Di Jakarta Suatu Ketika




oleh Sulaiman Djaya (2001)

Saya sampai di kawasan itu sekitar jam delapan ketika gerimis kecil masih merintik setelah hujan selama saya berada di separuh perjalanan saat masih duduk dalam bus yang saya tumpangi.

Untung saja hujan itu hanya berlangsung selama setengah jam ketika mereka mulai mengguyur gedung-gedung bertingkat dan memburamkan kaca-kacanya yang di musim kemarau merupakan salah-satu penyebab timbulnya cuaca panas, menyirami rumah-rumah penduduk, dan menggenangi jalan raya yang dilalui bus yang saya tumpangi pada pukul tujuh lebih beberapa menit, hingga ketika saya turun dari bus itu, kujadikan tas berisi lembar-lembar kuesioner sebagai payung.

Setelah saya selesai mewawancarai kawasan yang normal dan relatif tidak kumuh sore itu, saya pun menyusuri gang-gang yang apak dan terasa asam sekali selepas hujan demi menuju rumah seorang responden yang hendak saya wawancarai sesuai dengan angka acak yang telah terpilih berdasarkan batas angka yang tersedia.

Bau-bau yang menyengat hidung di kawasan itu berusaha saya tahan sepanjang kami berjalan kaki menyusuri gang-gangnya yang sempit. Salah seorang keponakan Pak Lurah menjadi juru antar agar saya tidak tersesat di lingkungan yang kumuh dan padat itu.

Sesampainya di tempat yang kami tuju, saya meminta keponakan Pak Lurah itu untuk meninggalkan kami, dan tentu saja saya berterimakasih karena telah mau membantu saya sebagai juru antar.

Ruang yang sempit itu tak bisa saya katakan sebagai rumah dengan bertumpuknya perlengkapan rumah tangga mereka yang saling tumpah tindih satu sama lain, hingga saya harus bersandar di sudut pinggir pintunya ketika melangsungkan wawancara dengan seorang bapak yang berumur empat puluhan tahun yang ditemani seorang putrinya yang berusia belasan tahun itu.

Ketika saya bertanya tentang istrinya, si bapak yang saya wawancarai itu menjawab bahwa si ibunya gadis belia yang masih kelas dua sekolah dasar itu tengah bekerja sebagai tukang cuci, dan ia sendiri seorang kuli bangunan yang sedang tak mendapatkan pekerjaannya.

Tanpa terasa baju saya pun basah sepanjang kami melakukan wawancara, meski hari itu selepas hujan. Mungkin cuaca gerah yang saya rasakan saat itu karena atap seng rumah mungil yang hanya dua ruang tersebut memindahkan hawa panasnya ke dalam ruangan selama terjadi hujan, yang dampak perubahannya membuat tubuh malah berkeringat selama kami melangsungkan wawancara.

Sementara itu, tentang si gadis belia, sebutlah namanya Santi, bocah perempuan yang kata si bapaknya kadang-kadang juga membantu ibunya bekerja sebagai tukang cuci baju di kawasan perumahan bila tidak bertepatan dengan jadwal belajarnya di sekolah dasar, hanya mendengarkan dan menunggu dengan tak memperlihatkan kegusaran.

Santi, si gadis belia itu, memiliki rambut hitam panjang dan sepasang mata yang cukup terang dan bersinar, meski ia tinggal di sebuah rumah yang hanya memiliki dua ruang di kawasan kumuh kota Jakarta. Seorang gadis belia yang tiba-tiba saja mengajari saya tentang ketabahan dari sebuah kebetulan yang tak ia kehendaki dalam hidup.

Agak jauh beberapa meter, di sebuah sudut tikungan dari tempat kami melangsungkan wawancara dan perbincangan, beberapa lelaki tengah asik bergoyang dan mendengarkan selagu dangdut, dan menurut si bapak yang sedang saya wawancara, beberapa lelaki yang tengah asik menghibur diri mereka itu juga bekerja sebagai kuli bangunan.

Melihat keriangan mereka tersebut, saya jadi berpikir bahwa dalam kehidupan keseharian mereka yang terbatas pun ternyata mereka masih sempat bergembira, meski mungkin saja sekedar untuk melupakan kesulitan-kesulitan hidup yang mereka alami di tengah harga-harga bahan pangan yang tak pernah turun seiring dengan bergantinya rutinitas suksesi alias pemilihan umum. Maka wajar saja, si bapak yang saya wawancarai pun memiliki pendapat yang sedikit negatif dan pesimis sejauh menyangkut politik, bahkan merasa bosan dan tak percaya dengan rutinitas pemilihan umum.

Di area di mana saya bekerja sebagai surveyor itu, kemiskinan memperkenalkan dirinya sebagai bau-bau asam dan apak di antara gang-gang sempit dan padat. Area yang merupakan campuran sekian darah hidrogen, asam karbondioksida, dan bangkai-bangkai cuaca yang telah bersatu dengan lumpur dan sampah-sampah.

Ketika berada dalam bus yang akan mengantarkan saya pulang itu, benak saya terus membayangkan rumah mereka yang beratap seng dan hanya memiliki dua ruangan. “Sebuah rumah yang tabah”, gumam saya dalam hati. Sebuah rumah yang saya bayangkan pastilah akan selalu berjuang keras melawan angin dan guyuran hujan lebat di saat musim hujan tengah deras-derasnya mengguyur kota Jakarta yang sudut-sudutnya merupakan campuran kemiskinan dan bangkai-bangkai kapitalisme yang menghasilkan asam-asam kimia bagi nafas-nafas para penghuninya, terutama bagi penduduk seperti Santi dan keluarganya itu.

