kata perempuan empat puluhan itu sambil tertawa.

Kami menempuh perjalanan kira-kira dua belas kilometer di jalan menurun sampai di Yugano sepanjang lembah sungai Kawazu. Setelah melewati puncak, warna gunung dan langit pun nampak seperti di daerah Selatan. Aku dan si laki-laki terus berbicara sehingga kami menjadi akrab. Melalui dusun-dusun yang kecil seperti Onigori dan Nashimoto, kami tiba di tempat dari mana nampak atap-atap jerami rumah Yugano di kaki gunung, lalu aku memberanikan diri berkata kepada si laki-laki bahwa aku akan menyertai mereka sampai Shimoda. Ia sangat gembira.

Ketika sampai di rumah penginapan yang sederhana di Yugano, perempuan empat puluhan itu berwajah mau berkata bahwa kami berpisah, tapi si laki-laki berbaik hati berkata,

“Tuan ini mau menyertai kita.”

“Ooo begitu. Dalam perjalanan lebih baik berkawan. Begitu juga dalam hidup, saling tolong-menolong. Mungkin Tuan akan dapat menghilangkan rasa jemu kalau bersama kami, walaupun kami hina. Silahkan naik dan beristirahat sebentar,” sahutnya dengan acuh tak acuh. Gadis-gadis itu serentak melihat kepadaku dan membisu dengan wajah tak peduli, tapi kemudian mereka jadi agak kemalu-maluan memandangku.

Kami sama-sama naik ke bilik tingkat dua dan meletakkan barang-barang. Tatami dan fusuma sudah usang dan kotor. Si penari membawa teh dari bawah. Ketika duduk di depanku wajahnya merah padam dan tangannya gemetar sehingga cangkir teh hampir jatuh dari alasnya, supaya jangan jatuh dia mau meletakkannya di atas tatami, tetapi tertumpah juga. Ia begitu kemalu-maluan sehingga aku sendiri merasa heran.

“Oh, sungguh menjengkelkan! Anak kecil ini rupanya sudah mulai tahu cinta. Bagaimana ini…?” demikian kata perempuan empat puluhan itu takjub sambil mengernyitkan kening, lalu dilemparkannya sehelai handuk. Handuk itu dipungut oleh si penari dan dipelnya tatami dengan perasaan kikuk.

Mendengar perkataannya yang sama sekali di luar dugaan aku jadi merenungi diriku sendiri. Harapanku untuk mengundang mereka dalam bilikku, seperti pernah timbul dalam hatiku ketika mendengar mereka diejek oleh pelayan tua itu, menjadi lenyap.

Sementara itu tiba-tiba perempuan empat puluhan berkata, “Bagus betul pakaian Tuan,” dan ia menatap padaku. “Corak kimono Tuan ini sama benar dengan pakaian anakku Tamizi. Betul ya, coraknya sama, ya?” demikian ia berkali-kali mendesak gadis di sampingnya supaya menyetujui perkataannya, lalu berkata kepadaku pula:

“Di kampung saya ada anakku yang masih bersekolah. Sekarang saya ingat kepadanya, karena corak kimono Tuan kebetulan sama dengan corak kimononya. Sekarang ini mahal sekali corak tenunan begitu. Jadi sangat susah, ya.”

“Sekolahnya di mana?”

“Sekarang dia duduk di kelas lima SD.”

“Oh, di kelas lima…”

“Ia bersekolah di Kofu. Walaupun sudah lama tinggal di Oshima, sebetulnya kami berasal dari Kofu di Kai.”

Sesudah beristirahat kira-kira satu jam, si laki-laki membawaku ke rumah penginapan yang lain. Tadinya aku mengira aku pun akan menginap di rumah penginapan yang sederhana itu bersama dengan mereka. Dari jalan besar kami menyimpang ke lorong berkerikil dan melalui tangga batu lalu berjalan menurun kira-kira seratus meter dan menyeberangi jembatan di samping tempat pemandian umum yang terletak di sebelah anak sungai. Di seberang jembatan itulah halaman penginapan.

