Kemelut Kepemimpinan Paska Wafatnya Rasulullah


oleh Ayatullah Muhammad Baqir As-Shadr

SYI’AH DAN DAKWAH NABI SAWW
Kerap kali sebagian besar para analis dan kaum intelektual mempelajari “Syi'ahisme atau Tasyayyu" dengan didasari kesan subjektif dan kesimpulan yang agak rapuh. Mereka beranggapan bahwa Syi'ahisme merupakan pemandangan yang ganjil dalam tubuh masyarakat Islam yang lebih dominan. Anggapan ini mereka simpulkan bertolak dari kenyataan yang ada dimana Syi'ah hanya terdiri dari beberapa individu yang muncul dengan corak tertentu di tengah-tengah masyarakat Islam yang jauh lebih besar jumlah serta pengaruhnya. Selanjutnya kelompok minoritas tersebut berkembang biak sebagai akibat dan efek daripada serangkaian perkembangan politik-sosial yang terjadi pada saat itu. Dengan kata lain, mereka telah menjadi bayi yang dilahirkan oleh kondisi labil saat itu.

Kejadian dan perkembangan-perkembangan itu secara otomatis telah mengakibatkan munculnya haluan yang bercorak unik dan lain daripada yang lain di tengah masyarakat Islam yang jelas berbeda dengan mereka, lambat laun aliran pemikiran baru ini makin membengkak dan sempat melebarkan sayap pengaruh radikalnya beberapa senti di hati sebagian muslimin atau kebanyakan dari mereka.

Para penganalisa itu –setelah beranggapan demikian- secara serentak saling berselisih pendapat mengenai faktor utama aliran tersebut dan gejala perkembangan tertentu yang jelas telah melahirkan kelompok kecil itu. Sebagian mereka berpendapat bahwa Syi'ahisme adalah pendapat yang dicetuskan oleh seorang yang konon bernama Abdullah bin Saba`. Ada juga yang mengatakan demikian bahwa timbulnya Syi'ahisme merupakan pengaruh daripada kebijaksanaan politik Ali bin Abi Thalib a.s., mengingat pada zaman pemerintahan beliau telah terjadi perkembangan-perkembangan yang amat seru dan mendebarkan. Sebagian lain beranggapan bahwa munculnya Syi'ahisme adalah akibat alami yang tak terelakkan dari perkembangan-perkembangan politik yang terjadi pada masa terakhir dalam serangkaian dan rentetan sejarah umat Islam.

Berdasarkan logika yang saya pijak, pendapat-pendapat yang dilontarkan para sarjana itu adalah kesimpulan dari penjabaran yang tidak argumentatif dan kurang rasional, yaitu dengan berkesimpulan bahwa Syi'ahisme merupakan fenomena yang ganjil dan aneh. Kesimpulan ini mereka serap dari dasar kenyataan sebelumnya yaitu kenyataan Syi'ahisme hanyalah segolongan masyarakat kecil yang tumbuh segar di tengah-tengah masyarakat lain yang lebih dominan dan besar jumlahnya.

Kenyataan inilah yang menyeret mereka ke suatu lembah sehingga beranggapan bahwa non-Syi'ah adalah tolok ukur yang harus dijadikan sebagai satu-satunya cara dalam membagi dan membedakan antara kelompok mana yang orisinil dan lebih dahulu muncul? Disamping itu semua, penjabaran semacam ini bertentangan dengan kenyataan adanya perbedaan dan terbaginya aliran-aliran yang kita temukan selama ini. Kadang-kadang kita mengklaim suatu aliran sebagai yang paling benar bukan atas dasar jumlah pengikut aliran tersebut atau dari segi banyak dan sedikitnya, demikian juga sebaliknya kita terkadang menganggap suatu akidah sebagai akidah yang keliru dan sesat tanpa mempertimbangkan jumlah penganut akidah tersebut. Lagi pula mungkin masa timbulnya akidah atau aliran yang kita anggap sesat atau sebaliknya akidah yang kita anggap benar berbarengan dalam satu tempo dan waktu. Perlu digarisbawahi bahwa terkadang kedua aliran menyuarakan satu misi dan konsep yang sama; misalnya kedua aliran itu sama mengaku sebagai Islam yang murni dan pengikut-pengikutnya merasa bagian dari umat Muhammad SAWW. Sama halnya dengan Syi'ah dan non-Syi'ah, presentase dan jumlah pengikut kedua garis pemikiran yang kurang seimbang itu tidak patut dijadikan sebagai bukti akan keotentikan dan kemurnian salah satunya.

Perlu dicamkan baik-baik bahwa kita tidak dibenarkan –berdasarkan hukum logika- beranggapan masa timbulnya dan populernya istilah dan nama Syi'ah atau Tasyayyu' berbarengan dengan masa munculnya golongan serta konsep Tasyayyu' itu sendiri; sebagai istilah populer dan akrab bagi suatu aliran dan golongan tertentu di tengah masyarakat yang tampaknya mengakui eksistensi dan keberadaan mereka selaku oposan dan bagian dari mereka yang memiliki hak bersuara dan bernafas, sebab munculnya nama serta lahirnya golongan yang menyandang nama itu tidak mesti bersamaan dalam satu waktu (seperti lahirnya seorang bayi janin yang belum diberi nama atau sebaliknya seperti bila kita telah memberi nama kepada janin yang belum lahir). Hal ini sering kali terjadi.

Kita mungkin belum pernah menemukan kalimat dan sebutan "Syi'ah" dalam percakapan sehari-hari pada zaman Nabi SAWW berikut setelah wafatnya. Namun, kenyataan ini tidak menjamin dan dapat membuktikan bahwa golongan Syi'ah ini belum pernah ada pada zaman Nabi SAWW, baik secara praktis operasionil maupun secara teoritis dan konsepsional. Jika kita sudah memperhatikan dan memahami dengan jelas pokok-pokok di atas, maka insya-Allah kita akan mampu mengambil gambaran yang jelas serta kesimpulan yang gamblang dan rasional. Tentunya itu semua tidak akan kita dapatkan sebelum menemukan jawaban yang jitu dan mengena atas dua pertanyaan pokok berikut ini: Bagaimana proses timbulnya Syi'ahisme? Bagaimana proses lahirnya golongan Syi'ah itu sebenarnya?

PEMBAHASAN PERTAMA: BAGAIMANA TIMBULNYA SYI'AHISME?
Secara keseluruhan dan global dapat kita pastikan bahwa Tasyayyu' adalah, "Hasil produksi pengelola motor dakwah Nabi" sejak beliau memulai karir dan menjalankan tugas sucinya sebagai Duta Luar Biasa Allah SWT. Syi'ahisme merupakan formula yang berkualitas tinggi dengan khasiat yang tak dapat diragukan lagi dan diramu seteliti mungkin sebagai konsep istimewa yang dipaparkan guna menjaga kesinambungan dan kelangsungan program kerja penyebaran dakwah Rasul dan guna mewujudkan cita-cita luhur beliau untuk menciptakan masyarakat yang sadar sepenuhnya akan politik, sosial, dan budaya serta maju seiring dengan proses naturalis evolusi dan perkembangan yang lumrah dan normal.

Hal ini bisa kita simpulkan secara rasional bila memantau dengan seksama dan jeli ke arah dakwah yang merupakan proyek besar yang dicanangkan oleh Rasul dalam lingkar batas situasi dan kondisi yang ada pada saat itu. Langkah dan kebijaksanaan pertama yang diambil Nabi dalam upaya menjaga kelancaran dan memobilisasikan masyarakat ke arah dakwah ialah mengendalikan tali pemerintahan dan kekuasaan dengan tangan beliau sendiri dan secara langsung menanganinya dengan melibatkan diri secara total dalam aksi dan operasi politis yang beliau galakkan sendiri demi kesuksesan proyek.

Langkah kedua ialah berusaha sekuat mungkin dengan persiapan yang matang agar program ini tidak mandek dengan melancarkan aksi perombakan dan pembenahan total dalam tubuh masyarakat; moral, mental, pola tindak, cara berpikir, watak dan seluruh aspek yang bertalian erat dengan mereka. Patut diingat bahwa operasi perombakan dan pembersihan total serta menyeluruh itu tentunya memerlukan jangka waktu yang tidak sebentar serta menuntut adanya kekuatan yang dapat diandalkan untuk mengawal perjalanan dakwah dalam mencapai kesuksesannya yang gemilang dan besar sekaligus untuk menepis dan menyingkirkan segala macam hambatan dan gejala-gejala kelesuan yang bisa mengganggu kelancaran proyek penyebaran.

Mengingat perbedaan antara Islam dan kultur jahiliyah sangat jauh dan bersifat fundamental, maka tugas berat beliau ialah merintis dari awal mula menciptakan manusia muslim seutuhnya dari manusia yang sama sekali asing tentang nilai kesopanan dan telah menjadi bagian dari kepandiran jahiliyah yang luar biasa, membenahi manusia jahilis dengan membersihkannya dari segala jenis noda dan pengaruh kotor serta membebaskannya dari jeratan dan belenggu moral kultur jahiliyah.

Dalam memulai langkah baru ini, Rasul telah mengambil sikap yang mencengangkan dengan mempelopori aksi Sapu Bersih secara total terhadap dasar-dasar jahiliyah dalam tempo waktu yang relatif singkat sekaligus membuahkan hasil-hasil yang gemilang dan mengagumkan. Semestinya operasi perombakan itu harus dilanjutkan dan tidak berhenti begitu diketahui bahwa Rasul meninggal dunia.

Perlu diketahui bahwa beliau seringkali memberitahukan tentang saat meninggalnya yang makin dekat. Itu sering dikatakannya, baik secara terang-terangan maupun secara implisit sebagaimana dalam peristiwa Hajjatul Wada’ (Haji Wada’ atau Haji Perpisahan) yang mana itu memberi kesan kepada kita bahwa beliau tidak wafat secara tiba-tiba. Jadi, berarti beliau mempunyai kesempatan luang untuk memikirkan langkah-langkah berikut yang semestinya diambil dengan mempersiapkan rancangan dan konsep yang sempurna dan jelas demi terwujudnya semboyan proyek dakwah yang telah dirintisnya, apalagi –selaku muslimin- kita yakin bahwa adalah tugas dan kebijaksanaan Allah melalul sifat belas kasih dan kelembutan-Nya untuk melestarikan dakwah hingga menggapai kesuksesan yang diincarnya melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAWW.

Dengan demikian kita sadari bahwa hanya ada tiga macam alternatif jalan yang mungkin salah satunya telah ditempuh Rasul demi masa depan dan keberhasilan program pengembangan dakwah beliau.

ALTERNATIF PERTAMA: SIKAP YANG MUNGKIN DIAMBIL RASUL
Bersikap pasif terhadap masa depan dan kelanjutan misi dakwah. Cukup hanya menyelesaikan tugas pemiliharaan dakwah selama masa hidupnya. Adapun kelanjutannya, maka nasibnya tergantung pada kondisi mendatang dan kemungkinan serta kejutan yang timbul kelak. Alternatif dan interpretasi ini tidak layak bagi Rasul. Mustahil beliau tidak peduli akan kelangsungan dakwah selanjutnya, sebab alternatif dan anggapan "Rasul bersikap masa bodoh" ini hanya berdasarkan dan kemungkinan yang tidak rasionil dan tidak realistis.

DASAR PERTAMA: Bahwa kemungkinan sikap dingin yang diambil dan diperlihatkan Nabi tidak akan mengganggu kelancaran dakwah setelah wafatnya, sebaliknya masyarakat kelak dengan sendirinya berandalkan kreativitas mereka akan sadar pada tanggung jawab mengembannya serta mampu bertindak selaras dengan kebijaksanaan dan langkah yang pernah diambil oleh Nabi dan seiring dengan apa yang telah digariskannya.