Rumah itu, saya kembali membathin, pastilah juga akan sangat membuat gerah penghuninya di musim-musim kemarau. Sementara itu, Santi si perempuan belia itu, adalah seorang warga negara yang takkan merasakan pendidikan yang membutuhkan biaya yang sangat mahal di negeri ini, kecuali jika keluarganya memenangkan undian senilai ratusan juta rupiah.

“Di sebuah negara di mana pendidikan adalah institusi bagi anak-anak para koruptor dan pejabat, Santi adalah seseorang yang salah menempati sebuah lingkungan dan ruang di mana ia hidup, dan tentu saja ia sebenarnya tidak mau hidup seperti keadaan yang dialaminya itu”.

Memang, pengalaman saya selama menjadi seorang surveyor lapangan, saya menjumpai kenyataan yang berbeda satu sama lain, bahkan kadang berlainan secara ekstrem. Adakalanya saya mesti mewawancarai seorang responden yang memiliki rumah yang sangat mewah dan memelihara anjing galak, yang sebagian besar orang-orang seperti itu cenderung curiga dan tidak ramah.

Di kesempatan-kesempatan lain, saya mesti menjumpai dan bersentuhan dengan kesahajaan, bahkan kepedihan dan kekurangan yang membuat saya merasa ditegur dan diberikan perbandingan untuk kehidupan dan keseharian saya sendiri. Menjumpai rumah-rumah dan orang-orang yang juga menjadi bahan renungannya Bunda Theresa yang berjuang bersama orang-orang miskin di sudut-sudut kumuh India itu.

Pekerjaan saya menjadi seorang surveyor lapangan selama empat tahun lebih telah memberi kesempatan kepada saya berjumpa dengan orang-orang yang tabah dan tak berdaya, orang-orang yang berada dalam kemiskinan mental dan material, di satu sisi, dan orang-orang yang membangun pagar-pagar rumah mereka demikian tinggi seakan-akan pagar itu merupakan sebuah benteng-benteng perlindungan untuk menghindari serangan-serangan musuh yang tak terduga.

Pagar-pagar, yang karena rasa sinis saya,  saya pahami sebagai cermin ketakutan dan kekhawatiran mereka sendiri, terbukti dengan kegandrungan mereka memelihara anjing-anjing galak yang bertugas menjaga pintu-pintu pagar rumah mereka siang dan malam.

“Di sisi lain, kemiskinan seringkali berwajah kepolosan dan keluguan dari orang-orang yang bersahaja. Ia merupakan perpaduan aneh antara ketakberdayaan dan situasi sosial di mana ia berada”. Sesuatu yang selalu mengingatkan saya pada novel Crime and Punishment-nya Dostoyevsky yang saya kagumi itu, meski mungkin Dostoyevsky menggambarkan cerita novelnya itu dengan agak ekstrem.

Dalam hal ini, dalam kadar tertentu, Santi tak ubahnya tokoh Sonia Marmeladov yang terjebak oleh situasi yang tak ia kehendaki, yang diceritakan dalam novel Crime and Punishment-nya Dostoyevsky itu.

Lampu Minyak Hujan Malam




oleh Sulaiman Djaya (2010)

Di tahun 80-an, di mana ketika itu saya masih kanak-kanak, kami biasa menggunakan penerangan untuk rumah-rumah kami dengan menggunakan lampu-lampu minyak. Di keluarga saya sendiri, yang setiap hari melakukan tugas menyediakan lampu-lampu minyak untuk kami itu adalah ibu kami.

Setiap menjelang malam, kira-kira beberapa menit sebelum adzan magrib berkumandang, ibu kami mulai mengisi tabung lampu-lampu minyak kami dengan minyak tanah atau minyak kelapa buatan ibu kami sendiri. Antara dua minggu atau satu bulan, karena saya tak lagi ingat dengan tepat, ibu kami juga akan mengganti sumbu lampu-lampu minyak yang terbuat dari kain-kain bekas itu.

Lampu-lampu minyak itu, bila kami sedang menjalani malam-malam kami di musim hujan, harus bertarung dengan hembusan angin ketika hujan turun di waktu malam. Biasanya, ibu kami akan melindungi nyala-nyala apinya dengan menggunakan pelindung dari plastik yang dibuat oleh ibu kami sendiri.

Pada saat itu, saya yang tengah belajar di meja belajar saya, diberi anugerah untuk mendengarkan pecahan-pecahan hujan di halaman dan di genting-genting rumah. Mungkin, saat itu, saya membayangkan pecahan-pecahan hujan itu sebagai para peri yang tengah riang menari dan bernyanyi di hening malam.

Kadang-kadang, sebagaimana angan-angan saya merekonstruksinya saat ini, saya berhenti sejenak untuk sekedar menyimak suara-suara riuh angin dan gerak dedaunan yang diombang-ambing angin dan hujan. Sesekali saya juga membiarkan saja tetes air hujan yang menitik di ruangan saya, hingga ibu saya kecewa dengan sikap diam saya itu.

Di masa-masa itu, saya sendiri hanya boleh bermain dengan teman-teman saya sampai jam delapan malam saja. Berbeda dengan sekarang ini, ketika itu jam delapan malam sudah terasa sangat sunyi dan hening sekali. Apalagi dengan keberadaan pepohonan rindang sepanjang jalan dan sungai.

Sebagai seorang perempuan yang dihidupi oleh tradisi dan kepercayaan tradisional masyarakat kami, ibu kami yang mendekati puritan, terbilang seorang perempuan yang saleh dan sabar. Maklum, sebelum berhenti, ibu kami dikenal sebagai seorang guru ngaji bagi para perempuan dan ibu-ibu di kampung kami, bahkan di kampung tetangga. Tugas itu dilakukannya setelah selama beberapa tahun menjalani pendidikan keagamaan di pesantren tradisional di Cilegon, tepatnya di Cibeber.