Waktu aku mandi berendam dalam pemandian di dalam penginapan itu, datanglah si laki-laki. Dia bercerita bahwa umurnya dua puluh empat dan isterinya mengalami dua kali kematian anak karena keguguran dan karena lahir terlalu dini. Tadinya aku mengira ia orang tempat pemandian air panas Nagaoka, karena dia mengenakan pakaian yang memakai cap tempat itu. Dan karena wajahnya dan caranya bicara cukup terpelajar maka kukira ia suka tertarik kepada apa saja atau jatuh cinta kepada salah seorang gadis anggota rombongan itu, sehingga ia menggabungkan diri sambil membawakan barang-barangnya.

Segera sesudah mandi, aku makan siang. Aku berangkat dari Yugashima pukul delapan pagi, sedangkan waktu itu hampir pukul tiga.

Ketika mau pulang si laki-laki mengucapkan salam sambil menengadah dari halaman.

“Belilah kesemak, ini, maafkan saya melemparkannya dari tingkat atas,” kataku sambil melemparkan bungkusan uang. Dia menolak dan mau berjalan terus, tapi karena dilihatnya uang itu tergeletak di halaman, dia kembali lagi dan memungutnya dan melemparkannya kembali kepadaku sambil berkata,

“Tuan jangan begitu!”

Bungkusan itu jatuh di atas atap jerami. Kulemparkan sekali lagi, kali ini diterimanya dan dibawanya pulang.

Menjelang senja turun hujan lebat. Gunung-gunung yang jauh maupun yang dekat tak kelihatan bedanya, menjadi putih belaka. Air yang mengalir di anak sungai depan penginapan warnanya cepat saja menjadi kuning dan keruh, alirannya menjadi deras. Aku kira dalam hujan selebat itu rombongan penari itu takkan datang mengadakan pertunjukan, tapi aku tak bisa sabar hanya duduk-duduk saja sehingga sampai dua-tiga kali aku pergi mandi. Bilikku taram temaram. Sebuah lampu listrik tergantung pada kamoi menerangi dua buah bilik melalui fusuma penyekat yang dilubangi empat persegi.

Tung-tung-tung-tung…samar-samar kudengar bunyi taiko melalui suara hujan lebat. Aku menggeser pintu seolah-olah mencabiknya saja, lalu melongokan kepala. Bunyi taiko itu terdengar seolah-olah mendekat. Hujan dan angin menerpa kepala. Sambil memejamkan mata dan memasang telinga, aku ingin tahu mereka yang membawa taiko bagaimana bisa sampai ke sini melalui jalan mana. Tak lama kemudian terdengar bunyi shamisen. Juga teriakan perempuan yang panjang-panjang. Juga suara tawa beramai-ramai. Ternyata anak-anak wayang itu diminta mengadakan pertunjukan di ruangan tamu sebuah ryoriya yang terletak berhadapan dengan penginapan mereka. Sekarang dapat kubedakan suara wanita dua-tiga orang dengan suara laki-laki tiga-empat orang. Aku menunggu dengan harapan bila mereka sudah selesai mengadakan pertunjukan di sana, akan datang ke tempatku. Tapi rupanya minum-minum sake itu terlalu ramai sehingga boleh dikatakan ribut saja. Kadang-kadang terdengar pekik wanita membelah kegelapan malam seperti halilintar. Aku menajamkan sarafku dan tetap duduk dengan pintu terbuka. Setiap mendengar bunyi taiko itu, dadaku menjadi lega sedikit.

“Penari itu masih duduk di tempat minum-minum sake, sambil memukul taiko.”

Kalau bunyi taiko itu berhenti, aku merasa tak tahan. Seolah tenggelam ke dasar gemercik hujan.

Beberapa lama kemudian terdengar derap langkah, entah karena mereka berkejar-kejaran entah karena menari berputar-putar, lalu tiba-tiba berhenti dan suasana hening. Aku menajamkan mata. Aku mencoba melihat mengapa sebabnya maka suasana menjadi hening. Aku ingin melihat menembus gelap malam. Aku risau jangan-jangan si penari dinodai orang malam ini.


Bahkan setelah aku membaringkan diri di atas futon sesudah menutup pintu geser itu, dadaku tetap risau. Aku pergi mandi lagi. Dengan ganas aku mengaduk air panas. Hujan berhenti dan bulan terbit. Malam musim gugur yang dicuci oleh hujan menjadi terang sejernih-jernihnya. Aku kira aku takkan bisa berbuat apa-apa walaupun aku lari ke luar dari tempat mandi dengan kaki telanjang. Waktu sudah lewat jam dua.

Nada-Nada Melayu dalam Irama Kesusastraan Rusia




Waktu saya masih berumur kira-kira enam tahun, nenek saya sering membacakan dongeng-dongeng dari buku ceritera lama. Buku itu berjudul "Dongengan kucing pendengkur" [1] dan ditulis pada tahun tujuhpuluhan abad yang lalu oleh seorang ahli ilmu hewan, mistikus dan sastrawan Rusia, Nikolay Wagner (1829-1907).

Di antara dongeng-dongeng yang mungkin pernah dibacakan kepada nenek Vera waktu beliau masih kecil adalah sebuah cerita tentang seorang kerdil yang riang hati. Namanya Pimperle. Orang yang berbadan kecil itu memiliki sehelai peta ajaib, kalau peta itu dipaparkan segala sesuatu yang tergambar di atasnya menjadi kenyataan dan siapa yang melihat peta itu akan merasa dirinya sebagai burung yang melayang di atas permukaan bumi.

Begitulah, dengan pertolongan peta Pimperle itu, saya dapat melihat Semenanjung Melayu yang memanjang, asap yang naik ke atas dan berkumpul di udara sebagai awan, serta orang-orang Melayu yang sibuk merebus teripang dalam kuali-kuali yang besar. Sampai sekarang saya masih ingat betapa heran saya waktu dibacakan bahwa teripang adalah "seekor binatang laut yang menyerupai gelang-gelang" dan dianggap makanan yang paling enak oleh orang-orang Melayu yang luar biasa itu.

Tentu saja orang Rusia pada abad pertengahan tidak tahu-menahu tentang peta Pimperle itu, lagipula berita-berita tentang Tanah Melayu dan orang-orang Melayu itu masuk ke Rusia dengan lambat sekali dan biasanya melalui buku-buku asing. Begitulah, pada tahun 1826 untuk pertama kalinya pembaca-pembaca Rusia berkenalan dengan sastera Melayu Klasik yang berupa kutipan agak singkat dari "Hikayat Hang Tuah". Kutipan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia melalui terjemahannya dalam bahasa Perancis [2].

Dua tahun kemudian di Rusia diterbitkan sebuah karya sastera yang untuk pertama kalinya pula menggambarkan wilayah Malaysia — agaknya daerah Kalimantan Utara — sebagai latar belakang peristiwa yang dikisahkan di dalam karya tersebut. Buku itu berjudul "Perjalanan dalam kereta" [3] karangan Antony Pogorelski (1787-1836), seorang pengarang yang berbakat (tulisan-tulisannya yang pertama dalam bidang sastera mendapat perhatian dan pujian dari tokoh sastra Rusia Alexander Puskhin).

Walaupun Pogorelski seorang yang berpendidikan tinggi, tetapi pengetahuannya mengenai Malaysia agak kabur dan sebenarnya cerita yang ditulisnya dalam buku itu tentang persahabatan antara seorang pemuda bernama Fritz dan seekor orang hutan betina bernama Tutu yang pernah menjadi ibu angkatnya, hanyalah khayalan belaka.

Keadaan berubah waktu kapal-kapal perang Rusia pada awal abad ke-19 mulai berkeliling dunia yang dengan sendirinya melalui Selat Malaka. Salah seorang pelaut Rusia yang pada waktu itu mengunjungi pelabuhan Melayu adalah Letnan Butakov. Kesan-kesan yang didapatnya dari kunjungan ke Pulau Pinang dan ke Singapura dimuat pada tahun 1843 dalam "Otecestvennye Zapiski", sebuah majalah Rusia yang paling terkenal waktu itu [4].

Butakov sangat terkesan pada segala yang dilihatnya di tempat-tempat yang jarang sekali didatangi orang Rusia. Bukan main gembiranya beliau, waktu mengisahkan wayang Cina di Pulau Pinang atau menceriterakan dongeng tentang Badang dari Saluang ("Sejarah Melayu", ceritera 6) yang dipetiknya dari sebuah buku karangan E. Belcher.

Kunjungan kapal-kapal Rusia ke Asia Tenggara secara tidak langsung mengakibatkan lahirnya sebuah pantun Rusia yang pertama. Sejarahnya sebagai berikut: pada tahun 1815-1818, seorang sarjana dan penyair Jerman Adelbert von Chamisso ikut dalam pelayaran kapal Rusia "Ryurik" yang berkeliling dunia. Dalam pelayaran tersebut perhatiannya tertarik pada puisi Melayu. Beberapa tahun kemudian A. von Chamisso menulis sebuah artikel mengenai puisi rakyat Melayu dan beberapa sajak yang berbentuk pantun berkait.

Bentuk pantun ini untuk pertama kalinya diperkenalkan kepada orang-orang Eropa. Sajak-sajak Chamisso rupanya ditiru oleh seorang penyair wanita Rusia yang agak terkenal waktu itu, Karolina Pavlova (1807-1893). Karya-karya von Chamisso memang dikenalnya dengan mendalam, malahan beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Akan tetapi Karolina Pavlova sendiri juga menulis pantun berkait yang sangat laris dan menurut anggapannya lebih sesuai untuk dinyanyikan daripada untuk dibaca [5].

Pada tahun 1853 seorang pujangga besar Rusia, Ivan Goncharov (1812-1891) sempat mengunjungi perairan Melayu dan melihat orang-orang Melayu dengan mata kepala sendiri. Satu tahun kemudian, dalam majalah yang telah disebut di atas, "Otecestvennye Zapiski" dimuat kisah kunjungannya ke Singapura, tulisannya sedemikian bagusnya sehingga beberapa angkatan pembaca Rusia mengenal kota Singapura melalui kaca mata Goncharov.

Nada ceriteranya lain dari nada Butakov, terletak pada kepandaiannya memperlihatkan hal-hal yang biasa dalam suasana yang luar biasa. Berkat ketajaman visi dan kekuatan daya kreasinya, penggambaran Singapura dan alam Malaysia pada abad ke-19 yang begitu indah itu meninggalkan kesan yang tak dapat hilang dari ingatan para pembaca "Frigate Palas", buku catatan perjalanannya keliling dunia yang berisi sketsa Goncharov tentang Singapura [6].

Dapat pula ditambahkan bahwa perairan Melayu juga merupakan tempat terjadinya peristiwa yang dikisahkan dalam cerpen "Si Buntung" karya Konstantin Stanyukovick (1843-1903), seorang pengarang dan juga pelaut yang progresif. Pertentangan yang hebat antara kelasi dan perwira sebuah korvet "Moguchy" terjadi di pelabuhan Singapura, "pada waktu pagi yang menggairahkan di bawah matahari katulistiwa" [7]. Pada tahun 1898, cerpen tersebut bertentangan dengan ide-ide yang resmi, sehingga dilarang untuk dibaca rakyat negara Rusia.

Bagaimanapun juga watak orang Melayu yang paling mengesankan dalam sastera Rusia diciptakan oleh seorang pujangga Rusia yang tak pernah mengunjungi Tanah Melayu. Pengarang itu tidak lain dari Ivan Turgenev (1818-1883) yang tidak asing lagi bagi pembaca Melayu, berkat cerpenniya "Cinta pertama" yang telah diterjemahkan dengan tangkas sekali oleh Araf.

Pada waktu Turgenev tinggal di Paris, pada tahun 1881, ditulisnya sebuah cerpen yang berjudul "Lagu cinta berjaya" [8]. Diantara tokoh-tokohnya kita temui seorang Melayu yang bisu. Orang itu menjadi pelayan merangkap guru Muzzio, seorang pemuda Italia yang pulang ke kota kelahirannya Ferrara, sesudah mengadakan perjalanan yang lama sekali ke Timur.

Cerpen itu berakhir dengan kebe-rangkatan Muzzio dan "panakawannya" meninggalkan kota Ferrara, se-telah orang Melayu, "panakawan" Muzzio itu menyelamatkan jiwanya dari luka parah akibat serangan suami kekasihnya.

Cerpen ini telah menarik banyak perhatian para pembaca Rusia, telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, Perancis, Inggris dan Denmark yang menimbulkan pelbagai tafsiran yang aneh. Menurut salah satu tafsiran itu, Valeria, kekasih Muzzio, merupakan lambang Rusia, Muzzio yang tewas, tetapi sempat meninggalkan benihnya dalam tubuh Valeria yang hamil adalah lambang nihilisme, sedang orang Melayu yang bisu tersebut melambangkan kaum tani Rusia yang tidak mempunyai hak bersuara, akan tetapi dapat menghidupkan kembali nihilisme Rusia...[9].

Pada permulaan abad ke-20, tiga orang penyair Rusia yang sangat terkenal berusaha untuk meniru bentuk-bentuk puisi rakyat Melayu. Valéry Bryusov (1873-1924) yang pernah disebut (oleh Maxim Gorky) sebagai seorang pengarang Rusia "yang paling berkebudayaan", telah mencoba untuk mencipta "pantun Rusia". Pengarang yang sangat termasyhur pada awal abad ke-20 itu hendak menulis sebuah antologi sajak "Impian Ûmat Manusia", dalam bentuk puisi lirik, yang dapat "membayangkan" hati nurani umat manusia".

Khusus untuk antologi tersebut, Bryusov menciptakan enam buah "lagu Melayu" berbentuk pantun yang telah diterbitkan bersama beberapa sajak lain. Tetapi sayang antologi tersebut tidak sampai terwujud [10].

Pada waktu yang bersamaan, seorang pengarang Rusia lain, yang terkenal, Konstantin Balmont (1867-1942) juga menerbrtkan antologi sajak berjudul "Pembangun putih". Di antara sajak-sajak dalam antologi tersebut, terdapat enam buah mantera Melayu ciptaan Balmont sendiri dan dua buah sajak lain yang bertema Melayu : "Api unggun Melayu" dan "Kain pual" [11]. Balmont pergi sendiri ke daerah Nusantara dan menciptakan sajaknya berdasarkan kesan perjalanannya –beliau pernah menulis bahwa maksudnya untuk "meniru kemerduan suling raja Do-nan dari Hikayat Melayu yang kuno" [12].

Akan tetapi sajak-sajak Bryusov dan Balmont yang berbentuk Melayu itu tidak seindah "Lagu Melayu" [13] ciptaan Ivan Bunin (1870-1953) , penyair dan pengarang prosa Rusia, pemenang hadiah Nobel tahun 1933. Karya Bunin tersebut merupakan saduran dari "Pantouns malais", sebuah sajak panjang, buah tangan pujangga Perancis Leconte de Lisle. Dengan sangat tegas Bunin memotong sajak Perancis itu, merobah dan memadatkan image-imagenya sehingga menjadi sebuah sajak baru tentang cinta, penipuan dan maut yang dapat dianggap setaraf dengan pantun-pantun Melayu yang terbaik.

Sajak Bunin yang diterbitkan pada tahun 1916 dapat disebut sebagai usaha tenakhir untuk memberikan tema Melayu dalam sastra Rusia pada zaman Tsar. Revolusi Oktober mengajukan tuntutan-tuntutan baru di hadapan sastrawan Rusia dan pemerintah kolonial Inggris tidak mau memupuk perhubungan antara Sovyet Rusia dan Tanah Melayu.

Pernyataan hubungan diplomatik antara Uni Sovyet dan Malaysia pada tahun 1967, menghidupkan kembali tema Melayu dalam sastera Rusia. Pada tahun 1967 mingguan "Literaturnaya Rossia" memuat dua buah essei Rudolf Bershadsky, pengarang Rusia yang berpengalaman. Essei itu ditulis berdasarkan kesan kunjungannya ke Malaysia [14].

Beberapa tahun yang lampau, seorang penyair Sovyet ternama, Robert Rozhdestvensky, yang juga telah mengunjungi Malaysia, menterjemahkan sajak penyair Malaysia terkemuka, Usman Awang. Dapat ditambahkan pula bahwa tahun 1972, Vasily Aksyonov, sastrawan Rusia berbakat, dalam buku anak-anak yang ditulisnya dengan judul "Kakekku - Patung peringatan", mengemukakan watak pengail Malaysia bernama Ion yang bersama anak-anaknya menemukan kepulauan Keinderaan Raya yang menjadi latar belakang kejadian yang digambarkan dalam buku yang lucu itu.

Mudah-mudahan usaha tersebut akan diikuti dengan langkah-langkah yang lebih tegas lagi dan lebih berhasil.