Dasar kemungkinan ini kurang realistis, bahkan kebanyakan segala sesuatu selalu memantulkan kebalikannya, mengingat dakwah yang telah dirintis. Itu merupakan serangkaian upaya perombakan total secara tuntas dan mengakar. Operasi tersebut digalakkan dengan dasar tujuan dan cita-cita membina masyarakat baru dan segar sekaligus mencabut segala macam akar yang lama sekali bercokol dan melepaskan segala macam tali kotor jahiliyah yang selama ini menjerat mereka sejak berabad-abad dan menjadi sistem sosial mereka satu-satunya dan menjadi cermin bagi pola hidup mereka sehari-hari. Operasi penyapuan sisa-sisa kanker jahiliah ini akan terbentur dengan kemungkinan-kemungkinan bahaya yang akan timbul sebagai akibat negatif dari kevakuman dan ketiadaan seorang pemimpin atau akibat psikis dari kematian seorang pemimpin (Nabi) tanpa meninggalkan pesan atau mewariskan konsep bagi program pemerataan dakwah setelah sebagai efek dari pada tindakan spontan dan upaya penyelamatan sekonyong-konyong dalam rangka menanggulangi dan mengisi lapangan yang hampa dari seorang pemimpin.

Secara alami kehampaan itu menuntut adanya tindakan penyelamatan darurat secara kilat guna mengisinya dengan tindakan dan sikap yang cepat dan spontan juga. Dengan kata lain keadaan tidak peduli akan kehampaan dan kesulitan. Keadaan hanya meminta pemimpin dan pengisi lubang. Hal ini akan lebih jelas lagi kalau kita memantau lebih dekat dan seksama, masyarakat pada saat itu sedang dilanda kegelisahan dan tidak tahu apa yang semestinya mereka perbuat, mengalami depresi yang amat kuat karena ditinggal wafat seorang pemimpin yang kharismatik dan sangat berpengaruh.

Bila kita beranggapan bahwa Nabi telah meninggalkan masyarakat dan arenanya tanpa terlebih dahulu mempersiapkan rancangan dan jadwal kerja yang matang serta tajuk demi menyongsong masa depan yang memprihatinkan, maka sebagai dampaknya, akan timbul tindakan dari pihak massa secara gegabah dan tidak sistematis yang "kebetulan" merasa bertanggung jawab dan berkepentingan menangani masalah untuk pertama kali. Hal mana, masalah-masalah tersebut sangat tabu dan sulit ditangani bila tanpa bimbingan pemimpin sebelumnya, apalagi bila ditangani oleh orang yang bukan profesional, sedangkan rakyat pada saat itu tidak mengerti dan tidak mempunyai gambaran yang cukup menjamin kemampuan mereka tentang hal itu.

Namun di sisi lain, kevakuman itu menuntut tindakan secepatnya dan segera dilaksanakan tepat pada saat masyarakat sedang dicekam duka dan dirundung kegelisahan karena Sang Pemimpin Besar pergi menemui Kekasih Sejati Allah SWT tanpa permisi. Adalah logis, kebingungan ini sedikit banyak menghambat dan mengganggu konsentrasi dan menimbulkan stress dan kepincangan dalam tindakan, sampai-sampai salah seorang sahabat senior berteriak-teriak histeris: "Rasulullah belum mati! Rasulullah tidak akan mati! Siapa yang mengatakan mati!".

Pertanda bahwa kebingungan telah melanda seluruh lapisan masyarakat. Sikap lepas kontrol sahabat kawakan ini cermin dari pada opini massa yang ketegangannya belum reda karena ditinggal mati "Pengasuh", "Ayah", "Pemimpin" dan kebanggaan mereka Muhammad SAWW dan karena tidak ada pengganti yang sesuai. Di samping itu semua, terdapat beberapa bahaya yang mengancam dan timbul akibat dari krisis integritas dan intelektualitas serta kenaifan tentang seluk-beluk serta perjalanan dakwah selanjutnya, yang mana pada saat genting dan mencekam itu dibutuhkan seorang pemimpin prima dan arif seperti Nabi.

Bahaya lain yang akan timbul ialah akibat buruk dari tindakan mendadak dan gerak refleks masyarakat dalam menanganinya, yang mana itu pasti tidak senada dan sealur dengan cara yang ditempuh Rasul sekaligus bertentangan dengan tuntutan misi serta konsekuensinya sebagai misi yang ditegakkan guna melenyapkan pertentangan spiritual antara masyarakat yang kala itu terpecah menjadi puak-puak dan blok seperti antara kelompok Muhajirin dan Anshar (masyarakat pendatang dan penduduk asli), antara suku besar Quraisy dengan suku-suku lain, begitu juga antara penduduk kota Makkah dan penduduk kota Madinah.

Bahaya-bahaya tersebut akan lebih menakutkan bila kita sisipkan faktor oknum-oknum (Kaum Munafikin) apalagi setelah kita ketahui bahwa jumlah mereka bertambah banyak setelah kota Makkah ditaklukkan, yang mana penaklukan itu membuat orang-orang Quraisy ketakutan dan mengucapkan secara terpaksa dua kalimat Syahadat. Bahaya-bahaya ini tidak hanya menimpa masyarakat dan mengancam eksistensi Islam saja, tapi ini semua merupakan refleksi alami dari tidak-adanya seorang yang dapat menggantikan pemimpin agungnya yang wafat. Dan masyarakat pada saat itu tidak hanya kehilangan seorang pemimpin, tapi kehilangan pengasuh berkharisma tinggi yang bergelar Khatamul Anbiya pelengkap semua ajaran para Nabi.

Abu Bakar dengan alasan hendak menyelamatkan umat telah mengambil alih tampuk kekuasaan dengan gesit. Tindakan positif ini ia lakukan –katanya- demi masa depan dakwah dan kesinambungannya. Kekhawatiran dan kecemasan itu juga terlihat ketika beberapa orang berbondong-bondong menuju Umar bin Khatab sambil berteriak-teriak: "Sudikah Anda memimpin? Masyarakat sangat cemas akan kekosongan seorang pemimpin padahal saat itu situasi kondisi kembali stabil sejak upacara pelantikan dan penobatan Abu Bakar sebagai Khalifah"(Tarikh Ath-Thabari juz 5 hal. 26).

Kekhawatiran demikian juga melanda hati Umar. Hal ini terlihat dalam penunjukkannya kepada enam orang dari rekan-rekannya sebagai kandidat-kandidat terbatas jabatan Khalifah. Ini pertanda bahwa betapa besar kekhawatiran sahabat senior ini melihat dan membayangkan bahaya-bahaya yang timbul akibat kekosongan seorang pemimpin dan tidak-adanya pengganti berikutnya.

Umar sadar akan bahaya-bahaya dan gawatnya situasi jlka tidak ada seorang yang mengendalikan segera di hari sidang darurat Saqifah dan sadar akan efek negatif dari cara pembai'atan dan pemilihan Abu Bakar yang dilangsungkan secara mendadak itu. Kekecewaan tersebut tercermin dalam kesaksiannya pada detik terakhir dari sisa hidupnya. Kesaksian itu demikian bunyinya: "Pembai'atan Abu Bakar sebenarnya adalah serpihan api (penyelewengan), hanya saja Allah telah menjaga muslimin dari pengaruh buruk pembai'atan tersebut!" (Tarikh Ath-Thabari juz 3 hal. 42).

Abu Bakar sendiri pernah mengemukakan penyesalannya atas tindakannya yang tergesa-gesa menerima tawaran untuk memimpin. la mengutarakan alasan penerimaan hanya karena ingin menyelamatkan keadaan yang kritis dan karena ia dapat membayangkan betapa bahayanya jika tidak ada seorang yang menggantikan Nabi. Itu tergambar dalam keterangan yang diberikannya: Rasulullah meninggal pada saat masyarakat masih baru menanggalkan busana pengaruh jahiliyah mereka dan memasuki hidup baru. Aku khawatir masyarakat akan kacau balau dan sesat, sedangkan sahabat-sahabatku tak peduli yang sebaliknya menggantungkan tanggung jawab ini kepadaku saja (Syarah Nahjul Balaghah Juz 6 hal.42).

Jadi, apabila hal-hal diatas semua benar dan terbukti, maka tak ayal lagi bahwa Rasulullah akan lebih arif memikirkan dan merasakan efek dan bahaya yang akan timbul akibat dari sikap pasif tersebut. Beliau tentu lebih mengerti tuntutan dan langkah apa yang harus diambil demi upaya pembenahan dan operasi perombakan yang dirintisnya sendiri terhadap masyarakat Islam yang baru kemarin meninggalkan jahiliyah yang sejak berabad-abad menjadi sistem hidup mereka sebagaimana diutarakan oleh Khalifah Abu Bakar bin Abu Quhafah ra.

DASAR KEDUA: Bahwa Rasul mengambil sikap pasif demikian atas dasar bahwa tugas utama beliau adalah mengawal Dakwah Islamiah dan berhenti pada masa wafatnya. Maka sekali pun beliau menyadari akan efek negatif dari sikap pasif itu tapi beliau tidak merasa bertanggung jawab memikirkan masa depan dan prospek misi yang diembannya. Yang penting baginya adalah menjaga dakwah pada masa hidupnya dan telah dapat memetik keuntungan bagi pribadinya.

Dasar kemungkinan dan interpretasi sikap pasif dengan keterangan demikian tidak relevan dan tidak sesuai dengan kriteria sebagai pribadi pemimpin ideologi dan bijaksana. Apalagi kita memandangnya sebagai Nabi termulia yang mempunyai hubungan supernatural dan halus dengan Allah SWT secara langsung dalam mengatasi segala urusan yang berkaitan dengan misi Risalah selaku pemimpin unggul yang merupakan manifestasi sempurna bagi seluruh kriteria dan wadah yang berisikan segala macam sifat dan syarat-syarat seorang pemimpin yang handal dalam ketulusan, loyalitas, kesetiaan, pengorbanannya yang tak terhingga dalam mensukseskan dakwah.

Terbukti dalam buku-buku sejarah bahwa ketika Rasulullah hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir di atas ranjang dan pada saat yang paling kritis dan pada saat rasa sakitnya mencapai klimaks beliau masih merasa bertanggung jawab untuk menyiapkan satuan perang yang memang sejak sebelumnya telah direncanakannya untuk segera diberangkatkan di bawah pimpinan komandan Usamah bin Zaid yang telah ditunjuknya meninggalkan kota Madinah menuju medan tempur. Berulang-ulang beliau berteriak sambil menyeru dengan nada jengkel dan marah: Siapkan pasukan Usamah! Satuan tempur Usamah harus segera bertolak! (Tarikh AI-Kamil karya Ibnu Atsir).

Betapa besar perhatian Nabi pada masalah-masalah militer sedangkan pada saat itu, agar segera bertemu dengan Kekasihnya dan meninggalkan masyarakat yang telah dibinanya untuk selamanya. Beliau tahu bahwa beberapa saat lagi beliau akan meninggal dunia. Namun detik-detik terakhir dari sisa hidup itu tidak menghalangi atau mengurungkan tekad dan tanggung-jawabnya meskipun beliau tahu hasil dan akhir dari pertempuran yang diserukannya itu menang atau kalah.

Jika demikian perhatian beliau pada masalah militer, bukankah suatu anggapan yang tidak relevan dan nihil sekali bila dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAWW tidak memikirkan masa depan dakwah secara keseluruhan, yang mana urusan militer merupakan salah satu dari aspek-aspek dan penunjangnya. Memalukan sekali bila kita beranggapan bahwa beliau tidak memperhitungkan dan mengukur bahaya-bahaya yang kemungkinan dapat menggangu kelangsungan dakwah.

Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Rasul pada detik-detik yang paling mendebarkan di akhir hidupnya sudah cukup akurat untuk memberikan bukti konkrit yang menolak mentah-mentah alternatif jalan pertama sekaligus merupakan gambaran yang cukup jelas bahwa Rasul tidak sepicik dan senaif apa yang mereka bayangkan dan perkirakan bahwa Nabi tidak peduli akan prospek dan nasib dakwah. Di samping itu terdapat sebuah teks hadis yang disepakati oleh kalangan Syi'ah dan Sunni, demikian terjemahan riwayat itu:

Ketika Rasulullah hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir dan segera menemui Kekasihnya Yang Maha Kuasa, sedang pada saat itu ada beberapa orang yang berada dalam rumah beliau termasuk sahabat Umar bin Khatab, beliau meminta dengan suara parau tersendat-sendat sambil menahan rasa sakit dan nyeri: "Berikan padaku selembar kertas dan tinta. Aku tuliskan untuk kalian semua sebuah pusaka tulisan yang mana jika kalian mematuhi isinya, maka pasti kalian tidak sesat setelah aku tinggal pergi" (Musnad Ahmad bin Hanbal juz 1 hal. 300, Shahih Muslim An-Naisaburi juz 2 Bab AI-Washaya dan Shahih Bukhari juz 1 Kitab An-Nikah).

Usaha yang dilakukan Rasulullah ini dengan jelas menunjukkan bahwa beliau memikirkan dan prihatin akan bahaya-bahaya yang mengancam masa depan dakwah serta menyadari sepenuhnya akan betapa pentingnya menggariskan suatu konsep dan tajuk rencana kerja guna menyelamatkan umat dari penyimpangan sekaligus guna melindungi proyek tersebut dari kemandekan dan kegagalan. Bertolak dari sini kita dapat berkesimpulan bahwa tidak mungkin Rasul bersikap pasif dan dingin terhadap prospek dakwah.

ALTERNATIF KEDUA: JALAN KEDUA YANG MUNGKIN DITEMPUH RASUL
Rasulullah merencanakan beberapa langkah dan terobosan demi masa depan dan pengembangan dakwah setelah wafatnya dengan bersikap positif dan tanggap terhadap prospek misinya, yaitu dengan menciptakan sistem negara dan pemerintahan atas dasar syura (musyawarah) yang diperankan oleh generasi Muhajirin dan Anshar. Kedua kelompok revolusioner tersebut dijadikan sebagai tulang punggung pemerintahan dan bertindak selaku motor dakwah dan pembangunan dakwah itu sendiri dalam setiap proses perkembangannya.

Untuk lebih jelasnya, kita bawakan beberapa alasan dalam keterangan sebagai berikut: Seandainya Nabi menaruh perhatian dan bersikap tanggap terhadap masa depan dakwah dengan berlandaskan konsep pemerintahan syura setelah wafatnya dan menjadikan syura sebagai dinding pelindung proyek pembinaan dakwah itu semuanya benar, maka semestinya Rasul menggalakkan upaya pengkaderan secara intensif tentang konsep syura dengan segala batas-batas dan garis-garisnya sekaligus mengesahkannya sebagai sistem tunggal yang dibenarkan dan sangat luhur dalam Islam, sebab masyarakat pada saat itu merupakan masyarakat yang sejak berabad-abad hidup di bawah pengaruh sukuisme, rasialis dan tidak mengenal sama sekali sistem permusyawaratan. Mereka telah tumbuh mekar di bawah pengaruh Qabilahisme yang memprioritaskan faktor kekuatan fisik, kekayaan dan faktor warisan leluhur.

Dengan mudah kita dapat menyadari bahwa Nabi belum pernah terbukti dalam sejarah hidupnya telah mengadakan operasi penataran sistem syura secara lengkap dengan segala batas-batas dan kerangkanya, sebab kalau memang beliau melakukan hal itu, maka itu pasti tercermin dalam sabda-sabda dan prilaku dan pola pikir masyarakat atau sedikitnya terpantui pada tingkah laku dan cara berpikir generasi senior Muhajirin dan Anshar selaku pengawal Revolusi elite, tegas dan bertanggung jawab menerapkan sistem tersebut sebagai sistem negara yang konon dicetuskan dan disahkan oleh Nabi sebagai pemerintahan. Namun itu semua tidak terbukti dalam kenyataan hidupnya serta tidak terkesan dalam hadis dan sabda-sabda beliau. Hadis-hadis Nabi tidak pernah berbicara dan menerangkan secara lengkap dan serius tentang sistem syura, disamping itu secara keseluruhan tindakan Muhajirin dan Anshar tidak memberi kesan bahwa mereka memahami seluk-beluk sistem syura yang mereka katakan dan elu-elukan.

Masyarakat sahabat saat itu terbagi menjadi dua partai yang saling bertentangan: Golongan yang berkiblat kepada Ahlul Bait a.s. (Keluarga Rasul) dan Golongan yang dipelopori oleh beberapa tokoh sahabat yang turut menghadiri Sidang Darurat Saqifah. Prinsip dan garis pemikiran golongan pertama ialah berpegang teguh pada konsep wishayah dan imamah, memprioritaskan faktor kerabat sebagai salah satu dasar karena bukanlah sistem utama dalam Islam dan kenegaraan.

Prinsip dan garis pemikiran golongan kedua ialah bersikeras bahwa syura adalah sistem pemerintahan Islam setelah Nabi meninggal dunia, tapi pola pikir dan tingkah laku serta semua kebijaksanaan politik golongan berkuasa ini tidak senada dengan syura yang mereka dengungkan sebagai sistem tunggal dalam pembentukkan suatu pemerintahan dalam Islam. Terbukti bahwa mereka sendiri tidak konsekuen dengan prinsip syura tersebut sekaligus kurang konsisten dengan sumpah setia Saqifah, baik pada masa hidup Nabi maupun setelah beliau wafat. Abu Bakar pada detik-detik terakhir dari sisa hidupnya di atas pembaringan menunjuk rekannya, Umar bin Khatab sebagai penggantinya memangku jabatan kekhalifahan dalam selembar surat Kenegaraan yang ditulis oleh Utsman bin Affan (selaku Sekretaris Negara). Demikianlah maksud dari pada isi surat itu:

"Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Berikut ini Abu Bakar selaku Pengganti Rasulullah berpesan kepada para mukminin dan muslimin. Salam sejahtera bagi kalian. Saya haturkan puji syukur ke Hadirat Allah demi kalian semua. Bersama ini, saya dengan resmi telah menunjuk rekan saya yang bernama Umar putra Khattab sebagai pemimpin. Maka harapan dan himbauan saya ialah semoga hendaknya kalian mendengar dan mematuhinya. Sekian".

Setelah penulisan itu selesai, Abdurrahman bin Auf masuk dan begitu ia mendengar berita penunjukkan telah dilaksanakan ia langsung protes sambil berkata kepada Abu Bakar: Hai Khalifah! Bagaimana Anda ini sebenarnya? Abu Bakar menjawab dengan nada bertanya: Kenapa kalian semua memprotes penunjukkan itu dan menambah berat bebanku lalu masing-masing menuntut jabatan itu (Tarikh Al-Ya'qubi juz 2 hal. 126-27).

Pengangkatan yang dilakukan Abu Bakar dan sikap protes Abdurrahman bin Auf ini membuktikan bahwa sang Khalifah sendiri tidak memahami secara mendalam tentang logika sistem syura, juga menunjukkan bahwa ia sendiri tidak merasa berhak menunjuk atau mengangkat seseorang sebagai pemimpin secara absolut di antara sekian banyak sahabat lainnya. Sang Khalifah tidak mempunyai pemahaman bahwa pengangkatan demikian semestinya secara otomatis menuntut konsekuensi dan loyalitas masyarakat muslim agar taat dan mematuhinya tidak perlu sampai Abu Bakar menghimbau rakyat agar mematuhi pemimpin baru mereka. Surat pengangkatan resmi yang dikeluarkan Abu Bakar itu bukan hanya sekedar usul atau buah pendapat biasa, namun surat tersebut bernada perintah dan ketetapan yang bersifat absolut dan tak dapat diralat atau diganggu-gugat.

Terbukti, Umar juga merasa berhak mengangkat secara individu seorang pengganti dengan cara menunjuk enam rekannya sebagai calon-calon tetap dan terbatas dan orang-orang yang diluar enam anggota calon itu hanya berhak mendengar, menonton dan puas dengan hasil saja. Suara orang ketujuh di situ tidak akan digubris. Pengangkatan versi Umar ini jelas tidak berdasarkan syura yang pada dasarnya mengutamakan faktor pengambilan suara terbanyak. Penunjukkan yang dilakukan Umar tidak terlalu berbeda dengan gaya penunjukkan Abu Bakar kepadanya pada masa akhir hidupnya di atas ranjang. Kedua-duanya tidak konsekuen pada nilai dan tuntutan permusyawaratan yang ideal, yang mana sebelumnya selalu mereka gunakan sebagai alat dan alasan dalam berkampanye pada sidang Saqifah. Ketika ditawari jabatan kekuasaan oleh masyarakat, Umar pernah bergumam: Aku harus jadi pemimpin sekali pun Muhajirin menolak.

Para Muhajirin tak kalah gertak sambil berteriak lantang: "Kami adalah orang-orang diantara sekian banyak muslimin yang pertama kali memeluk Islam, kemudian jejak kami ditiru oleh orang-orang lain. Kami juga kerabat Rasul dan golongan ningrat Arab!" Dan ketika kelompok Anshar mengajukan usul pemerintahan koalisi dengan dua pemimpin yang bergantian dalam jangka masa jabatan tertentu dari pihak Muhajirin dan Anshar, Abu Bakar segera menolak seraya berkata: Tatkala Rasulullah diutus, saat itu kebanyakan masyarakat Arab merasa berat sekali untuk mencampakkan ajaran nenek moyang mereka. Sedangkan kami saat itu (Muhajirin maksudnya) dipilih oleh Allah dan diistimewakan dari pada seluruh orang karena kami berani membenarkan semua ajaran yang dibawa dan disebarkannya. Kami adalah orang-orang dekat dan kerabat beliau sekaligus orang-orang yang berhak dan pantas memegang kekuasaan setelah wafatnya daripada selain kami. Dan yang berani membantah atau memprotes atau merebut maka mereka adalah orang-orang yang zalim.

AI-Khabbab bin Al-Mudzir dalam pesannya kepada kubu Anshar telah berkata: "Bersatulah! Orang-orang lain sedang menganiaya dan hendak merampas hak kalian. Jika mereka tetap bersikeras untuk menolak, maka kita akan menunjuk dua pemimpin dari pihak kita dan pihak mereka." Sikap Al-Khabbab tidak mendapatkan respon dan tanggapan positif dan gagasannya langsung ditolak mentah-mentah oleh Umar dengan ucapannya: "Tidak mungkin satu negara dikendalikan oleh dua pemimpin ibarat dua pedang dalam satu sarung. Siapa yang berani merebut kepemimpinan Muhammad dari tangan ahli-ahli warisnya, sedangkan kami adalah orang-orang terdekat dan kerabatnya, orang yang masih berniat merebut adalah orang-orang yang siap musnah dan celaka".