Sementara itu, untuk saya sendiri, masa-masa itu adalah masa-masa ketika saya sedemikian akrabnya dengan kesunyian dan keheningan malam. Terlebih di bulan-bulan selama musim hujan, ketika hujan adakalanya turun di waktu subuh atau tengah malam. Sedemikian akrabnya dengan selampu minyak yang asap hitamnya menghitamkan bilahan-bilahan bambu penyangga genting-genting rumah kami.

Dan, bila hujan malam itu usai, kini giliran binatang-binatang malam, semisal para serangga dan katak, mengambil alih keheningan yang dingin itu dengan suara-suara riuh mereka. Namun anehnya, suara-suara mereka itu malah semakin menambah keheningan itu sendiri sedemikian nyata dan akrab.

Adakalanya saya membayangkan suara-suara mereka tak ubahnya sebuah orkestrasi yang tengah digelar di sebuah tempat yang jauh, meski mereka hanya beberapa meter jaraknya dari belakang rumah. Suara-suara konser yang datang dari pematang-pematang kegelapan malam itu sendiri.

Tanpa sadar, saya dan nyala mungil selampu minyak di meja belajar ternyata sama-sama tengah saling merenungi diamnya waktu kala itu. Waktu, yang saat ini, saya pahami sebagai keabadian itu sendiri. 


Jaring-Jaring Hidup


oleh Fritjof Capra 

Pada bulan Februari 1943, ilmuwan Austria Erwin Schrodinger, salah seorang pencetus teori kuantum, menyampaikan serangkaian kuliah pada Trinity College di Dublin dengan judul “Apakah kehidupan itu?” Kuliah tersebut telah mengubah arah perjalanan ilmu pengetahuan tentang kehidupan (life sciences).  Pada kuliah ini, dan pada buku berikutnya dengan judul yang sama, Schrodinger mengajukan hipotesis yang jelas dan mengesankan tentang struktur molekuler gen, yang mendorong para ahli biologi untuk memikirkan ilmu genetika dengan cara baru, dan dengan demikian terbukalah bidang ilmu pengetahuan baru, yaitu biologi molekuler.

Selama berpuluh-puluh tahun berikutnya, bidang pengetahuan baru ini menghasilkan sejumlah penemuan yang gemilang, yang puncaknya pada saat dipecahkannya kode genetik. Namun demikian, kemajuan yang luar biasa ini tidak juga dapat membantu para ahli biologi menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Schrodinger: “Apakah kehidupan itu?”. Mereka tidak pula mampu menjawab sederet pertanyaan serupa yang telah memusingkan para ilmuwan dan filosof selama beratus-ratus tahun.

Para ahli biologi molekuler telah menemukan landasan dasar kehidupan, namun itu belum dapat membantu mereka memahami mekanisme integratif vital pada mahluk hidup. Dua puluh lima tahun yang lalu, salah seorang ahli biologi molekuler terkemuka, Sidney Brenner, melontarkan komentar kritis berikut ini:

Di satu sisi, Anda dapat mengatakan bahwa semua temuan genetik dan biologi molekuler selama kurun waktu 60 tahun yang lalu bisa dianggap sebagai suatu jeda yang panjang....Karena program tersebut telah mencapai titik akhir, maka kita sampai pada lingkaran Ñ dan kembali kepada masalah-masalah yang belum terpecahkan.  Bagaimanakah organisme yang terluka membentuk kembali struktur yang persis sama dengan struktur sebelumnya? Bagaimanakah telur membentuk organisme? Saya pikir dalam waktu dua puluh lima tahun mendatang kita harus mengajar para ahli biologi bahasa yang berbeda...Saya tidak tahu ini akan disebut apa; tak seorang pun yang tahu....Mungkin kita salah mempercayai bahwa semua logika berada pada tingkat molekuler. Kita mungkin perlu melampaui mekanisme jarum jam.

Sejak saat komentar ini dibuat oleh Brenner, suatu bahasa baru untuk memahami kompleksitas sistem kehidupan Ñ-- yaitu, sistem kehidupan organisme, sistem sosial, dan ekosistem-- benar-benar muncul ke permukaan. Mungkin Anda pernah mendengar tentang konsep baru untuk memahami sistem yang kompleks ini-- seperti istilah chaos, attractor, dissipative structure, self-organisation, dan sebagainya.

Pada awal tahun 1980-an, saya membuat sintesa penemuan baru di atas, sebagai suatu kerangka kerja konseptual untuk memahami kehidupan secara ilmiah. Saya mengembangkan dan menyempurnakan sintesa saya selama sepuluh tahun, mendiskusikannya dengan berbagai macam ilmuwan, dan belakangan ini menerbitkannya sebagai buku baru saya, yang berjudul Jaring Kehidupan.

Tradisi intelektual berpikir sistem, dan model sistem kehidupan yang dikembangkan pada awal dekade abad ini, membentuk akar konseptual dan historis kerangka kerja ilmiah baru yang ingin saya sampaikan kepada Anda malam ini. Sesungguhnya, sintesa saya tentang model dan teori baru bisa dilihat sebagai garis besar teori sistem kehidupan yang sedang berkembang. Apa yang sedang muncul di garis depan ilmu pengetahuan adalah teori  ilmiah koheren yang menawarkan--untuk pertama kalinya-- kesatuan pandangan akan pikiran, zat/elemen, dan kehidupan.

