Amsal Seperti Bukan Cinta oleh Sulaiman Djaya*


(Dipresentasikan di Auditorium Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 10 Oktober 2016)

“Dalam lebat bait-bait, terbayang juga dari langit: coklat jadi hijau, sebelum maple gugur tak terjangkau” (Arip Senjaya, Dalam Lebat).

Sebelum membahas sejumlah puisi yang terkumpul dalam buku Seperti Bukan Cinta karya Arip Senjaya, ijinkan saya untuk mengutarakan apa yang saya pahami tentang puisi. Sejujurnya, untuk mendefinisikan apa itu puisi, saya mengalami kesulitan dan tak bisa mendefinisikannya. Meskipun demikian, saya memiliki pemahaman sendiri tentang apa itu puisi, walau tentu saja akan bersifat subjektif dan sepihak. Dan, sekedar mengutip, saya ingin mengawali esai singkat ini dengan apa yang ditulis Hiedegger tentang Puisi, Pemikiran, dan Dunia: “To think is to confine yourself to a single thought // that one day stands still like a star in the world’s sky” (Martin Heidegger: Poetry, Language and Thought).

Saya percaya puisi lahir dari keintiman seseorang dengan dunia dan keseharian. Dan sampai saat ini, jika pendapat saya tidak berubah, saya mempercayai puisi yang berhasil adalah puisi yang sanggup menciptakan realitas dalam puisi, yang dengan itu pula pencitraan dan kiasan menjalankan fungsinya, bahkan pada tingkat lebih jauh, pencitraan dan kiasan tersebut sanggup menciptakan fantasi dan transendensi demi menggambarkan sebuah dunia-realitas yang unik dan memang hanya milik puisi itu sendiri. Lagi-lagi, saya jadi teringat dengan apa yang dikatakan Heidegger ketika ia berpendapat bahwa puisi bisa dipahami sebagai puncak pemikiran, akan tetapi pemikiran yang dimaksudkan Heidegger itu tak semata hanya kemampuan dan kapasitas salah-satu fakultas tubuh kita yang kita sebut rasio. Pemikiran yang dimaksudkannya adalah keterlibatan dan keintiman seluruh pancaindera kita termasuk hati.

Heidegger memang berbicara tentang ketersituasian manusia dalam dunia, apa yang ia sendiri menyebutnya sebagai Being in the World alias “berada dalam dunia”, yang juga mengingatkan saya pada eksistensialisme-nya Soren Kierkegaard, mirip seperti ketika jatuh cinta yang dalam bahasa Inggris ditulis dan diucapkan menjadi “Fall In Love” alias Jatuh dalam Cinta atawa “berada dalam cinta”, yang bila kita kembali dalam pengertian Heidegger, puisi bisa juga dimengerti sebagai cara berada manusia dalam dunia. Dengan keintiman itulah, seni dan puisi sanggup memungkinkan “Sang Ada” berbicara dengan terang dan jernih. Ambillah kasus lukisan sepatu petani-nya Van Gogh, yang dengan lukisan itu kita tak hanya memahami dan memandang sepatu sebagai semata-mata benda mati, tetapi lebih dari itu, kita mengalami arti sepatu yang unik dan kontekstual, papar Heidegger, di mana seni melibatkan perhatian bagi benda-benda dalam konteks dan arti historis mereka. Sepatu dalam lukisan Van Gogh yang dimaksudkan adalah sejumlah cerita seorang petani, sepatu yang telah mengalami banyak kehidupan atau sejumlah peristiwa keseharian, pengalaman keprihatinan atau pun kemiskinan si pemiliknya, kehidupan dan keseharian si petani yang hendak diceritakan dan digambarkan Van Gogh dengan lukisannya itu. Juga di sini, kita bisa menyebutkan lukisan Van Gogh lainnya, yaitu the Potato Eaters yang suram dan amat bersahaja itu.

Demikianlah, puisi yang saya pahami mestilah mengandung sekaligus hendak menceritakan realitas keintiman tersebut. Jika pun kita memandang penting retorika dan stilistika sebagai upaya pencapaian bahasa, tentulah dimengerti dalam kerangka modus ujaran dan penyampaiannya. Pelukis lain yang saya pandang berhasil menampilkan keintiman yang saya maksudkan itu adalah juga Giovanni Segantini, ketika saya mempelajari sebuah lukisan miliknya yang menggambarkan seorang ibu yang tengah mendekap anaknya di sebuah pohon yang tak lagi memiliki daun. Seakan-akan Segantini hendak bercerita tentang kepedihan dan keprihatinan yang sama seperti yang ditampilkan oleh lukisan-lukisannya Van Gogh. Saya kira, dalam konteks ini, penyair dapat pula belajar dari pelukis ketika hendak menyampaikan dunia yang ingin diceritakan atau pun digambarkan puisinya, seperti juga ia dapat belajar dari komponis untuk tekhnik bahasa dan nada-nada demi memungkinkan puisi yang ditulisnya terasa merayu dan indah.