Cara penunjukan yang dilakukan oleh Khalifah Pertama dan Khalifah Kedua, kemudian sikap pasif masyarakat terhadap cara tersebut dan pada pikir generasi Anshar dan Muhajirin berikut ungkapan-ungkapan dan strategi yang digunakan Muhajirin dalam upaya memonopoli kekuasaan dan wewenang terbatas bagi kalangan mereka sendiri sekaligus langkah-langkah Muhajirin sendiri dalam mendiskreditkan Anshar dan tidak mengikutsertakan mereka dalam pesta kekuasaan, lalu faktor propaganda dan luapan-luapan sentimentil berbau kesukuan dan kesombongan yang dikampanyekan dan disuarakan di Gedung Pertemuan Tertutup Saqifah Bani Sa'idah, seperti luapan sombong yang menyerukan:

Kami semua adalah masyarakat elite dan ningrat bangsa Arab dan kami adalah kerabat Rasulullah! Juga kesediaan dan kebulatan tekad kedua belah pihak; Anshar dan Muhajirin dan penyesalan Abu Bakar yang telah memenangkan kompetisi khilafah pada detik-detik terakhir dari masa hidupnya bahwa sangat menyesal sekali "Mengapa dulu tak pernah kutanyakan pada beliau mengenai siapa yang sebenarnya berhak dan pantas mengaku jabatan khalifah" Itu semua membuktikan dengan jelas bahwa generasi Muhajirin dan Anshar termasuk pribadi-pribadi yang berhasil mengambil alih tampuk kekuasaan belum memiliki gambaran yang luas dan pengetahuan yang mendasar tentang konsep dan seluk beluk syura secara sistematis. Bagaimana mungkin kita beranggapan bahwa Rasulullah telah menggalakkan penataran syura secara konsepsional dan bahwa beliau telah mempersiapkan dengan matang generasi Muhajirin dan Anshar untuk mengendalikan pemerintahan dan mengemban tugas penyebaran missi dalam konteks sistem syura, sedangkan kita sendiri belum pernah menemukan realita daripada sistem tersebut dalam sepak terjang dan corak berpikir masyarakat Islam waktu itu. Kita juga tidak beranggapan bahwa Rasul telah menggariskan konsep syura secara sempurna dalam batas hukum dan pemahamannya. Juga tidak terbukti beliau mengkader dan mengajarkannya secara sistematis dan sempurna kepada masyarakat muslimin. Dan semua yang telah dilaksanakan Nabi dalam segala aspek kehidupannya telah menunjukkan kepada kita bahwa beliau belum pernah memaparkan syura sebagai konsep dan sistem yang baru kepada masyarakat, sebab tidak mungkin konsep itu lenyap begitu saja dalam realitanya bila memang benar-benar telah dihidangkan sebagai konsep yang harus diterapkan dan dijadikan sebagai cara untuk membentuk pemerintahan baru. Kenyataan tersebut dapat kita lihat dengan jelas melalui keterangan sebagai berikut:

[1] Sistem pemerintahan syura adalah sistem yang serba baru dan mengejutkan bagi lingkungan dan kondisi muslimin pada awal kebangkitan Islam. Jika Rasul hendak membangun sistem baru, maka konsekuensinya adalah semestinya menyodorkannya secara mendalam. Dan hingga saat ini belum terbukti Rasul mengajarkannya kepada masyarakat dengan konsep syura tersebut.

[2] Syura sebagai konsep yang peka dan prinsipil tidak cukup hanya dibeberkan dengan begitu saja. Sebab jika hanya demikian halnya, mungkin saja syura itu pernah dipaparkan tidak secara sempurna dan mendetail tanpa batas-batas yang jelas dan perincian yang sempurna tentang kriteria-kretria calon khalitah yang akan dipilih, dan syarat serta tolok ukur pemilihan; apakah pemilihan tersebut berdasarkan pada jumlah dan kwantitas ataukah berdasarkan mutu kepandaian dan kriteria-kriteria lainnya yang dapat dijadikan gambaran dan batas-batas konsep-konsep tersebut sehingga dapat dengan mudah diterapkan dan direalisasikan begitu Rasulullah wafat.

[A] Pada hakekatnya syura itu dapat dikategorikan sebagai tindakan masyarakat yang bertujuan membangun pemerintahan yang berdasarkan pada sistem permusyawaratan dan berusaha bertindak menentukan nasib sendiri. Ini merupakan tanggung-jawab bersama setiap orang yang tergolong sebagai anggota tetap Sidang Permusyawaratan. Dan ini berarti jika konsep dan sistem negara semacam ini sah dan dibenarkan Syari'at, maka tugas para sahabat dan masyarakat pada saat itu meyakini bahwa konsep tersebut sebagai sistem pemerintahan dan segera dijalankan tepat pada saat Rasul menghembuskan nafas harumnya yang terakhir. Dan perlu diketahui, pemilihan demikian tidak terbatas bagi beberapa gelintir orang saja (sebagaimana yang terjadi dalam sidang terbatas Saqifah), sebab masyarakat semuanya harus dilikutsertakan dan setiap muslim memiliki hak suara. Usul mereka sangat penting dan dibutuhkan sekali demi suksesnya pemilihan umum, dan sebaliknya masyarakat harus merasa berkepentingan dan bertanggungjawab mensukseskannya.

Atribut-atribut di atas telah menjabarkan bahwa jika Nabi telah dengan resmi memprakarsai syura sebagai konsep dan cara yang sebenarnya bagi pembentukan sebuah pemerintahan baru setelah beliau, maka semestinya beliau –selaku pemimpin dan pembina masyarakat yang arif dan bijaksana- memaparkan konsep tersebut dengan mendetail dan bukan hanya membeberkannya, bahkan harus mempersiapkan dan memupuk mental dan jiwa yang kokoh serta menutupi setiap lubang atau celah dan menatar mereka sedemikian rapih dan sempurna dalam aspek; segi kuantitas dan kualitas serta mutu pemahamannya. Tidak mungkin konsep penting itu hilang dan cair begitu saja di tengah-tengah masyarakat sejak pemimpin mulia mereka meninggal dunia.

Mungkin juga bisa dianggap bahwa Nabi pernah menyodorkan konsep syura secara wajar dan sesuai dengan bentuk dan kadar yang dibutuhkan oleh kondisi, kualitas dan kuantitas, sehingga masyarakat muslim dapat mencerna dan menjangkaunya, hanya saja faktor-faktor politik secara tiba-tiba telah menutupi kenyataan yang sebenarnya. Faktor-faktor tersebut telah memaksa masyarakat untuk menyimpan dan merahasiakan apa yang mereka dengar dari Nabi tentang konsep syura serta hukum dan perinciannya. Tapi anggapan semacam ini tidak praktis, sebab faktor tersebut bagaimanapun kandungannya tidak berkaitan secara langsung dengan muslimin kelas bawah yang terdiri dari lapisan masyarakat sahabat yang tidak diberi bagian dan peran dalam percaturan serta kejadian-kejadian politik yang timbul pada hari-hari setelah Nabi wafat dan tidak ikut menghadiri sidang darurat Saqifah atau tidak berperan dalam sidang tersebut. Sikap mereka adalah sikap penonton yang tenang dan menerima apa yang ada. Perlu dicamkan baik-baik bahwa mereka adalah kelompok masyarakat mayoritas.

Seandainya syura itu dipaparkan oleh Rasul sesuai dengan kerangka dan bentuk yang diharapkan, maka konsep tersebut tidak hanya didengar oleh beberapa orang daripada sahabat tapi juga didengar dan diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat dan tentu terpantul secara alamiah dalam cara dan tindakan kelompok biasa dari para sahabat tepat seperti terpantul dari sabda dan hadis-hadis Rasul tentang keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib dalam cara dan tindakan para sahabat, sekalipun itu bertentangan dengan garis pemikiran dan kondisi pada saat itu. Begitu juga halnya dengan konsep syura, yang tidak terefleksi dalam cara berpikir mereka bahkan mereka sendiri saling berselisih pendapat tentang berbagai sikap politik, yang kemudian perselisihan tersebut disusul dengan terpecahnya orang-orang yang selalu mengelu-elukan syura menjadi beberapa golongan, yang mana setiap golongan meneriakkan syura dan mengaku golongannya sebagai golongan yang konsekuen dengan nilai dan konsep tersebut. Mereka jadikan syura sebagai alibi dan senjata guna mencapai kepentingan politis masing-masing. Sekalipun demikian halnya, mereka semuanya tidak konsekuen dan setia dengan konsep yang mereka obral dan gembor-gemborkan dan mereka sendiri tidak merealisasikannya sebagai sistem dalam membentuk sebuah negara dan pemerintahan, sebagai konsep yang memang telah dicanangkan Nabi. Kenyataan ini terlihat dengan jelas dalam sikap sahabat Thalhah terhadap penunjukkan Khalifah Abu Bakar dan kekesalannya terhadap penunjukkan tersebut dengan menggunakan syura sebagai senjata untuk menolak dan memprotes aksi penunjukkan itu. Thalhah mengecam sikap dan tindakan Abu Bakar itu sebagai tindakan gegagah yang bertentangan dengan pesan dan konsep serta cara bermusyawarah yang telah digariskan oleh Rasulullah SAWW.

Jika memang benar, Nabi telah memupuk dan merubah generasi pertama Muhajirin dan Anshar menjadi penegak dan penyebar-penyebar dakwah dan sebagai generasi yang bertanggung jawab mengembangkan proyek perombakkan, maka sebagai konsekuensinya Rasul seharusnya memobilisasikan dan mempersiapkan secara matang generasi tersebut dalam intelektualitas dan loyalitas agama, sehingga dapat memegang erat-erat teori ini kemudian menerapkannya dengan penuh kesadaran dan pengetahuan yang dalam serta menjadikan pedoman-pedoman petunjuk Rasul sebagai satu-satunya penyelesaian kesulitan-kesulitan yang dapat menghambat kelancaran dan gerak lajunya program penyebaran dakwah setelahnya. Apalagi telah kita ketahui bahwa beliau sudah seringkali memberi kabar gembira akan tiba saat tumbangnya Monarki Kisra dan Kaisar. Itu semua pertanda bahwa proyek dakwah kelak setelah beliau wafat akan menghadapi kesuksesan yang gemilang dan isyarat bagi masyarakat bahwa jumlah ummat Islam akan bertambah banyak dan tanah kekuasaan mereka akan meluas dan membentang ke beberapa penjuru dunia dan pada saat –sebagai akibatnya- ummat muslim akan menghadapi dan memikul beban mengajari dan mengenalkan Islam kepada bangsa-bangsa lain yang baru memeluk agama Islam.

Kabar gembira itu adalah merupakan peringatan bahwa muslimin akan menghadapi bahaya-bahaya dan pengaruh buruk yang timbul akibat dari meluasnya tanah-tanah dan daerah kekuasaan Islam. Masyarakat juga akan mengemban tugas berat mempraktekkan hukum dan memenuhi tuntutan penerapan syari'at di atas daerah-daerah yang telah ditaklukkan dan bertugas menghimbau penduduk-penduduk daerah setempat agar mematuhi dan men-jalankannya. Kita masih beranggapan –hingga saat ini- bahwa generasi awal kebangkitan Islam Muhajirin dan Anshar adalah generasi yang terbersih dan yang paling mampu mengemban tugas menjaga proyek dakwah serta lebih loyal dan siap untuk berkorban. Tapi gambaran tentang adanya upaya memobilisasi dan pemersiapan yang matang tentang cara dan konsep yang jelas guna menjaga kelancaran dan mensukseskan program penyebaran dakwah itu tidak terlihat pada tingkah laku dan cara berpikir mereka. Dan tidak terlihat juga tentang adanya suatu operasi penataran dan indoktrinasi yang intensif tentang konsep syura. Dan kertas sederhana ini tidak cukup untuk memuat semua pembuktian-pembuktian tersebut, terlalu banyak untuk dijelaskan.

Terbukti, bahwa sabda-sabda Rasul yang dibawakan oleh para sahabat tidak lebih jumlahnya daripada beberapa hadis saja. Padahal jumlah mereka melebihi dua belas ribu orang sebagaimana yang termaktub dan tercatat dalam buku-buku hadis dan sejarah. Padahal Nabi sempat hidup bermasyarakat bersama sekitar ribuan dari mereka di satu tempat dan di satu masjid setiap pagi dan sore. Apakah dalam fenomena ini terlihat adanya tanda atau gejala persiapan dan pengkaderan konsep syura secara matang!? Yang jelas adalah bahwa kebanyakan para sahabat merasa risi dan enggan memulai membuka dan mengajukan sebuah pertanyaan kepada Nabi, sampai-sampai –karena malasnya- salah satu dari mereka betah menunggu berjam-jam saat kedatangan seorang Badui yang hidup di luar kota Madinah lalu menanyakan suatu masalah kepada beliau. Sehingga dengan begini sahabat malas ini dapat mendengar jawabannya. Adalah suatu tindakan yang arogan –dalam tradisi mereka- bila seseorang menanyakan suatu tentang hukum masalah yang belum pernah mereka temukan dan terjadi!

Umar bin Khattab pernah berkata di atas mimbar: "Demi Allah! Saya kesal terhadap orang yang menanyakan sesuatu yang belum terjadi. Tugas Nabi adalah menjelaskan hukum masalah yang sudah terjadi" (Sunan Ad-Darimi 1/50). Abdullah bin Umar ketika ditanya sesuatu perkara yang belum pernah terjadi berkata: "Janganlah sesekali menanyakan masalah yang belum pernah terjadi, sebab saya pernah dengar Rasulullah mengutuk sesiapa yang suka menanyakan sesuatu hal yang belum pernah dialami" (Sunan Ad-Darimi 1/50). Ubay bin Ka'ab pernah berkata kepada seorang yang menanyakan sebuah masalah kepadanya: "Hai anakku! Adakah masalah yang kau tanyakan padaku itu sudah terjadi? Orang itu menjawab: Belum! Lalu Ubay berkata: Jika belum pernah terjadi, maka jangan tanyakan dulu sampai hal itu terjadi" (Sunan Ad-Darimi 1/56).

Pada suatu hari Umar mengaji Al-Quran sampai terhenti pada ayat yang berbunyi: "Anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun lebat dan buah-buahan serta abb (rumput-rumputan) untuk kesenangan dan untuk bmatang-binatang ternakmu"[ Q.S; 80:28-32). Lalu ia berkelakar: "Semua arti ayat ini saya tahu. Tapi apa arti "abb" disini? Kemudian ia berkata: "Demi Tuhan ini berarti mencari kesulitan sendiri (dengan mencari arti) sebenarnya kalimat "abb". Jika Anda tidak tahu akan arti kalimat "abb" yang sebenarnya, maka tinggalkan dan ikutilah kalimat lain yang sudah Anda ketahui dalam Kitab ini. Adapun kalimat yang tidak Anda ketahui artinya maka serahkan saja kepada Tuhan. Tampak sekali betapa malas dan beratnya hati mereka menanyakan masalah-masalah yang tidak benar-benar berkaitan dengan mereka sehari-hari. Sikap demikianlah yang menyebabkan garis pemikiran ini akhirnya kehabisan dalil dan hukum yang jelas. Itulah sebabnya mereka membutuhkan sumber-sumber lain –disamping Sunnah Rasul dan Al-Quran- seperti Qiyas, Istihsan dan lainnya, yang mana kesemuanya itu merupakan faktor dan dasar-dasar utama seorang mujtahid, yang mana hal ini sedikit banyak telah menyihir seorang untuk bertindak nekad dan ceroboh mengambil kesimpulan sebuah hukum baru.

Sikap dan cara berpikir golongan kedua ini sama sekali tidak memantulkan adanya upaya penggemblengan dan penataran yang cukup tentang konsep syura bagi generasi perintis Islam dan membuktikan dengan jelas bahwa mereka tidak tahu menahu tentang batas-batas syari'at yang dapat menangani kesulitan-kesulitan yang akan menimpa generasi pertama tersebut.

Para sahabat tidak hanya malas dan enggan memulai membuka pertanyaan kepada Rasul tapi mereka juga enggan membukukan hadis-hadis beliau, yang merupakan sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an. Padahal pembukuan itu adalah cara satu-satunya untuk menjaga dan melestarikan peninggalan dan hadis Rasul dari segala macam penyelewengan letak, jumlah, pengertian harfiah dan lain-lainnya dan agar tidak punah dan lenyap. AI-Harawy pernah membawakan sebuah hadis (yang mencela berbicara melalui) Yahya bin Sa'ad dari Abdullah bin Dinar, ia berkata: Para sahabat begitu juga para tabi'in tidak pemah mencatat hadis-hadis mereka tetapi mereka dapat mengutarakan secara harfiah. Bahkan Khalifah Umar –sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dalam bukunya Ath-Thabaqat- dilanda kebingungan memikirkan sikap bagaimana yang paling baik untuk menghadapi Rasul. Kebingungan tersebut menyibukkan pikiran sang Khalifah hampir selama satu bulan, kemudian ia mengumumkan keputusan resmi melarang siapa pun membukukan sabda dan sunnah Nabi. Kemudian –yang merupakan sumber terpenting kedua dalam agama Islam- menjadi tak jelas nasibnya, ada yang dilupakan, ada yang dinon-fungsikan, ada yang dihapus, ada yang menjadi korban kepentingan politik dan ada yang dirubah penafsiran, jumlah materi, letak dan perawinya. Akhirul hikayah hadis-hadis tersebut ikut wafat tertanam di kepala orang-orang yang hafal dan merahasiakannya di liang lahat setelah dia wafat.

Sebaliknya, aliran yang berorientasi kepada Ahlul Bait a.s. serta ajarannya tetap tekun membukukan hadis-hadis dari pertama. Itulah sebabnya mengapa buku-buku riwayat golongan Syi'ah menjadi berlimpah ruah dan berjilld-jilid serta penuh dengan riwayat dan hadis-hadis yang dibawakan oleh imam-imam dari keluarga suci Rasul yang ditulis Imam Ali dengan didikte Rasul. Dalam buku-buku tersebut akan Anda temukan ribuan riwayat dari Ahlul Bait a.s. dan Sunnah-sunnah Rasulullah SAWW. Apakah generasi yang malas menanyakan hal-hal yang mereka tidak ketahui dan enggan membukukan hadis-hadis pemimpin mereka itu pantas dan mampu memimpin dan mengemban risalah dalam segala proses perkembangannya yang amat sulit dan mengkhawatirkan. Lalu apakah logis dan pantas kita beranggapan bahwa Nabi telah meninggalkan sunnah-sunnahnya berserakan dan terbengkalai begitu saja tak tertulis, padahal kita semua tahu beliau selalu mengajarkan umatnya menjalankan sunnah-sunnah tersebut!?

Apa mungkin ini dapat dipraktekkan tanpa dibukukan? Atau jika memang benar Rasul memprakarsai konsep syura, maka semestinya beliau menggambarkan dengan jelas undang-undang dan semua masalah yang berhubungan dengan konsep tersebut dan mengatur serta menjuruskan sunnahnya sedemikan rupa, sehingga dengan mudah konsep tersebut diterapkan dan berjalan sesuai dengan metode dan strategi yang telah digariskan sehingga tak dapat disalah-gunakan dan disetir atas kehendak setiap orang. Bukankah anggapan satu-satunya yang rasional adalah Rasul bersikap positif-aktif terhadap prospek dan kelangsungan proyek pengembangan dakwah setelahnya dan mempersiapkan seorang kader istimewa dan berbobot. Ali bin Abi Thalib sebagai tempat kembali dan rujukan serta pemimpin setelah beliau dan mengajarkannya dengan segala nilai serta isi sunnah beliau. Seorang tokoh muda andalan yang mana tingkat intelektualnya dan kepandaiannya –sebagaimana yang disebutkan Nabi- mengupas ilmu dalam setiap bab menjadi seribu macam ilmu.

Kejadian dan perkembangan yang terjadi setelah Nabi wafat telah membuktikan bahwa generasi yang terdiri dari kelompok Muhajirin dan Anshar tidak mempunyai pengetahuan yang luas dan pemahaman yang cukup dan dapat diandalkan dalam mengatasi problema-problema yang menganggu gerak majunya program penyebaran dakwah, sampal-sampai penaklukan dan pembebasan yang menghasilkan tanah-tanah yang sangat luas sempat membingungkan pikiran sang Khalifah tentang gambaran dan hukum yang jelas untuk menangani pembagian tanah-tanah penaklukan tersebut; apakah dibagikan antar pasukan yang ikut menaklukan atau dibagikan sama rata antar kaum Muslimin semua.

ALTERNATIF KETIGA: YANG DITEMPUH RASUL DEMI KELANGSUNGAN MISINYA
Adalah cara satu-satunya yang rasional dan selaras dengan hukum pasti bagi kondisi yang ada pada dakwah itu sendiri, kondisi juru-juru dakwah yaitu bersikap positif terhadap masa depan dakwah setelahnya serta memilih dari sekian banyak sahabat (berdasarkan keputusan resmi dari Allah melalui Nabi-Nya) sebagai calon utama dan tunggal pengemban dakwah dalam perjalanan setelah beliau meninggal. Dan Nabi bertugas mengisinya dan mengajarkannya segala macam ilmu dan bahan-bahan yang diperlukan bagi seorang pemimpin yang bertugas seperti Nabi sendiri memimpin Umatnya dan mempersiapkan ketahanan mental dan loyalitas serta jiwanya sehingga mampu secara utuh menjalankan tugas sucinya menuntun perjalanan dakwah dan melanjutkan program pengembangan dakwah dan menyempurnakan proyek pembangunan pangkalan dan fondasi masa yang sadar dan kokoh dalam tubuh generasi yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar selaku pengawal-pengawal dan pihak-pihak yang bertanggung jawab memimpin masyarakat di bawah bimbingan seorang pemimpin kharismatik dan berbobot sekaligus mereka berkewajiban memimpin umat secara operasional setelah mencapai tingkat kesadaran dan loyalitas yang cukup untuk menerima tugas penting tersebut. Dan begitulah seterusnya.

Kita temukan cara dan jalan keluar ini adalah cara dan sikap satu-satunya yang diambil Rasul dalam menanggapi masa depan dan kelanjutan dakwah yang telah dirintisnya. Ini adalah cara yang efektif dan dapat menjamin keselamatan perjalanan dakwah setelahnya dan dapat melindungi proyek penyebarannya dari segala macam kelesuan dan gejala-gejala kegagalan dan penyelewengan dalam sepanjang tahap dan proses perkembangannya. Dan hadis-hadis mutawatir yang kita dapatkan dari Rasul menunjukkan bahwa beliau telah melakukan persiapan matang dalam segi dan intelektualitas dan loyalitas sebagian juru dakwah hingga mereka mencapai tingkat seorang kader dan pemikir serta tokoh politik. Rasul telah mempersiapkan mereka sebagai calon-calon pengemban masa depan dakwah. Itu semua merupakan tindakan Rasul dan cara ketiga yang pasti telah ditempuh Rasul dan membuktikan dengan jelas bahwa hal ini tidak bertentangan dengan hukum alam seperti yang telah kita ketahui bersama.

Dan Ali bin Abi Thalib adalah satu-satunya orang diantara beribu-ribu sahabat Nabi yang mempunyai peluang dan kemampuan serta kesempurnaan segala kriteria dan syarat-syarat penting seorang pemimpin. Dia adalah orang yang terpandai dan lebih arif dalam segala bidang daripada yang lainnya. Dia adalah Muslim pertama dan pejuang ksatria yang tidak bisa disamakan dengan siapapun yang gigih memperjuangkan misi Risalah dengan membasmi penghalang dan perintang jalannya dakwah. Dia adalah pribadi yang bersatu dan beradaptasi dengan seutuhnya dengan esensi Risalah. Dia dibesarkan di pangkuan mertua dan misannya, Nabi besar Muhammad saw. Dia adalah anak angkat yang selalu berada di sisi beliau. Hal mana pergaulan yang panjang ini menghasilkan adanya persenyawaan antar dua pribadi yang mulia itu. Ali telah lulus dengan predikat sangat dan terialu memuaskan berintegrasi secara menyeluruh terhadap nilai-nilai dan berbagai aspek kehidupan Rasul yang pada akhirnya mengistimewakan Ali diantara sekian banyak sahabat dan masyarakat lainnya.

Dan perjalanan hidup Rasul dan Imam Ali telah dengan jelas membuktikan bahwa Nabi telah menyelesaikan tugas utamanya dengan mempersiapkan Ali dari segala kebutuhan seorang pemimpin sebagai perjalanan dan masa depan misi yang telah dibawa oleh Rasul. Beliau telah memberikannya segala macam hikmah dan rahasia-rahasia ilmu bagi seorang kandidat pemimpin agung umat Islam, hingga terlihat perhatian beliau dengan cara mengajarkan-nya dengan cara empat mata dan cara yang tertutup. Memberinya gambaran-gambaran tentang berbagai halangan yang mungkin akan mengganggu gerak jalan dakwah setelah beliau. AI-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak membawakan sebuah riwayat dari Abi Ishaq yang demikian bunyinya: "Aku pernah bertanya kepada Al-Qasim bin Al-Abbas: Bagaimana sampai Ali dapat mewarisi segala sesuatu yang Rasul miliki? la menjawab: Ya, sebab ia adalah seorang muslim pertama dan yang paling teguh memegangnya."

Dalam kitab HilyatuI Awliya` tertulis sebuah riwayat yang telah dibawakan oleh Abdullah bin Abbas. la berkata: "Kami dulu pernah berbicara bahwa Nabi SAWW memberi Ali tujuh puluh wasiat (janji pusaka) yang mana tidak pernah beliau berikan kepada orang selainnya." An-Nasa'i meriwayatkan hadis melalui Ibnu Abbas yang ia dengar dari Ali ketika berkata: "Derajat dan posisiku di sisi Rasulullah di atas semua makhluk. Dulu aku selalu menemui Nabi di setiap malam. Bila beliau sedang melakukan shalat, maka bertasbih (isyarat kepada Ali agar langsung masuk ke rumahnya), lalu aku masuk. Bila beliau tidak sedang melakukannya, Rasul segera menyuruhku lalu aku masuk". Dalam riwayat tersebut Imam Ali berkata: "Di setiap hari aku mempunyai dua saat pertemuan istimewa dengan Nabi. Yaitu pada waktu petang dan pada waktu siang. Imam Ali dalam riwayat An-Nasa'i sendiri pernah berkata: "Dulu segala sesuatu yang kutanyakan dan kuminta penjelasannya, beliau pasti memberinya. Sebaliknya, bila aku pasif dan diam tak mengajukan pertanyaan, beliau pasti memulai bertanya kepadaku." Hadis ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak lis Shahihain yang menurut pendapatnya bahwa riwayat ini adalah setingkat shahih Ala Syarth As-syaikhain.

Dari Ummu Salamah dalam riwayat yang dibawakan An-Nasa'i; ia berkata: "Demi Zat Yang Ummu Salamah bersumpah dengan nama-Nya. Ali adalah orang yang terdekat dengan Rasul. Di saat Rasul hampir dicabut nyawanya, beliau (Ali) mengutus beberapa orang untuk menghadap kepada Rasulullah. Aku (Ummu Salamah) kira ia mengutus itu untuk suatu kepentingan tertentu. Sebelum Ali datang memenuhi panggilan Rasul tersebut, beliau bertanya: Sudah datangkah Ali? Pertanyaan itu beliau ulangi selama tiga kali. Lalu tak berapa lama Ali datang menemui beliau di waktu matahari belum terbit. Dengan kedatangan itu kami (Ummu Salamah dan sahabat lain) tahu apa yang sebenarnya yang Rasul ingin bicarakan. Lalu kami meninggalkan rumah beliau yang pada waktu itu Rasul tinggal bersama istrinya Aisyah. Aku (Ummu Salamah) orang terakhir yang meninggalkan rumah tersebut. Kemudian aku menyelinap di belakang pintu rumah itu. Dan jarak pintu dan aku sangat dekat sekali. Kulihat Rasul merangkulnya. Dan Ali adalah orang yang paling terakhir mendapat pesan. la mengelilingi Rasul dan meminta bantuannya."

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dalam sebuah ceramahnya yang sangat populer pernah berkata dan menerangkan hubungan istimewa yang terjalin antara pribadinya dengan Rasul serta perhatian beliau. Uraian Imam Ali a.s. itu demikian bunyinya: "Kalian sudah tahu posisi dan derajatku di sisi Rasulullah dan mengetahui hubungan kerabatku yang sangat dekat dan istimewa dengan beliau. Sejak kecil aku dipangku beliau. Aku didekapnya lalu digendongnya dan ditidurkan di atas ranjang. Lalu mencium dan menyentuh badanku dengan penuh kasih sayang. Beliau seringkali mengunyah sesuatu makanan lalu memasukkannya ke dalam mulutku. Beliau tidak pernah dapatkan aku berdusta dalam setiap ucapan dan tindakan dan aku tak pernah melakukan suatu kesalahan pun. Aku selalu mengikuti jejak dan meniru perilakunya bagai anak itik yang selalu meniru jejak induknya. Beliau setiap hari memupuk dan mendewasakanku dengan segala nilai dan budi pekerti serta selalu mengimbau agar aku terus mengikuti jejak dan perintahnya. Aku selalu menemani beliau setiap tahun di gua Hira. Di mana pada saat itu aku melihatnya dan beliau tidak melihat orang lain selainku. Kami bertiga dahulu adalah anggota keluarga beragama Islam yang terdiri dari Rasul, Khadijah, dan aku sendiri yang ketiga. Aku menyaksikan cahaya wahyu dan risalah. Aku sempat menghirup bau semerbak kenabian."

Bukti-bukti ini dan lainnya banyak sekali yang dengan jelas menggambarkan adanya suatu langkah hebat yang diambil Nabi dalam upaya mengkader dan melatih loyalitas dan ketahanan jiwa mental Ali terhadap risalah serta mempersiapkannya untuk memegang tali kendali kekuasaan dan pimpinan perjalanan dakwah kelak. Sejarah dan biografi kehidupan Imam Ali sejak setelah wafatnya Rasul selalu penuh dengan titik-titik dan tanda terang yang menyingkap adanya penataran ideologi secara intensif terhadapnya yang dilakukan Rasulullah. Kehidupan serta kebijaksanaannya yang telah merefleksikan adanya upaya pendidikan khusus dan rahasia. la adalah tempat kembali dan penyelesai tunggal bagi segala macam problema yang tak dapat diselesaikan oleh aparat dan pejabat pemerintahan Khilafah pada zaman itu. Dalam sejarah pemerintahan dari ketiga khalifah itu tidak ada seorang pun yang selalu diminta pendapat yang mewakili Islam dan jalan keluar dalam menangani masalah-masalah, kecuali Imam Ali. Meskipun sikap partai yang berkuasa pada saat itu konservatif dan tak peduli terhadap masalah hak kekuasaan yang sebenarnya selama berpuluh-puluh tahun, tetap para aparat di jajaran tertlnggi partai berkuasa tidak merasa pertu meminta nasehat dan saran Imam Ali yang merupakan wakil orisinil (tulen) Islam.

Jika terbukti Nabi telah mempersiapkan Ali secara khusus sebagal penerus pembimbing dakwah, maka ini merupakan buktl bahwa Nabi telah mengumumkan dan memproklamasikan penunjukkan atas Ali secara resmi dan serius pada rakyat secara keseluruhan sebagai inteleklual ideolog dan pemimpin politik. Itu tercermin dalam hadis ad-dar, ats-tsaqalaIn, al-manzilah, al-ghadir serta segudang hadis dan nash lainnya. Dan begitulah seterusnya akhirnya kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa Syi'ahisme (Tasyayyu') tidak berada di luar garis strategi program dan rencana penerusan dakwah Islamiyah yang dirintis oleh Rasul di mana tergambar dalam konsep Nabawiyah yang telah beliau paparkan sendiri atas dasar perintah Allah SWT guna menjaga kelangsungan dan kelanjutan program pengembangan dakwah. Dengan demikian kita dapat berkesimpulan bahwa Syi'ahisme bukanlah suatu fenomena atau gejala perkembangan sosial yang ganjil. Syi'ahisme adalah bagian hukum sebab akibat dari kondisi serta kebutuhan yang dengan sendirinya telah memproses timbulnya paham tersebut. Dengan kata lain, Rasul atau pemimpin pertama harus melakukan tindak percobaan dan harus mempersiapkan untuk percobaan dan perjalanan baru kepada pemimpin kedua yang beliau didik sedemikian teliti sehingga mampu mengemban tugas secara sempurna dan selaras dengan tuntutan kondisi dan situasinya. Dengan meneruskan kepemimpinan Nabi dalam menyempurnakan tujuan dalam rangka mencabut seluruh akar dan pengaruh jahiliyah yang masih tersisa pada masyarakat sekaligus membimbing dan membinanya sehingga dapat diandalkan dan mampu memenuhi kebutuhan serta tuntutan dakwah dan tanggung jawabnya.

PEMBAHASAN KEDUA: BAGAIMANA LAHIRNYA GOLONGAN SYI'AH?
Setelah dengan jelas kita telusuri sejarah munculnya paham Tasyayyu' dan mendapat pemahaman yang gamblang dan rasional tentang paham tersebut, maka kita menginjak kepada pembahasan kedua, yaitu dengan mencari jawaban dari pertanyaan bagaimana gdongan yang dikenal dengan nama Syi'ah dan bagaimana proses terbelahnya ummat Islam menjadi dua golongan sejak awal muncul masyarakat Islam itu terbentuk.

Sebagai jawabannya, jika kita telusuri periode pertama dari kehidupan umat Islam pada zaman Nabi, kita akan menemukan adanya dua garis pemikiran utama yang sangat bertolak belakang dan juga muncul berbarengan dengan timbulnya masyarakat Islam. Perbedaan antara keduanya telah mengakibatkan timbulnya beberapa perbedaan ideologis saat Rasul menemui Kekasihnya. Yang mana ideologi itu melahirkan perbedaan garis politik antara dua kubu yang kemudian cenderung membentuk dua blok atau partai politik dalam tubuh masyarakat Islam. Lalu salah satunya berhasil mengambil alih tampuk kekuasaan yang mendapat simpati dan dukungan dari mayoritas masyarakat. Sebaliknya, kubu lain yang tidak berhasil cenderung menjadi kelompok minoritas yang eksklusif dan tersudutkan di tengah-tengah masyarakat yang tidak mendukung bahkan memusuhi mereka. Kelompok minoritas tersebut adalah Syi'ah.

Dua kubu utama yang sama-sama menyertai masa lahirnya dan terbentuknya masyarakat Muslim pada zaman Nabi itu sebagai berikut: Haluan pertama: menerima secara mutlak keputusan dan perintah agama tanpa pamrih, tanpa mengutamakan ide sendiri atas ketentuan tersebut dan menghayati serta meyakini hukum dan penyelesaian agama terhadap segala aspek kehidupan. Haluan kedua: beranggapan bahwa loyalitas dan iman kepada agama tidak menuntut penghayatan dan penerapan dalam bentuk praktek setiap masalah yang bersumber pada agama kecuali pada masalah yang bersifat ritual dan dogma. Selanjutnya lebih dari itu mereka mengutamakan ijtihad sebagai penyelesaian yang dapat menggantikan fungsi hukum agama dengan mempertimbangkan keadaan dan ukuran kepentingan yang dibutuhkan dalam segala segi kehidupan. Para sahabat, disamping selaku generasi mukmin dan cemerlang, mereka juga merupakan generasi yang teristimewakan dan ikut berpartisipasi mensukseskan proyek pelancaran risalah. Sampai saat ini sejarah belum pernah membukukan dan membuktikan adanya sebuah generasi yang lebih handal dan hebat daripada generasi yang telah diciptakan oleh Rasulullah SAWW. Sekali pun kenyataan mereka itu demikian, akan tetapi adalah logis bila kita beranggapan bahwa sejak masa hidup Rasul, telah terlihat adanya dua garis pemikiran yang senang dengan pendapat pribadi yang mereka gunakan bila kepentingan menuntut dan memaksa mereka untuk menanggalkan hukum dan ketetapan agama yang telah tertera dalam nash-nash. Rasulullah seringkali terbentur bahkan terganggu aktivitasnya akibat ulah dan pola pemikiran ini sampai-sampai ketika beliau sudah terbaring di atas ranjang terakhirnya. Di samping itu, kita juga harus mengakui ada –pada masa hidup Rasul- yang menerima dan sama sekali percaya sekaligus merealisasikan setiap ketentuan agama dalam setiap aspek kehidupan mereka, baik ibadat, dogma, politik, pemikiran dan lain sebagainya.

Mungkin faktor utama dari berkembang dan tersebarnya pengaruh pemikiran ijtihad (bir ra'iy) di kalangan muslimin adalah garis dan pola pemikiran seperti ini yang sedikit banyak bersatu dengan naluri kecenderungan setiap orang yang selalu bertindak sesuai dengan kepentingan dan kehendak pribadinya daripada bertindak atas dasar perintah dan dorongan dari luar, yang terkadang belum dimengerti maksudnya. Garis pemikiran ini dipelopori dan disponsori oleh beberapa sahabat senior seperti Umar bin Khattab yang terkenal nekad menegur dan mengkritik sebagian tindakan Rasul (yang adalah wahyu) dan mengajukan pendapat pribadinya dalam beberapa masalah yang bertentangan dengan teks ketetapan agama. Atas dasar alasan dan anggapan yang tampaknya rasional bahwa ia sebagai orang berakal berhak menyelesaikan sendiri beberapa urusan yang mungkin penyelesaiannya itu tidak sama dengan penyelesaian yang telah diajarkan agama.

Kenyataan ini terlihat dalam sikapnya yang kontroversial dalam menanggapi fakta perdamaian Hudaibiyah dan kritiknya yang tegas terhadap resolusi perdamaian yang disepakati dan ditanda-tangani deh Rasul dan langkahnya yang mengundang sensasi dengan menon-fungsikan Hayya 'ala khairil 'amal dalam panggilan azan yang telah diajarkan deh Rasulullah SAWW. la juga sempat tenar karena langkahnya mencanangkan hukum modern dan menanggalkan hukum lama Rasul dengan mengharamkan dan meniadakan Hajji Mut'ah (Tamattu') dan ratusan pikiran-pikiran pribadinya yang tak asing lagi bagi kita.

Dua aliran pemikiran yang sangat berbeda itu pernah bertemu dan tertumpah secara kebetulan di satu tempat dan wadah pada hari terakhir hidup Nabi. Bukhori telah meriwayatkan dalam sahihnya dari Ibnu Abbas. Ia berkata: Ketika Rasulullah hampir wafat sedangkan di rumah beliau terdapat beberapa orang termasuk Umar bin Khattab, beliau bersuara: "Mari kutuliskan untuk kalian sebuah pusaka (yang jika kalian mengikutinya), maka kalian tidak akan tersesat untuk selama-lamanya". Tiba-tiba Umar bin Khattab berseloroh: "Penyakit Nabi itu sudah terlalu parah sehingga beliau mengigau, apa perlunya tulisan itu sedangkan Al-Quran ada di sisi kalian. Sudahlah, Al-Quran itu sendiri cukup sebagal pedoman bagi kita". Pernyataan Umar bin Khattab ini akhirnya mengundang keriuhan dan perselisihan pendapat di antara orang-orang yang berkerumun menengok Rasul yang sedang terbaring sakit. Sebagian berkata: "Berikan! Beliau hendak menuliskan sebuah pedoman untuk kalian yang akan dapat menyelamatkan kalian kelak." Sebagian yang lain mendukung Umar bin Khattab menolak memberikan secarik kertas kepada Nabi Besar Muhammad SAWW. Selang beberapa saat, rumah Rasul tersebut berubah menjadi ajang perang mulut antar sahabat yang berkerumun mengelilingi beliau. Akhirnya, Nabi dengan kesal mengusir mereka: "Ayoh...enyahlah kalian!" Begitu perintah Rasul.

Tragedi bersejarah ini dengan jelas membuktikan dan menggambarkan betapa jauh dan mendasarnya perbedaan antara dua golongan adalah peristiwa perselisihan dan cekcok yang muncul akibat dari penunjukkan Rasul kepada Usamah bin Zaid bin Harits sebagai Panglima divisi perang, padahal penunjukkan itu berdasarkan perintah langsung dari Nabi yang tak dapat ditolak. Sampai-sampai beliau bangkit dari ranjang dengan memaksakan tubuhnya yang sudah lemah-lunglai untuk keluar dari rumah dalam keadaan sakit. Beliau mengeluh kesal di hadapan pengikutnya: "Wahai ummat! Desas-desus apa yang aku dengar tentang penunjukkan Usamah (sebagai panglima perang)? Tetapi mengapa dulu kalian tidak menolak penunjukkan ayahnya sebagai panglima. Demi Tuhan! Ia pantas dan mampu memegang jabatan panglima!" Dan kedua haluan yang memulai konflik dan perselisihan pada masa hidup Rasul telah tampak dalam sikapnya terhadap masalah pimpinan imam setelah Nabi orang-orang yang mewakili garis nash berpendapat bahwa adanya nash dan ketetapan Rasul berkenaan dengan hak kekhalifahan merupakan sebab dan dasar prinsip yang mengharuskan seorang muslim agar menerima secara mutlak segala macam keputusan dan hukum agama tanpa menggantinya dengan gagasan sendiri karena beberapa pertimbangan kepentingan disamping kondisi dan situasi yang ada (ini menurut logika dan pola pemikiran mereka tentunya).

Dengan demikian, kita dapat berkesimpulan bahwa golongan Syi'ah telah hadir di tengah-tengah masyarakat Islam sejak pada masa hidup Rasul yang beranggotakan orang-orang muslim yang secara praktis telah mematuhi dengan mutlak konsep dan ketetapan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin setelah Rasul. Dan haluan yang berpaham Syi'ah kemudian lebih menjelma dalam kerangka bentuk yang jelas pada saat pertama dari sikap protes dan menolak keputusan yang telah diambil pada sidang darurat Saqifah Bani Sa’idah yang telah membekukan fungsi pimpinan Ali dan mengambil alih serta memberikannya kepada orang lain. Ath-Thabarsi dalam buku Al-Ihtijaj membawakan sebuah riwayat dari Aban bin Taghlib. la bertanya kepada Imam Ja'far bin Muhammad Ash-Shadiq a.s.: "Kujadikan diriku tebusan darimu. Apakah ada orang yang menolak kepemimpinan Abu Bakar di antara para sahabat Rasullah?" Imam menjawab: "Ya. Dua betas orang dari kaum Muhajirin yang menolak; mereka itu adalah Khalid bin Said bin Abi Al-'Ash, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad bin Al-Aswad, Ammar bin Yasir, dan Buraidah Al-Aslami. Dan dari pihak Anshar adalah Abul Haitsam bin At-Taihan, Utsman bin Hunaif, Khuzaimah bin Tsabit Dzus-Syahadatain, Ubay bin Ka'ab dan Abu Ayyub Al-Anshari".

Mungkin Anda atau siapa pun saja ingin mengatakan hal ini, yaitu jika memang benar haluan Syi'ah itu adalah yang teguh menerima ketetapan secara mutlak dan menerapkannya dalam bentuk praktek kehidupan mereka dan bahwa haluan yang lain lebih mengutamakan pikiran sendiri daripada menerima secara mutlak ketentuan agama, maka ini berarti haluan nash lebih picik dan tidak menggunakan akal sehat. Padahal selama ini haluan dan golongan Syi'ah menggunakan ijtihad dalam syari'at amat sering.

Jawabannya adalah ijtihad yang dibenarkan bahkan terkadang wajib (kifayah) yang digunakan adalah ijtihad yang mempunyai definisi menyerap suatu hukum dari nash dan ketetapan syar'i. Tapi dalam kamus mereka ijtihad itu bukanlah menggunakan pikiran sendiri daripada menerima suatu ketetapan yang jelas dari agama. Dan ijtihad itu tidak hanya digunakan atas dasar ingin mencapai tujuan dan memperoleh keuntungan pribadi sendiri. Ijtihad demikianlah yang tidak dibenarkan. Sebab ini bertentangan dengan keputusan agama. Dan Syi'ah menolak hak wewenang ijtihad yang demikian. Dan yang kita maksudkan kandungan misi risalah yang baru. Bertindak dari sini kita dapat ketahui bahwa garis pemikiran yang berorientasi kepada nash itu adalah golongan yang lebih menghayati risalah dan menerimanya secara menyeluruh sekaligus tidak menolak fungsi ijtihad selama ijtihad tersebut tidak bertentangan dengan nash dan selama ijtihad itu bersumberkan hukum syari'at yang sudah ada.

Patut diketahui bahwa sikap menerima sepenuhnya ketetapan nash tidak berarti picik dan kedangkalan berpikir yang tidak peduli akan perkembangan dan tuntutan-tuntutannya serta bertentangan dengan faktor-faktor yang dapat menunjang kemajuan dan program pembaharuan yang beraneka warna terhadap kehidupan manusia. Maka sikap menerima nash agama mutlak, artinya bertindak atas dasar tuntutan dan ketetapan agama tanpa memilih-milih yang kelihatan ringan. Padahal agama itu adalah selaras dengan kelembutan dan berjalan seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman serta mencakupnya segala macam corak dan ciri kemajuan dan pembaharuan. Maka bersikap menerima secara mutlak setiap ketetapan agama berarti bersikap menerima segala macam faktor yang dapat menunjang kemajuan, termasuk kreativitas dalam menciptakan sesuatu yang baru, melakukan pembaharuan terhadap beberapa pemikiran dan gagasan, dan seterusnya. Ini semua merupakan garis besar dari penafsiran tentang Syi'ahisme sebagai suatu fenomena dan pemandangan yang logis dan lazim dalam ruang lingkup program dan strategi pengembangan dakwah serta penafsiran tentang timbulnya gdongan Syi'ah sebagai refleksi dan cermin dari fenomena yang alami tersebut.

Dan kepemimpinan Ahlul Bait serta Ali yang merupakan fenomena logis itu mempunyai dua fungsi utama dalam teori kepemimpinan. Fungsi pertama selaku Pemimpin dalam bidang pemikiran budaya dan intelektual, dan fungsi kedua sebagai pembimbing dan arkitek projek perombakan dalam bidang sosial. Kedua fungsi kepemimpinan itu bersatu dan tertumpah dalam satu wadah yang terjelma dalam pribadi Nabi. Kemudian setelah meneliti secara seksama situasi dan kondisi yang ada, beliau mempersiapkan seorang kader handal yang mampu berfungsi sebagai pemimpin dari keduanya secara sempurna, sehingga fungsi kepemimpinan intelektual dapat mengisi kekosongan yang ada pada pola berpikir masyarakat. Sekaligus Rasul bertugas menghidupkan suatu gambaran dari pemahaman yang cocok dan relevan sebagai jalan keluar yang mewakili Islam dalam menanggulangi problema-problema pemikiran dan kehidupan serta menerapkan satu demi satu nilai-nilai dan pikiran-pikiran yang tersirat dalam AI-Qur'an yang sangat rumit dan kurang jelas yang mana Kitab suci tersebut merupakan sumber utama dan khazanah bagi pemikiran dan intelektual Islam disamping agar supaya kepemimpinan sosial berfungsi meneruskan perjalanan Islam di atas garis target sosialnya.

Dan kedua fungsi kepemimpinan tersebut terdapat pada Ahlul Bait sesuai dengan kondisi yang telah kita pelajari atas dasar nash-nash Nabi yang telah menekankan hal tersebut berkali-kali. Contoh utamanya ialah nash-nash Nabi tentang kepemimpinan intelektual seperti hadis Tsaqalaian Rasulullah yang berbunyi demikian: Aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka penting (ats-saqalain); yaitu Kitab Allah yang merupakan tali yang tak terputus dari langit hingga ke bumi dan yang kedua adalah Itrah (keturunanku) dari Ahlul Baitku. Dan bahwa keduanya tidak akan terpisah dengan kedua fungsi masing-masing sampai keduanya menjumpaiku di telaga Haudh. Oleh karena itu lihatlah kelak bagaimana sampai kalian mendurhakaiku dengan melanggarnya (AI-Hakim dalam Al- Mustadrak, At-Tirmidzi, Annasa'i, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain yang diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh sahabat).

Dan contoh utama dari fungsi kepemimpinan sosial adalah hadis Al-Ghadir yang dibawakan oleh Ath-Thabrani dengan sanad (rantai urutan perawi) yang shahih dari Zaid bin Al-Arqam. Ia berkata, "Rasulullah pernah berpidato di daerah Ghadir Khum di bawah pohon, beliau bersabda: Wahai manusia! Aku akan diminta pertanggungjawaban dan begitu juga kalian. Lalu bagaimana kalian mengatakan dan menanggapi ini semua!? Para sahabat serentak menjawab: "Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, telah berjuang dan telah menasehati, maka semoga Allah membalas jasa kebaikanmu dengan kebaikan pula. Lalu beliau meneruskan dan bersabda, Bukankah kalian bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, surga dan neraka-Nya adalah benar dan nyata, mati itu benar, saat kiamat itu pasti tiba dan bahwa Allah akan membangkitkan setiap orang yang terpendam dalam kubur? Mereka serentak menjawab: "Ya! Kami bersaksi demikian". Lalu beliau melanjutkan lagi: "Ya Allah! Saksikanlah". Selanjutnya bersabda kepada hadirin: Wahai ummat! Allah adalah Pemimpin dan Kekasihku, dan aku adalah pemimpin setiap mukmin dan aku lebih utama (awla) dan lebih berhak atas diri kalian sendiri. Maka, barangsiapa yang menganggapku sebagai pemimpinnya (maulahu), maka orang Ini (Ali di sebelah beliau) adalah pemimpinnya (maulahu) juga. Ya Allah! Cintailah setiap orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya!" (Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari delapan puluh tabi'in. Dan dari penghafal hadis abad kedua sekitar enam puluh orang. Dan juga tercatat secara rinci dalam kitab Al-Ghadir dalam sebelas jilid).

Dengan demikian kita dapat berkesimpulan bahwa kedua nash dan hadis Rasul tersebut telah menyerahkan dua fungsi dan wewenang kepada Ahlul Bait. Dan yang berpegang teguh kepada nash dan ketetapan Rasul dalam hal dua hak wewenang kepemimpinan itu adalah termasuk golongan muslim yang mengikuti dan menganggap Ahlul Bait bagi pemimpin dan tempat kembali mereka. Seandainya fungsi pimpinan sosial bagi setiap imam itu mempunyai pengertian bahwa mereka memimpin dan berkuasa dalam hidupnya, maka fungsi kepemimpinan intelektual dan pemikiran budaya adalah kenyataan yang tak dapat dibantah terlepas dari kehidupan sosial politiknya sebagai pemimpin dalam hidupnya. Dari sini kita dapat melihat kenyataan tersebut dalam setiap waktu. Karenanya, selama Muslimin membutuhkan suatu pemahaman yang jelas dan sempurna tentang Islam dan ingin mengetahui hukum halal dan haram dalam setiap perkara, pasti mereka memerlukan adanya kepemimpinan intelektual yang jelas pula dan itu ditetapkan Allah sendiri melalui lidah Rasul yang terjelma dalam: [1] Kitab Suci Al Quran. [2] Itrah yang bebas dari dosa dan Ahlul Bait Rasul. Keduanya tidak dapat dipisahkan atau diambil salah satu darinya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi.

Adapun garis pemikiran lain dari golongan muslimin yang ijtihad dijadikan dasar pemikiran daripada mengikuti nash dan ketentuan agama secara mutlak, maka tokoh-tokoh senior pemikiran ini sejak Rasul wafat telah berhasil mengambil alih kekuasaan dan menyatakan berfungsi sebagai pemimpin sosial politik secara operasional dan dikelola oleh kaum Muhajirin yang bergaris politik lunak dan selalu berubah mengikuti kemajuan dan pertimbangan strategis serta memantau kondisi dan situasi yang ada. Atas dasar pemikiran inilah Abu Bakar mengambil alih kekuasaan begitu Rasul menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan menggunakan Saqifah Bani Saidah sebagai Sidang Parlemen Sementara dan ajang perebutan sengit kekuasaan antara Muhajirin dan Anshar yang terbatas bagi beberapa gelintir orang dari kedua golongan tersebut kemudian rekan sejatinya (Umar bin Khattab) menggantikannya atas perintah mendiang Abu Bakar, lalu tongkat estafet khilafah diambil oleh pengganti ketiga Utsman bin Affan atas dasar penunjukkan tertentu dan hanya terbatas bagi enam orang yang telah ditunjuk secara pribadi oleh Umar bin Khattab. Akhirnya sikap lunak ini yang lewat tiga abad sejak masa wafat Rasul telah berhasil menciptakan malapetaka terbesar sepanjang sejarah Umat Islam dengan kembalinya khilafah dan kekuasaan kepada orang-orang Islam mu`allaf dan para bekas musuh Rasul yang kemudian disihirnya menjadi pewaris duniawi dan kerajaan monarki yang pindah dari anak ke cucunya, dari saudara ke adiknya dan tamatlah riwayat khilafah yang selama ini dielu-elukan oleh Muslimin.

Inilah kenyataan yang tragis dari orang-orang yang sebenarnya tidak berhak dan tidak mampu menjabat sebagai pemimpin sosial politik. Lain halnya kenyataan dari fungsi kepemimpinan intelektual-budaya, sebab sulit rasanya kita mengatakan bahwa mereka yang berkuasa dalam bidang politik sosial juga berfungsi secara nyata sebagai pemimpin intelektual dan pemikiran setelah kita ketahui bersama bahwa ijtihad dan kecanduan menggunakan pikiran sendiri telah mencabut hak wewenang Ahlul Bait sebagai pemimpin politik sosial secara operasional dan praktis, sebab akibat dari itu semua adalah terciptanya kondisi objektif yang menunjang kepemimpinan mereka sebagai pemimpin dan penguasa. Adapun sebab dari keberatan kita untuk beranggapan bahwa mereka yang berhasil mengambil alih kekuasaan dan pimpinan politik sosial secara operasional telah berfungsi sebagai pemimpin Intelektual dan budaya, adalah fungsi kepemimpinan Intelektual berbeda dengan fungsi kepemimpinan polttik sosial. Bila seorang khalifah merasa berhak dan mampu menjadi pemimpin intelektual dan menjadi panutan pemikiran atas dasar Al-Qur’an dan Sunnah dalam memahami teori tersebut. Dan terbukti bahwa para sahabat tidak mempunyai kemampuan dan tidak memenuhi syarat penting tersebut, lain halnya bila kita melihat Ahlul Bait a.s. dengan segala kemampuan mereka dan tergambar dalam nash serta bukti-bukti yang sudah ada.

Oleh karena itu, fungsi kepemimpinan intelektual budaya lebih penting daripada fungsi kepemimpinan sosial politik dan lebih berperan selama beberapa dekade. Dan akhirya, para penguasa dan khalifah memberikan kepada Imam Ali fungsi pemimpin intelektual –tidak dengan formal- karena mempertimbangkan satu dan sebab lainnya. Sampai-sampai khalifah kedua seringkali bersumpah dengan memuji kepandaian Ali dalam menyelesaikan masalah-masalah intelektual. la selalu berkata: "Seandainya Ali tiada, maka pasti Umar celaka dan binasa. Allah akan membiarkanku selamanya terbentur dengan kesulitan bila Abul Hasan (Ali) tidak segera menyelesaikannya." Tapi setelah melalui beberapa masa sejak Rasul wafat dan muslimin luntur secara bertahap dari loyalitas dan rasa hormatnya terhadap Ahlul Bait Rasul dan tidak lagi memfungsikannya sebagai tokoh dan pemimpin dalam bidang pemikiran, dan sebaliknya mereka sedikit demi sedikit memandang Ahlul Bait sebagai orang-orang yang tidak lebih dari mereka dan bahkan menganggap mereka sebagai awam. Sikap ini telah memproses mereka menjadi tidak lagi membutuhkan pemimpin intelektual dari Ahlul Bait dan mengambil pikiran sendiri sebagai gantinya. Dan bukan sang khalifah sebagai pengganti pemimpin intelektual Ahlul Bait secara tunggal tapi hak kepemimpinan ini mencakup seluruh sahabat. Dan selanjutnya mereka muncul sebagai pemimpin-pemimpin intelektual dan pemikiran dan mereka mengucapkan "selamat tinggal" kepada rombongan Ahlul Bait yang telah ditunjuk secara sah sebagai pemimpin intelektual disamping pemimpin sosial-politik, sebab para sahabat adalah generasi yang hidup bersama Rasul dan mengikuti setiap langkah dan perkembangan missinya serta menghayati dan mematuhi tuntutan sabda dan Sunnah beliau.

Secara praktis nyata bahwa Ahlul Bait kehilangan fungsi istimewa sebagai pemimpin-pemimpin intelektual dan pudar di tengah-tengah para sahabat, dan mereka berstatus tidak lebih sebagai seorang sahabat Rasul saja yang semuanya berhak dan berfungsi sebagai pemimpin-pemimpin intelektual. Dan sebagaimana yang telah terbukti dalam sejarah para sahabat, mereka selalu hidup di bawah situasi pertikaian yang terkadang meminta darah dan korban yang tidak sedikit dalam setiap peperangan yang mereka kobarkan sendiri. Masing-masing pasukan menganggap lebih konsekuen terhadap nilai dan kebenaran serta saling tuduh sebagai pengkhianat dan penyeleweng. Saya katakan bahwa sebagai akibat dari perselisihan dan perang tuduh yang terjadi antara orang-orang yang berfungsi sebagai para pemimpin itulah timbul aneka warna pertentangan ideologi dan pemikiran dalam tubuh masyarakat Islam, yang merupakan cermin dari pelbagal pertikaian yang terjadi antar kalangan pemimpin sendiri yang berhaluan ijtihadi.