Karena masyarakat industri telah didominasi oleh paham Cartesian yang memisahkan antara pikiran dan zat/elemen dan oleh paradigma mekanistis yang kuat selama tiga ratus tahun yang lalu, maka visi baru yang memecahkan paham pemisahan Cartesian bukan hanya akan membawa dampak ilmiah dan filsafat yang penting, tetapi juga akan membawa implikasi praktis yang luar biasa besarnya. Visi ini akan merubah cara kita berhubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan alam kehidupan kita,  cara kita menangani kesehatan, cara kita memahami organisasi usaha kita, sistem pendidikan kita, dan lembaga sosial dan politik lainnya.

Secara khusus, visi baru tentang kehidupan akan membantu kita membangun dan mengasuh masyarakat yang berkelanjutan--tantangan besar di jaman kita-- karena visi ini akan membantu kita memahami bagaimana ‘masyarakat’ alam semesta seperti tanaman, binatang, dan mikroorganisme--atau disebut ekosistem--mengatur diri sendiri dalam rangka memaksimalkan keberlanjutan ekologis mereka. Kita harus banyak belajar dari kebijakan alam, dan karenanya kita harus melek istilah ekologi. Kita perlu memahami prinsip dasar ekologi, yakni bahasa alam. Kerangka kerja baru yang saya sampaikan di buku saya menunjukkan bahwa prinsip-prinsip ekologi ini juga merupakan prinsip dasar organisasi semua sistem kehidupan. Karenanya saya percaya bahwa jaring kehidupan memberikan dasar yang kuat untuk teori dan praktek ekologi.

KEMUNCULAN BERPIKIR SISTEM
Ijinkanlah saya mulai menjelaskan garis besar pemahaman baru tentang kehidupan dari perspektif historis tradisi berpikir sistem. Berpikir sistem mulai muncul sekitar tahun 1920-an secara berurut dalam tiga bidang yang berbeda: biologi organismik, psikologi Gestalt, dan ekologi. Pada semua bidang ini, para ilmuwan mengamati sistem kehidupan, yaitu totalitas terpadu yang propertinya tidak dapat direduksikan pada bagian-bagian yang lebih kecil. Sistem kehidupan meliputi organisme individu, bagian organisme, dan masyarakat organisme, seperti sistem sosial dan ekosistem. Sistem kehidupan mencakup suatu rentangan yang sanga luas, dan karenanya berpikir sistem secara alamiah merupakan pendekatan interdisiplin atau ‘pendekatan trans-disiplin’.

Sejak awal ilmu biologi, para filsuf dan ilmuwan telah menyadari bahwa bentuk mahluk hidup lebih daripada sekadar bentuk, atau konfigurasi statis komponen pada totalitas keseluruhan. Para pemikir sistem pertama terdahulu menyatakan kenyataan ini dalam sebuah ungkapan yang masyhur, “Keseluruhan (the wholes) bukan sekedar jumlah dari bagian (parts)”.

Selama beberapa dekade, para ahli biologi dan psikologi berkutat dengan pertanyaan: dalam hal apakah persisnya keseluruhan (the wholes) lebih daripada sekedar kumpulan bagian (the parts)? Pada masa itu timbul perdebatan yang sengit antara dua aliran pemikiran, yang dikenal dengan dengan paham mekanisme dan vitalisme. Para penganut paham mekanisme berkata: “Keseluruhan (the wholes) tiada lain dan tiada bukan adalah kumpulan bagian (the parts). Semua fenomena biologis dapat dijelaskan melalui hukum fisika dan kimia”.  Para penganut paham vitalisme tidak sependapat dan mempertahankan bahwa perwujudan non-fisik Ň—kekuatan pendorong vital, atau bidang Ň harus ditambahkan kedalam hukum fisika dan kimia untuk menjelaskan fenomena biologis.

Aliran pemikiran biologi organismik muncul sebagai jalan keluar ketiga dari perdebatan ini. Para ahli biologi organismik menyerang pengikut kedua aliran mekanisme dan vitalisme. Mereka berpendapat bahwa sesuatu harus ditambahkan kedalam hukum fisika dan kimia untuk memahami kehidupan, namun sesuatu itu, dalam pandangan mereka, bukanlah entitas (perwujudan) yang baru. Sesuatu itu adalah pengetahuan tentang living system organisasi, atau “hubungan keorganisasiannya”.

Pandangan sistem tentang kehidupan pertama kali dirumuskan oleh para ahli biologi organismik. Pandangan ini mengukuhkan bahwa properti utama living system merupakan properti keseluruhan, yang tidak dimiliki oleh bagian. Properti ini muncul akibat interaksi dan hubungan antar bagian. Properti ini rusak manakala sistem itu terpenggal, baik secara lahiriah atau pun secara teoritis, menjadi elemen yang terpisah-pisah. Meskipun kita bisa membedakan setiap bagian inividu pada suatu sistem, bagian-bagian itu tidaklah terpisah-pisah, dan sifat dasar keseluruhan selalu berbeda dengan sifat bagiannya. Untuk merumuskan pandangan ini dengan jelas, dibutuhkan waktu bertahun-tahun, dan konsep berpikir sistem pun lahir pada periode tersebut.

Ilmu pengetahuan ekologi, yang dimulai pada tahun 1920-an, memperkaya cara berpikir sistemik yang muncul saat itu dengan memperkenalkan konsep yang sangat penting, yakni konsep jaringan kerja. Dari awal perkembangan ekologi, masyarakat ekologi dianggap sudah terdiri dari organisme yang terhubung secara bersama-sama dalam suatu jaringan kerja melalui hubungan pemberian makanan (feeding). Pertama-tama, para ahli ekologi merumuskan konsep rantai makanan dan siklus makanan, dan konsep ini segera dikembangkan menjadi konsep kontemporer jaring makanan.

“Jaring Kehidupan” merupakan gagasan kuno yang telah lama digunakan oleh para pujangga, filsuf, dan ahli mistik di sepanjang masa untuk menyampaikan perasaan keterikatan dan interdependensi semua fenomena. Karena konsep jaringan kerja menjadi semakin dikenal di bidang ekologi, para pemikir sistem mulai menggunakan model jaringan kerja di semua tingkatan sistem, dengan melihat organisme sebagai jaringan organ dan sel, dan ekosistem sebagai jaringan organisme individu. Gagasan ini mendorong munculnya suatu pandangan penting bahwa jaringan kerja merupakan pola yang bersifat umum bagi semua kehidupan. Dimana saja Anda melihat kehidupan, Anda akan melihat jaringan kerja.

CIRI-CIRI BERPIKIR SISTEM
Sekarang, ijinkan saya meringkas beberapa ciri-ciri penting berpikir sistem. Living systems merupakan kesatuan keseluruhan, dan dari itu berpikir sistem mengandung pengertian pergeseran perspektif berpikir dari bagian menuju ke keseluruhan. Keseluruhan lebih daripada sekedar kumpulan bagian, dan kelebihannya adalah pada hubungan. Jadi, berpikir sistem adalah cara berpikir dalam pengertian hubungan. Pergeseran dari bagian ke arah keseluruhan membutuhkan pergeseran fokus lain, yaitu dari fokus objek menjadi fokus hubungan.

Memahami hubungan bukanlah hal yang mudah bagi kita, karena hubungan merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan kegiatan ilmiah tradisional di kebudayaan Barat. Pada ilmu pengetahuan, kita telah diajari, bahwa segala sesuatu harus diukur dan ditimbang. Namun, hubungan tidak dapat diukur dan ditimbang –hubungan perlu dipetakan. Jadi, inilah pergeseran berikutnya: dari pengukuran ke arah pemetaan. Bilamana Anda memetakan hubungan, Anda akan menemukan konfigurasi hubungan tertentu secara berulang. Inilah yang kita sebut ‘pola’. Pola adalah konfigurasi hubungan yang muncul berkali-kali. Studi tentang hubungan melahirkan studi tentang pola. Berpikir sistem melibatkan pergeseran perspektif berpikir, yakni dari perkspektif isi pemikiran menjadi perspektif pola pemikiran.

Lebih jauh lagi, memetakan hubungan dan mempelajari pola bukanlah pendekatan kuantitatif namun merupakan pendekatan kualitatif. Sesungguhnya, pada matematika baru yang kompleks ‘analisis kualitatif’ sekarang ini digunakan sebagai istilah teknis. Jadi, berpikir sistem mengandung pengertian pergeseran dari pendekatan kuantitas menjadi pendekatan kualitas.

Akhirnya, studi tentang hubungan tidak saja terkait dengan hubungan antar komponen pada suatu sistem, melainkan juga hubungan antara sistem secara keseluruhan dan sistem yang lebih besar di sekitarnya. Hubungan antara sistem dan lingkungan itulah yang disebut dengan istilah konteks. Kata ‘konteks’ yang berasal dari bahasa Latin ‘contexere’, artinya ‘merajut bersama’, yakni mengandung pengertian jaringan kerja-- dan ini mungkin yang paling cocok dijadikan ciri utama berpikir sistem secara menyeluruh. Berpikir sistem adalah ‘berpikir’ secara kontekstual.

Ada elemen berpikir sistem lain yang penting, yang akan saya bicarakan belakangan, yaitu berpikir dalam pengertian proses-- yang secara historis kehadirannya agak terlambat. Jadi berpikir sistem berarti berpikir kontekstual sekaligus berpikir proses.

TEORI SISTEM KLASIK
Konsep utama berpikir sistem dikembangkan selama kurun waktu 1920-an hingga 1940-an, kemudian, diikuti dengan perumusan teori sistem yang sebenarnya. Ini berarti bahwa konsep sistem dipadukan kedalam kerangka teoritis yang menguraikan prinsip-prinsip organisasi living systems. Teori yang saya namakan teori sistem klasik tersebut  termasuk teori sistem dan sibernetika.

Teori sistem universal dirumuskan pada tahun 1940-an oleh Ludwig von Bertalanffy, seorang ahli Biologi kebangsaan Austria yang mengawali perombakan dasar-dasar ilmu pengetahuan mekanistik dengan visi holistik. Seperti ahli biologi organismik yang lainnya, Bertalanffy percaya bahwa fenomena biologis memerlukan cara berpikir baru. Tujuannya adalah membangun ‘keseluruhan ilmu pengetahuan umum’ sebagai disiplin matematika formal.

Sumbangan terbesar Bertalanffy, menurut hemat saya, adalah konsep ‘sistem tebuka’ sebagai pembeda utama fenomena biologis dan fisik. Living systems, menurutnya, adalah sistem terbuka, yang berarti bahwa sistem tersebut seyogyanya mempertahankan fluktuasi materi dan energi secara terus-menerus yang berasal dari lingkungan mereka sebagai usaha pemertahanan hidup.

Sistem terbuka ini mempertahankan dirinya sendiri secara seimbang, yang ditandai oleh alur dan perubahan yang terus menerus. Bertalanffy menggunakan istilah dalam bahasa Jerman Fliessgleichgewicht ("keseimbangan aliran") untuk menjelaskan kondisi keseimbangan yang dinamis tersebut. Ia mengakui bahwa sistem terbuka tersebut tidak dapat dijelaskan dengan termodinamika klasik, yang merupakan teori sistem kompleks yang ada saat itu, dan ia berteori bahwa termodinamika baru sistem terbuka dibutuhkan untuk menjelaskan living systems.

Konsep Ludwig von Bertalanffy tentang sistem terbuka dan teori sistem universal melahirkan berfikir sistem sebagai gerakan ilmiah besar. Selain itu, kecenderungannya pada aliran dan keseimbangan aliran memunculkan berpikir proses sebagai aspek baru yang penting dari berpikir sistemik. Ia tak mampu menuliskan termodinamika baru dari sistem terbuka yang ia cari, karena ia kurang mengetahui matematika tepat guna untuk mencapai tujuan tersebut. Tiga puluh tahun kemudian, Ilya Prigogine merampungkan cita-cita besar tersebut, dengan menggunakan matematika kompleks yang telah terumuskan saat itu.

Sibernetika, teori sistem klasik lain, dirumuskan oleh kelompok ilmuwan inter-disiplin, termasuk didalamnya ahli matematika Norbert Wiener dan John von Neumann, ahli ilmu syaraf Warren McCulloch, dan ilmuwan sosial Gregory Bateson dan Margaret Mead.

Sibernetika segera menjadi gerakan intelektual yang kuat, yang kemudian melahirkan biologi organismik dan teori sistem universal. Fokus utama para ahli sibernetika itu terpusat pada pola-pola organisasi. Secara khusus, mereka tertarik pada pola-pola komunikasi, utamanya pola komunikasi yang ada pada putaran tertutup (closed loop) dan jaringan kerja (networks). Pengamatan mereka membuahkan konsep umpan balik (feedback), pengontrolan diri sendiri (self-regulation), dan pengorganisasian diri sendiri (self-organization).

Konsep umpan balik (feedback), salah satu prestasi gemilang dari sibernetika, dekat sekali hubungannya dengan pola jaringan kerja. Pada suatu jaringan kerja, Anda dihadapkan pada siklus dan putaran tertutup, dan putaran ini bisa menjadi putaran umpan balik (feedback loop). Putaran umpan balik adalah sejumlah elemen yang terhubung dalam lingkaran sebab-akibat, yang mana penyebab awal tumbuh di sekitar pengait putaran, sehingga setiap elemen membawa akibat terhadap elemen berikutnya, hingga elemen terakhir memberi umpan balik terhadap elemen pertama dari siklus tersebut.

Fenomena umpan balik (feedback) sangat penting artinya bagi living systems. Karena umpan balik, jaringan kerja yang ada (living networks) dapat mengontrol dan mengatur dirinya sendiri. Suatu masyarakat, misalnya, dapat mengontrol dirinya sendiri. Mereka dapat belajar dari kesalahan, karena kesalahan akan berputar dan kembali lagi di sepanjang putaran umpan balik tersebut. Jadi, masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri dan belajar. Karena umpan balik, suatu masyarakat memperoleh intelgensianya tersendiri, yakni kapasitas pembelajarannya sendiri.

Jadi, jaringan kerja, umpan balik, dan pengaturan diri sendiri merupakan konsep yang saling terkait. Living systems adalah jaringan kerja yang mampu membangun pengorganisasian diri sendiri.

MATEMATIKA KOMPLEKSITAS BARU
Sekarang, saya tiba pada bagian yang paling penting dari uraian historis singkat saya. Ada batas persimpangan (turning point) antara teori sistem klasik dari tahun 1940-an dan teori living systems yang dikembangkan selama 25 tahun belakangan ini. Ciri pembeda teori baru ini adalah bahasa matematika baru yang memungkinkan para ilmuwan untuk pertama kalinya memecahkan berbagai kompleksitas living systems secara matematis.

Perlu kita sadari bahwa sesederhana apa pun suatu living systems, misalnya sel bakteri, ia pasti memiliki jaringan kerja yang sangat rumit yang melibatkan beribu-ribu reaksi kimia yang saling bergantung (interdependent). Seperangkat konsep dan teknik untuk menghadapi berbagai kompleksitas sekarang ini telah telah muncul, yang mulai membentuk kerangka kerja matematis koheren. Teori Chaos dan geometri fraktal (fractal geometry) merupakan cabang ilmu matematika kompleksitas baru yang penting.

Ciri penting dari matematika baru adalah matematika tersebut merupakan matematika non-linear. Di bidang ilmu pengetahuan, hingga belakangan ini, kita selalu diajari untuk menghindari persamaan non-linear, karena persamaan ini sulit dipecahkan. Misalnya, aliran air yang tenang, tanpa hambatan, dijabarkan dengan persamaan linear. Namun, ketika di sungai ada bebatuan, air tersebut mulai berputar; menjadi pusaran. Munculnya riak dan bermacam-macam gelombang; serta gerakan yang kompleks ini dijelaskan dengan menggunakan persamaan non-linear. Gerakan air ini menjadi sangat rumit sehingga nampak sangat kacau balau.

Pada tahun 1970-an, para ilmuwan untuk pertama kalinya memiliki komputer yang kemampuan luar biasa cepatnya, sehingga dapat membantu mereka menangani dan memecahkan masalah persamaan non-linear. Dalam melaksanakan kegiatan tersebut, mereka mengembangkan sejumlah teknik, yakni semacam bahasa matematika baru yang mengungkap pola-pola yang sangat mengejutkan yang ada pada perilaku sistem non-linear yang tampak kacau, namun mengandung keteraturan. Sesungguhnya, teori chaos adalah teori keteraturan, yakni semacam keteraturan baru yang tidak terlihat dengan mata biasa namun bisa diungkap dengan menggunakan matematika baru tersebut.

Ketika Anda memecahkan persamaan non-linear dengan teknik baru ini, hasilnya bukanlah sebuah rumus namun semacam bentuk visual, pola yang dapat dilacak oleh komputer. Jadi, matematika baru adalah matematika pola, matematika hubungan (relationships). Istilah umum "attractors" adalah contoh dari pola matematik ini. Pola matematik ini menggambarkan dinamika sistem tertentu dalam bentuk visual.

Pada tahun 1970-an, minat yang kuat terhadap fenomena non-linaer ini membuahkan serangkaian teori baru dan handal yang dapat menjelaskan berbagai aspek living systems. Teori ini, yang saya jelaskan panjang lebar di buku saya, membentuk komponen sintesa saya sendiri tentang konsepsi baru kehidupan.

SINTESA BARU 
Saya percaya bahwa kunci utama pemahaman teori living systems terletak pada sintesa dua pendekatan pemahaman alam yang saling bersaing di sepanjang sejarah ilmiah kita—yakni pendekatan pola (hubungan, keteraturan, dan kualitas) dan pendekatan struktur (konstituen, materi, kuantitas)

Kemunculan dan penyempurnaan konsep pola organisasi telah menjadi tema pokok dalam berpikir sistem. Para pemikir sistem terdahulu mendefinisikan pola sebagai konfigurasi hubungan. Para ahli ekologi mengenali jaringan kerja sebagai pola kehidupan umum. Para ahli sibernetika mengenali umpan balik sebagai pola putaran hubungan sebab-akibat; dan matematika kompleksitas baru adalah ilmu matematika tentang pola visual.

Jadi, pemahaman terhadap pola adalah sangat penting artinya bagi pemahaman kehidupan secara ilmiah. Namun itu saja tidak cukup. Kita juga perlu memahami struktur sistem. Untuk menunjukkan bagaimana pendekatan pola dan pendekatan struktur dapat digabungkan, ijinkan saya mendefinisikan kedua istilah ini dengan lebih konkrit.

Pola organisasi suatu sistem apa saja, baik yang bernyawa maupun yang tak-bernyawa, merupakan konfigurasi hubungan antar komponen yang menentukan ciri utama sistem. Dengan kata lain, hubungan tertentu harus ada agar sesuatu dapat dikenali sebagaimana pada, misalnya, kursi, sepeda, atau pohon. Hubungan konfigurasi yang memberi ciri penanda penting itulah yang disebut dengan pola organisasi.


Ijinkan saya menjelaskan hal di atas dengan menggunakan sepeda, karena penjelasan dengan non-living system jauh lebih mudah. Jika saya lepaskan satu persatu semua bagian sepedasadel, setir, kerangka, roda, dsb—dan saya letakkan teronggok di depan Anda, Anda akan mengatakan: Ini bukan sepeda; ini bagian dari sepeda. Bagaimana caranya saya mengubahnya menjadi sepeda? Dengan merangkainya bersama dalam susunan tertentu! Susunan ini, atau konfiguras hubungan antar bagian ini, disebut pola organisasi.

Untuk menjelaskan pola organisasi sepeda ini, saya dapat menggunakan bahasa yang abstrak tentang hubungan. Saya tidak perlu memberi tahu Anda bahwa kerangka sepeda terbuat dari besi yang berat atau alumunium yang ringan, karet macam apakah yang terpasang pada ban, dan sebagainya. Dengan kata lain, materi fisik bukanlah bagian dari penjelasan pola organisasi. Materi adalah bagian dari penjelasan struktur, yang saya artikan sebagai perwujudan dari materi pola organisasi sistem.

Sementara penjelasan pola organisasi melibatkan pemetaan abstrak hubungan, penjelasan struktur melibatkan penjelasan tentang komponen fisik sistem—bentuk mereka, komposisi kimia, dan sebagainya.

Nah, ini sangat mudah dijelaskan dengan sepeda. Anda dapat memvisualisasikan pola organisasi sepeda, Anda dapat menggambar sketsanya, Anda dapat memperoleh materi sesungguhnya dan memasang sepeda sesuai dengan sketsa rancangan Anda, dan kemudian sepeda itu akan berdiri di sana tanpa banyak melakukan apa-apa.

Dengan living systems, situasinya sangat jauh berbeda. Setiap living system, sebagaimana yang saya sebutkan di depan, melibatkan beribu-ribu proses kimia yang saling terkait. Pada living system, terjadi fluktuasi tanpa henti pada materi, pertumbuhan, perkembangan, dan evolusi. Mulai dari permulaan biologi, pemahaman struktur kehidupan tidak dipisahkan dari pemahaman proses perkembangan dan metabolisme.

Properti living systems yang mencolok ini mensyaratkan proses sebagai kriteria ketiga untuk penjelasan menyeluruh akan ciri kehidupan. Proses kehidupan merupakan aktivitas yang ada pada perwujudan terus-menerus pola organisasi sistem. Karenanya, kriteria proses merupakan penghubung antara pola dan struktur.

Kriteria proses melengkapi kerangka konseptual sintesa saya. Ketiga kriteria ini saling tergantung secara menyeluruh. Pola organisasi hanya dapat dikenali jika ia terwujud dalam struktur fisik, dan pada living systems  perwujudan ini merupakan proses yang terus menerus berlangsung. Seseorang bisa mengatakan bahwa ketiga kriteria itu—pola, struktur, dan proses—merupakan tiga perspektif tentang fenomena kehidupan yang berbeda-beda namun tak terpisahkan. Ketiganya membentuk tiga dimensi konseptual sintesa saya.

Maksud saya adalah bahwa, dalam rangka mendefinisikan living system – atau dengan kata lain untuk menjawab pertanyaan Schrödinger, "Apakah kehidupan itu?" – kita harus menjawab tiga pertanyaan berikut ini: Apa sajakah struktur living system? Apa sajakah pola organisasinya? Seperti apakah proses kehidupan? Ijinkan saya menjawab pertanyaan ini secara berurutan.

STRUKTUR DISIPATIF 
Struktur living system telah dijelaskan dengan rinci oleh Ilya Prigogine dalam teorinya, Struktur Disipatif (dissipative structures). Seperti halnya Ludwig von Bertalanffy, Prigogine mendapati bahwa living systems merupakan sistem terbuka yang mampu mempertahankan proses kehidupannya di bawah kondisi tak seimbang (non-equilibrium). Organisme hidup bercirikan aliran dan perubahan yang terus menerus pada metabolismenya, yang melibatkan beribu-ribu reaksi kimia. Keseimbangan kimia dan panas muncul bilamana proses tersebut terhenti. Dengan kata lain, organisme yang berada dalam keseimbangan adalah organisme yang mati. Organisme hidup secara terus menerus memertahankan dirinya agar tetap dalam keadaan yang jauh dari keseimbangan, yang merupakan keadaan dari kehidupan. Meskipun sangat jauh berbeda dari keseimbangan, kondisi ini tetap stabil: struktur keseluruhan yang sama tetap dipertahankan  terlepas dari perubahan secara terus menerus pada komponennya.

Prigogine menamakannya sebagai  sistem terbuka, sebagaimana yang ia uraikan dalam teori "dissipative structures",  untuk menjelaskan keterkaitan yang erat antara struktur dan aliran/perubahan (dissipation).

Menurut teori Prigogine, struktur disipatif bukan saja mempertahankan dirinya sendiri dalam kondisi stabil yang jauh dari keseimbangan, namun bahkan memungkinkan terjadinya evolusi. Manakala aliran energi dan materi yang melewati struktur disipatif meningkat, keduanya akan mengalami ketidakstabilan, dan kemudian akan berubah menjadi struktur baru dengan kompleksitas yang meningkat. Fenomena ini— munculnya keteraturan yang spontan—juga dikenal dengan istilah pengorganisasian diri sendiri (self-organization). Inilah yang menjadi dasar pengembangan, pembelajaran, dan evolusi.

AUTOPOIESIS
Sekarang ijinkan saya beralih ke perspektif kedua yang berkenaan dengan ciri alamiah kehidupan, yakni perspektif pola. Pola organisasi living systems merupakan jaring hubungan yang setiap komponennya berfungsi mengubah dan mengganti komponen lain yang ada pada jaringan kerja tersebut (network). Pola ini dinamakan Autopoiesis oleh Humberto Maturana dan Fransisco Varela. “Auto’ tentunya berarti ‘dengan sendirinya’ dan ‘poiesis’—yang berasal dari akar kata yang sama dengan ‘puisi’ dalam bahasa Yunani—berarti ‘membuat’. Jadi, autopoiesis berarti ‘memproduksi sendiri’. Jaringan kerja secara terus menerus ‘membuat dirinya sendiri’. Jaringan  dibentuk oleh komponen dan sebaliknya jaringan juga menghasilkan komponen.

KOGNISI—PROSES KEHIDUPAN
Sekarang ijinkan saya beralih ke dimensi konseptual sintesa saya, yakni aspek proses. Pemahaman terhadap proses kehidupan mungkin merupakan aspek paling revolusioner dari teori living systems yang muncul saat ini, karena aspek ini mengandung pengertian konsepsi pikiran, atau kognisi. Konsepsi baru ini diajukan oleh Gregory Bateson dan diuraikan lebih lengkap oleh Maturana dan Varela, dan konsepsi tersebut dikenal sebagai Teori Kognisi Santiago.

Pokok pemikiran teori Santiago adalah pengenalan kognisi, yakni proses terjadinya pengetahuan, melalui proses kehidupan. Kognisi, menurut Maturana, adalah aktivitas yang melibatkan pembentukan diri sendiri (self-generation) dan pemertahanan diri (self-perpetuation) pada jaringan kehidupan (living networks). Dengan kata lain, kognisi merupakan proses utama kehidupan. “Living systems adalah sistem kognisi”, tulis Maturana, dan kehidupan yang berjalan sebagai proses adalah proses kognisi”.

Jelaslah bahwa apa yang kita bicarakan di sini adalah perluasan radikal konsep kognisi dan, secara tak langsung, juga konsep pikiran. Menurut pandangan baru ini, kognisi melibatkan keseluruhan proses kehidupan—termasuk persepsi, emosi, dan perilaku—dan tidak selalu memerlukan otak dan sistem syaraf. Pada dunia manusia, kognisi meliputi bahasa, pemikiran konseptual, kesadaran diri, dan semua atribut kesadaran manusia yang lainnya.

Saya percaya bahwa teori kognisi Santiago merupakan teori ilmiah pertama yang dapat memecahkan masalah pembagian pikiran dan materi Cartesian, dan karenanya teori ini akan memiliki implikasi yang luas jangkauannya. Pikiran dan materi tidak lagi menjadi milik dua kategori yang terpisah, namun bisa dilihat sebagai perwujudan dua aspek fenomena kehidupan yang saling melengkapi—aspek proses dan aspek struktur. Di semua tingkatan kehidupan, mulai dari hal yang sesederhana sel, pikiran dan materi, hingga proses dan struktur, semuanya saling terkait. Pikiran selalu muncul pada materi kehidupan sebagai proses self-organization. Untuk pertama kalinnya, kita memiliki teori ilmiah yang mempersatukan pikiran, materi, dan kehidupan.



(Tulisan ini merupakan ceramah ilmiah yang disampakan di Dublin, 9 September 1997)