Meskipun begitu, saya merasa perlu untuk memaparkan marka kategoris dan definitif tentang apa itu puisi yang saya pahami secara normatif, yang sifatnya kamus. Sebagai contohnya dikatakan bahwa puisi itu sebuah karya sastra yang dekat dengan seni –yaitu dengan musik dan nada. Karena itulah, puisi acapkali juga disebut sebagai syair, yang dalam istilah umum yang kita kenal disebut ‘lirik’. Kata lirik sendiri diambil dari perbendaharaan musik, yaitu dari Lyra (sebuah alat musik yang sejenis harpa). Dalam hal inilah, Friedrich Nietzsche, filsuf dan penyair dari Jerman itu, dalam bukunya yang berjudul The Birth of Tragedy mengatakan bahwa musik dan puisi lahir dari rahim yang sama –yaitu Stimmung. Seprosais apa pun sebuah karya puisi, yang membuat puisi menjadi puisi adalah karena unsur musikalnya ini yang akan membedakannya dengan prosa. Dalam dan melalui puisi-lah, musik, nada-nada, rima, metrum, kata-kata, parafrase, perangkat kiasan, dan lain sebagainya bertemu dan berpadu, memadukan seni dan bahasa.

Secara kultural dan historis, kaitan antara puisi dengan lirik, dan sebagaimana telah disebutkan, dengan alat musik yang bernama lyra itu, barangkali bisa dijelaskan dari sejarahnya yang cukup panjang, semisal di benua Eropa, yang konon pada Zaman Abad Pertengahan, para minstrel (para penyair keliling) membawakan syair-syairnya, yang berisi kisah-kisah tentang tempat-tempat yang pernah mereka singgahi, tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa sejarah serta kisah-kisah imajiner yang mereka pentaskan dan mereka deklamasikan dengan diiringi petikan harpa atau alat-alat musik lain –yang saat ini kemudian kita kenal dengan istilah ‘musikalisasi puisi’.

Dengan mencermati dan memahami asal-usulnya secara kultural dan historis inilah kita tahu puisi adalah genre karya sastra yang memiliki dimensi ritmik-akustik (irama dan bunyi) sebagaimana halnya musik. Meski, tentu saja, sejumlah kalangan memandang bahwa hal itu tidak cukup untuk dijadikan dasar bagi pendefinisian puisi, karena menurut mereka puisi mempunyai dimensi-dimensi lain dalam perwujudannya, yaitu dimensi leksikal-tematik dan dimensi visual –sebagaimana lukisan, sehingga ada pendapat yang menyatakan bahwa puisi itu tak ubahnya lukisan yang didadarkan dengan kata-kata dan bahasa, sementara lukisan adalah puisi yang dipaparkan di bentangan kanvas. Dalam buku Seperti Bukan Cinta-nya Arip Senjaya, salah-satu puisi (selain sejumlah puisi-puisi lainnya tentu saja), yang dapat saya katakan sebagai karya yang mewakili perpaduan antara seni dan sastra, yang mana ketika kita membacanya, kita seakan-akan sedang memandangi sebuah lukisan sembari mengkhidmati komposisi musik, adalah puisinya yang berjudul ‘Dalam Lebat’:

“Dalam lebat bait-bait,
terbayang juga dari langit:
coklat jadi hijau
sebelum maple gugur tak terjangkau.

Awan kan melepas awan.
Dan cahaya lepas dari garis
Dan angan terasa gampang
bersama hangat madeleine
sedih tak sangat manis.
Makin hangat
makin meringis
tapi singkat.”

Secara musikal (auditif) sebagaimana ketika kita tengah mengkhidmati sekomposisi musik yang menyentil sisi romantik dan rasa sentimentil hati kita dan secara indrawi sebagaimana ketika kita merenungi sebuah lukisan yang kita pandangi, puisi ‘Dalam Lebat’ itu mengingatkan saya kepada sejumlah puisi Rainer Maria Rilke, semisal puisi Musim Gugur-nya itu. Bersamaan dengan itu, Arip Senjaya sebagai penyair, komponis, dan pelukisnya, berusaha ‘mendadarkan’ sisi ironis yang terpancar dari suatu keindahan musikal dan naturalistik: “Bersama hangat madeleine, sedih tak sangat manis. Makin hangat makin meringis –tapi singkat.”