Catatan:
(1) Skazki Kota-Murlyki, Sobrannye Nikolayem Wagner, Saint-Petersburg, 1881. cetakan ke-2 yang ditinjau kembali dan diperlengkaipi, hal. 68-95.
(2) "Necto o yavanskoi slovesnosti", Aziatskiy Vestnik, 1826, n" 3, hal. 165-169 (terjemahan dari "Nouvelles annales des voyages et de sciences géographiques", 1825).
(3) A. Pogorelsky, Dvoynik ili moi vecera v. Malorossii, Saint-Petersburg, 1828, jilid II, hal. 128198.
(4) A. Butakov, "Pulo-Penang i Singapur. Iz zapisok russkogo morskogo ofitsera vo vremya putesyestviya vokrug sveta v 1840-1842 gg.", Otecestvennye Zapiski, 1843, n° 27, hal. 47-90.
(5) K. Pavlova, "Serenada", Moskvityanin, n° 22 (November, 1851), hal. 221-222. Saya berterima kasih kepada I.S. Postupalski yang memberitahukan saya me- ngenai ciptaan penyajak wanita tersebut.
(6) I. Goncarov, "Fregat Pallada. Ocerki putesyestviya,, Saint-Petersburg, 1858, jilid I hal. 408-459.
(7) K.M. Stanyukovic, "Kutsiy (rasskaz iz morskoi zhizni)", Mir Boziy, 1894, n° -, hal. 54-75.
(8) I.S. Turgenev, "Pesn' torzhestvuyusycey lyubvi," "Vestnik Yevropy,, 1881, n* 11, hal. 5-24. Lihat juga I. Turgenev, Song of Triumphant Love, ed. by M. Ford, New York, 1882: I. Tourguéneff, "Le chant de l'amour triomphant", dalam : I. Tourguéneff, Oeuvres dernières, Paris, 1885, dan beberapa terjemahan yang lain.
(9) Lihat surat Turgenev kepada P.V. Annenkov tertanggal 5.1.1882, dalam: I.S. Turgenev, Polnoyt Sobraniye Socineniy i Pisem, Leningrad, t. XIII, jilid 1, 1968, hal. 170.
(10) Valeriy Bryusov, "Iz knigi : Sny celovecestva", Sirin, Sbornik vtoroi, Saint- Petersburg, 1913, hal. XV-XVI.
(11) K. Balmont, Belyi Zodzii. Tainstvo cetyryoh svetilnikov, Petrograd, 1914, hal. 71-81.
(12) K. Balmont, Poeziya kak volsyebstvo, Moskva, 1915, hal. 79.
(13) I. Bunin, "Malayskaya pesnya," Sevemiye Zapiski, 1916, hal. 5-6. (14) R. Bersydskii, "V segodnyasynyei Malaye."

(14) Literaturnaya Rossiya, n° 41-42, 1967. (ie) V. Aksyonov, Moi dedusyka- pamyatnik, Moskva, 1972.

Leviathan


oleh Scott Westerfeld (Penerjemah: Melody Violine)

Kuda-kuda Austria mengilap tersorot sinar rembulan, para penunggang mereka berdiri tegak di pelana, pedang mereka diacungkan. Di belakang mereka ada dua jajaran mesin berkaki dengan tenaga diesel sudah berdiri siap untuk menembak, Meriam diarahkan ke atas kepala pasukan kavaleri. Sebuah pesawat zeppelin mengintai tempat kosong di tengah medan perang, kulit logamnya berkilauan.

Pasukan infanteri Prancis dan Inggris merangkak di belakang benteng mereka—sebuah pembuka surat, sebotol tinta, dan sebaris pena bulu—sadar bahwa mereka tidak mungkin menang melawan Kekaisaran Austria-Hungaria yang perkasa. Tapi sederet monster-monster Darwinis menjulang di belakang mereka, siap melahap siapa pun yang berani mundur.

Serangan hampir dimulai ketika Pangeran Aleksandar mengira mendengar ada orang di balik pintunya…

Dengan merasa bersalah dia kembali selangkah ke ranjangnya—lalu mematung di tempat, mendengarkan sebaik mungkin. Pepohonan bergoyang tertiup angin sepoi-sepoi di luar, tapi selebihnya malam ini hening. Ibu dan Ayah kan ada di Sarajevo. Mana ada pembantu yang berani mengganggu tidurnya.

Alek berbalik kembali ke mejanya dan mulai memajukan kavaleri, menyeringai ketika perang mendekati klimaks. Mesin-mesin berkaki Austria sudah selesai membombardir pasukan lawan, dan kini giliran kuda-kuda timah untuk menghabisi Prancis yang kelewat kalah jumlah. Perlu semalaman bagi dia untuk menyusun serangan ini, menggunakan buku panduan taktik kerajaan yang dipinjamnya dari ruang belajar Ayah.

Tidak ada salahnya Alek bersenang-senang sementara orangtuanya pergi menonton manuver militer. Dia sudah memohon-mohon agar diajak, untuk melihat barisan-barisan prajurit lewat dengan mata kepalanya sendiri, untuk merasakan gemuruh mesin-mesin tempur dari telapak sepatu botnya.

Tentu saja, Ibu yang melarangnya—studi Alek lebih penting daripada “parade”, kata Ibu begitu. Ibu tidak mengerti bahwa latihan militer bisa lebih banyak mengajari Alek daripada tutor-tutor tua berbau apak dan buku-buku mereka. Suatu hari, dalam waktu dekat, Alek akan mengendalikan salah satu mesin itu juga.

Perang kan sudah dekat. Kata semua orang begitu.

Unit kavaleri timah terakhir baru saja menabrak barisan prajurit Prancis ketika bunyi pelan terdengar dari koridor lagi: gemerincing, seperti bunyi segelang kunci.

Ada orang tepat di luar.

Tanpa suara dengan kakinya yang tidak beralas, dengan gesit Alek menyeberangi lantai marmer dingin, menyelip ke balik selimut tepat ketika pintu berderak dibuka. Alek menyipitkan matanya, ingin tahu pembantu mana yang sedang memeriksa dia.

Sinar rembulan memasuki ruangan, membuat para prajurit timah di meja Alek berkilauan. Seseorang menyelinap masuk, dengan luwes dan tanpa suara sama sekali. Sosok itu berhenti, memandangi Alek sejenak, lalu mengendap-endap ke lemari bajunya. Alek mendengar bunyi gesekan kayu dari sebuah laci yang ditarik.

Jantung Alek berpacu. Tidak ada pembantu yang berani mencuri dari dia!

Tapi bagaimana kalau penyelundup ini lebih buruk daripada pencuri? Peringatan ayahnya bergaung di telinga Alek…

Kau sudah punya musuh sejak kau lahir.

Seutas tali lonceng terjuntai di samping kamarnya, tapi kamar orangtuanya kosong. Karena Ayah dan pengawal Ayah berada di Sarajevo, penjaga terdekat berada di ujung aula piala, lima puluh meter dari sini.

Alek menyelipkan satu tangan ke bawah bantal, hingga jari-jarinya menyentuh baja dingin dari pisau berburunya. Dia tetap berbaring saja, menahan napas, menggenggam gagang pisau erat-erat, dalam hati mengulang pelajaran lain dari ayahnya. 

Unsur kejutan lebih penting daripada kekuatan.

Sosok lain kemudian memasuki pintu, dengan sepatu bot berderap, jepitan-jepitan logam dari sebuah jaket pengendali mesin bergemerencing seperti segelang kunci. Sosok itu berjalan langsung menuju ranjang Alek.

“Tuan muda! Bangun!”

Alek melepaskan pisaunya, mengembuskan napas lega. Itu cuma Otto Klopp, guru mekanikanya.

Sosok pertama mulai mengobok-obok isi laci, mengambili pakaian.

“Pangeran muda sudah bangun dari tadi,” kata Wildcount Volger dengan suara rendah. “Sedikit saran, boleh, Yang Mulia? Kalau berpura-pura tidur, sebaiknya tidak menahan napas.”

Alek duduk dan mengerutkan dahi. Guru pedangnya punya kemampuan menyebalkan untuk tidak bisa ditipu.

“Ada apa ini?”

“Kamu harus ikut kami, tuan muda,” gumam Otto, mengamati lantai marmer. “Perintah dari archduke.”

“Dari Ayah? Ayah sudah pulang?”

“Dia mengirimkan perintah,” kata Count Volger dengan nada suara mengesalkan yang biasa dia gunakan dalam pelajaran berpedang. Dia melempar celana panjang Alek dan sebuah jaket pengendali ke atas ranjang.

Alek memandangi pakaian itu, separuh marah dan separuh bingung.

“Seperti Mozart sewaktu kecil,” kata Otto pelan. “Yang biasa diceritakan archduke.”

Alek mengerutkan dahi, mengingat cerita kesukaan Ayah tentang masa kecil pemusik terkenal itu. Konon guru-guru Mozart sering membangunkannya pada tengah malam, ketika pikirannya kosong dan tak berpenghalang, lalu menjejalkan pelajaran-pelajaran musik kepadanya. Bagi Alek, cara itu terdengar tidak sopan.

Alek meraih celana panjang. “Kalian akan memaksaku membuat fugue?”

“Lucu sekali,” kata Count Volger. “Tapi harap buru-buru.”

“Kami sudah menyiapkan mesin berkaki di balik istal, tuan muda.” Wajah cemas Otto memaksakan senyum. “Kau yang mengendalikannya.”

“Mesin berkaki?” mata Alek melebar. Mengendalikan mesin adalah satu bagian dari studinya yang bisa membuat dia mau keluar dari ranjang. Dia mengenakan celana dan jaketnya cepat-cepat.

“Ya, pelajaran pertamamu malam-malam!” kata Otto, menyerahkan sepatu bot kepada Alek.

Alek mengenakan sepatu dan berdiri, lalu mengambil raung tangan pilot kesukaannya dari laci baju, bunyi langkah-langkah kakinya dipantulkan oleh lantai marmer.

“Sekarang jangan bersuara.” Count Volger berdiri di samping pintu kamar. Dia membuka pintu dan mengintip ke lorong.

“Kita keluarnya mengendap-endap, Yang Mulia!” bisik Otto. “Seru sekali, pelajaran ini! Seperti Mozart sewaktu kecil!”

Mereka bertiga menyelinap hingga aula piala, Master Klopp masih dengan langkahnya yang berat, Volger bergerak luwes tanpa suara. Lukisan-lukisan leluhur Alek, keluarga yang sudah menguasai Austria selama enam ratus tahun, berjajar di lorong, mata mereka menyorot ke bawah tanpa ekspresi. Tanduk-tanduk yang menjadi piala berburu ayahnya membuat bayang-bayang kusut, laksana hutan bersimbah cahaya bulan. Setiap langkah kaki terdengar lebih keras akibat heningnya kastel ini, lantas pertanyaan demi pertanyaan bersahutan di benak Alek.

Bukankah ini berbahaya, mengendalikan mesin berkaki pada malam hari? Dan kenapa guru berpedangnya ikut serta? Count Volger lebih suka pedang dan kuda daripada mesin tanpa jiwa, dan kurang toleran terhadap rakyat jelata seperti Otto. Master Klopp dipekerjakan atas dasar kemahirannya sebagai pilot, bukan nama keluarganya.

“Volger…,” Alek mulai berbicara.

Diam, bocah!” sembur sang wildcount.

Amarah memercik di dalam diri Alek, dan hampir dia melontarkan makian, tak peduli kalau itu merusak permainan menyelinap keluar yang tolol ini.

Selalu seperti ini. Memang para pembantu memanggil Alek “archduke muda”, tapi para bangsawan seperti Volger tidak pernah membiarkan Alek melupakan posisinya. Berkat darah jelata ibunya, Alek tidak pantas mewarisi tanah maupun gelar kerajaan. Memang ayahnya pewaris sebuah kekaisaran lima puluh juta jiwa, tapi Alek pewaris nihil.

Volger sendiri hanya seorang wildcount—tidak ada tanah atas nama dia, hanya sedikit hutan—tapi bahkan Volger bisa merasa lebih tinggi daripada putra seorang dayang.

Tapi Alek berhasil menahan diri, membiarkan amarahnya mendingin saat mereka menerobos dapur perjamuan. Pengalaman bertahun-tahun dihina sudah melatih Alek untuk menahan lidahnya, dan kelancangan orang lain lebih mudah dia telan manakala dia hendak mengendalikan mesin.

Suatu hari dia akan membalas dendam. Ayah sudah berjanji. Kontrak pernikahan akan diubah dengan suatu cara, lalu darah Alek menjadi biru.


Sekalipun itu berarti membangkang terhadap sang kaisar sendiri.