Nuansa ironis itulah yang justru ‘membangun’ dan ‘mengkonstruksi’ aura puitik menjelma menjadi seni yang enigmatik, meminta untuk terus dibaca, seperti seorang perempuan yang tak mudah ditebak dan suka berpura-pura menyembunyikan cintanya –karena ironi acapkali hadir dan mendadarkan dirinya dalam paradoks dan teka-teki, meski tak selalu harus menjadi terlampau sentimentil, melainkan juga bersifat dan bernuansa humoris, yang dapat kita contohkan dengan puisinya yang lain, yang kali ini berjudul ‘Apa yang Bakal Terjadi pada Daun-daun’:

“Apa yang bakal terjadi pada daun-daun
jika tak mengundurkan diri dari Rouen?
gagak tak kan sering menampak
dan tekukur tak mudah mengelak

Apa yang akan terjadi pada sapi-sapi
jika tak merumput di Normandie?
elang kehilangan bayang 
tiang-tiang samar melayang.”

Tentu saja, puisi ditulis bukan semata oleh pikiran –tapi juga oleh rasa, sebab kata-kata tak hanya bunyi belaka –tetapi dunia. Secara konteks, seorang penyair menulis puisi dalam ragam situasi. Sebagai contoh puisi ditulis oleh seorang penyair ketika ia tengah mengalami perasaan bathin yang membuncah, berbunga-bunga saat ia jatuh cinta, dan lalu ia menulis sebuah sajak cinta. Seorang penyair juga, sebagai contoh lainnya, menulis puisi ketika mengalami perjumpaan dengan kondisi yang membuat pikiran dan hatinya menjadi tersentuh dan peka, menjadi terinspirasi, semisal ketika seorang penyair mendiami keindahan tempat atau alam. Beberapa puisi Arip Senjaya yang terkumpul dalam buku Seperti Bukan Cinta itu lahir dan ditulis dalam kondisi dan situasi seperti yang telah disebutkan, seperti ketika beberapa puisinya yang berbicara dan mendadarkan diri tentang suasana, dan lalu berupaya untuk menuangkannya menjadi semacam refleksi puitis, tentang pengalamannya menjumpai dan mendiami atau menyinggahi dan mengunjungi tempat-tempat di Prancis sana, yang dalam beberapa puisinya dituturkan dengan narasi yang ingin bermain-bermain sementara puisi-puisinya yang lain berusaha mendadarkannya dengan narasi ironis demi menciptakan ‘magnet’ bagi perenungan, sedangkan puisi-puisinya yang lain lagi seakan-akan menggunakan gaya bertutur seorang narator yang rileks dan santai –yah sekedar bercerita apa adanya tentang suasana kota dan orang-orang:

“Ada sebentar ia terhibur
ketemu teman cukup terlipur. Satu bangsa
satu ikatan, dalam kota, dalam ingatan

Violet ufuk, awanan kapuk
pada jam 06 lima-puluh-tiga
terang di rabuk

Dingin kering di laring
Yang tua-tua membawa tongkat.
Yang muda-muda
menjinjing hasrat
Puisi dibikin untuk berjoging.”

Demikianlah selanjutnya silahkan Anda membacanya sendiri –karena saya hanya sekedar memberi semacam opini atau pendapat saya terkait pembacaan saya atas sejumlah puisi yang termaktub dalam buku Seperti Bukan Cinta karya Arip Senjaya ini. Sekian dan terimakasih!

*Lahir di Serang, Banten. PRESTASI AKADEMIK: [1] Juara 1 Lomba Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Umum Tingkat Sekolah Dasar se-Kabupaten Serang, Jawa Barat (Tahun 1991). [2] Finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Mahasiswa IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah (Tahun 1999). [3] Finalis Sayembara Menulis Esai Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Tahun 2013.

PENGALAMAN ORGANISASI: [1] Ketua Dewan Legislatif Mahasiswa IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah (2002-2003). [2] Redaktur Jurnal Mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah (2002-2003). [3] Ketua Bidang Intelektual Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat (2000-2002). [4] Manajer Program Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Serang, Banten (2008-2010). Komite Sastra Dewan Kesenian Banten (2016-2018).

PUBLIKASI: Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra HorisonIndo PosMedia Indonesia, Majalah Trust, Majalah AND, Majalah Sastra PusatJurnal SajakTabloid KaibonRadar Banten, Kabar BantenBanten RayaTangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid CikalTabloid Ruang Rekonstruksi, Harian SiantarChange Magazine, Banten Pos, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012), Tifa Nusantara 2 (Antologi Puisi Pertemuan Penyair Nusantara di Tangerang, Banten Tahun 2015), 100 puisi PARMUSI (2016), dan lain-lain.  Top of Form


Tidak ada komentar: